Posted by : Unknown
Sabtu, 02 Maret 2013
Kemajuan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkwalitas tinggi dalam penguasaaan
Iptek sekaligus dibekali dengan Iman dan Taqwa (Imtaq) yang kuat. Untuk itulah
diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah beserta komponen-komponen
pendidikannya untuk momposisikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang
dalam menciptakan generasi-generasi yang tangguh. Usaha-usaha periodik dalam
peningkatan mutu pendidikan dan keprofesionalannya merupakan langkah tepat
dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Salah satu bentuk usaha
tersebut dengan tersedianya institusi pendidikan kompetitif dalam melahirkan
sumber daya yang memiliki penguasaan Iptek dan Imtaq yang berkualitas.
Institusi pendidikan bukanlah
semata-mata sebagai pelengkap untuk memenuhi kebutuhan industri yang berdampak
menghasilkan manusia-manusia yang kapitalistik. Dan institusi pendidikan bukan
pula hanya berorientasi pada perhitungan akumulasi modal, sehingga menurunkan
pelayanan akademiknya. Institusi ini harus dikembalikan pada fungsinya, yaitu
sebagai wadah pencetak generasi unggul dalam penguasaan Iptek dan memiliki
kepribadian yang utuh.
Diakui
atau tidak, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini memang adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Dalam sistem ini tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental
pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan,
penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar
mengajar hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden
curiculum,
yang sebenarnya berperanan sangat
penting dalam penanaman nilai-nilai.
Sistem
pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang
sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan
teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi
pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan
tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan
agama melalui madrasah, institut agama
dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui
sekolah dasar, sekolah menengah dan
kejuruan serta perguruan tinggi
umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang
sebagai tidak berhubungan dengan agama. Sementara, pembentukan karakter siswa
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan di sini justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang
perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek. Di sisi
lain, pengajaran agama dan persoalan keagamaan digarap oleh Depag, seolah pendidikan
Islami identik dengan pengajaran agama Islam saja. Adanya pesantren yang dalam banyak aspek acap dipuji sebagai
sebuah bentuk pendidikan Islam alternatif, dalam perspektif ini, sesungguhnya
makin mengukuhkan dikotomi pendidikan itu.
Pendidikan yang sekuler-materialistik
ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sainsteknologi melalui
“pendidikan umum” yang diikutinya, tapi pendidikan semacam itu terbukti gagal
membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan tsaqofah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap
saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya? Sementara mereka yang belajar di
lingkungan “pendidikan agama”, memang menguasai tsaqofah Islam dan secara
relatif sisi kepribadiannya tergarap baik, tapi di sisi lain, ia buta terhadap
perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan dan
jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di
sektor modern.
Pendidikan
sekuler-materialistik juga memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang
serba terukur secara material, kekinian dan serba profan serta memungkiri
hal-hal yang bersifat transedental dan imanen.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat
mengembalikan investasi yang telah
ditanam. Pengembalian itu dapat berupa
gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan
atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama
ditempatkan pada posisi yang sangat
individual. Nilai transendental dirasa
tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan
perbuatan. Tempatnya telah digantikan
oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pendidikan yang materialistik adalah buah
dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia
menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni
seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama,
paradigma pendidikan yang keliru dimana
dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan
pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari
paham sekuleristik
tadi, yakni sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan
serba individualistik.
Kedua, kelemahan
fungsional pada tiga unsur pelaksana
pendidikan, yakni
(1) kelemahan
pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum
serta tidak berfungsinya guru dan
lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2)
kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan
(3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Kacaunya kurikulum yang berawal dari
asasnya yang sekuler tadi kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum
yang tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah Islam
dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya
proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar
berfungsi sebagai pengajar dalam
proses transfer ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer
ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang
kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan
fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah
dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushola) turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik.
Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah/kampus itu akhirnya menyebabkan
tidak optimalnya pencapaian tujuan
pendidikan yang dicita-citakan.
Begitu
halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga yang umumnya tampak dari lalainya para orang tua untuk
secara sungguh-sungguh menanamkan
dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap
pergaulan anak dan minimnya teladan
dari orang tua dalam sikap
keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah
sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Sementara itu, masyarakat yang semestinya
menjadi media pendidikan yang riil
justru berperan sebaliknya akibat dari
berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari penataan semua aspek
kehidupan baik di bidang ekonomi, politik,
termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma
agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal
negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada
masyarakat. Kelemahan pada unsur
keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam
pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada
pribadi anak didik.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang
diawali dari perubahan paradigma
pendidikan sekuler menjadi paradigma
Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas
diselesaikan dengan cara
memperbaiki strategi
fungsionalnya sesuai dengan arahan
Islam.