Posted by : Unknown
Minggu, 24 Maret 2013
EPISODE KEDUA
Di daerah perbukitan tinggi yang
posisinya berada di belakang perkemahan kaum muslimin, para wanita telah
berkumpul di dalam tenda mereka, berbincang-bincang sambil menunggu waktu sore
tiba. Perkemahan ini berada di dataran paling atas yang merupakan daerah tempat
penggembalaan. Sementara itu, di tempat yang lebih rendah, Hindun bin Utbah dan
anak perempuannya, Juwairiyah, terlihat sedang membawa dua ikat tali kayu bakar
di punggung mereka. Tiba-tiba, Asma` binti Abu Bakar turun dari perbukitan
tinggi itu dan menemui mereka di dataran rendah tersebut. Dan akhirnya Hindun
pun berhenti sambil beristirahat.
Hindun : “Apa kabar wahai Asma` binti Abu Bakar?”
Asma` : “Apa
kabar Hindun. Kemarikan kayu bakar itu, biar saya yang membawanya.”
Hindun : “Jangan.
Demi Allah, tidak ada yang boleh membawanya selain aku.”
Asma` : “Saya
lihat kamu menduduki ikatan itu, itu tandanya kamu sudah tidak kuat lagi.”
Hindun : “Tidak
apa-apa, saya hanya istirahat sebentar. Sebab menaiki perbukitan yang tinggi
itu sangatlah melelahkan.”
Juwairiyah :
“Demi Allah, mengapa mereka menempatkan kita di perbukitan yang tinggi seperti
ini?”
Hindun : “Celaka
kamu! Apa kamu tidak tahu kenapa? Sebab supaya kita aman dari serangan musuh!”
Asma` : “Dan
kita dapat memukul setiap anggota tentara kita yang melarikan dari dari medan
perang.”
Hindun : (Sambil
bergurau) “Saya bersumpah, jika ayahmu melarikan diri dari medan perang, maka
saya akan memukulnya dengan ujung kayu ini.”
Juwairiyah :
“Tidak wahai ibu, Abu Sufyan bukanlah orang yang suka lari dari medan perang.”
Hindun : “Lari
atau tidak, itu tidak penting bagiku.”
Asma` : “Celaka
kamu wahai Ummu Hanzhalah. Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy pada zamannya.”
Hindun : “Orang
tua itu mengira kalau ia dapat mengadopsi anak perempuan, maka ia akan kembali
muda.”
Asma` : “Jangan
percaya dia Hindun. Sebenarnya siapa yang tidak beruntung dapat menemukan orang
seperti Hindun binti Utbah?”
Hindun : “Dia
mengira kalau saya telah tua dan masa-masaku telah hilang.”
Asma` : “Dan dia
sendiri, apakah dia tidak merasa kalau dirinya sudah tua dan masa-masanya juga
sudah lewat?”
Hindun : “Katakan
pada dia wahai Asma` binti Abu Bakar, dan tanyakan kepadanya kenapa sekarang
dia berperang dengan lidahnya, tidak berperang dengan umurnya?”
Asma` :
(Tertawa) “Siapa yang mengajarimu untuk mengatakan ini, wahai Ummu Hanzhalah?”
Juwairiyah :
“Kamu jangan sewenang-wenang terhadapnya, ibu. Amirul Mukminin-lah yang
menyuruhnya untuk berperang dengan lidahnya.”
Hindun : “Dan
mencegahnya untuk berperang dengan umurnya?”
Juwairiyah :
“Dialah yang menugaskan ayah untuk menjadi pemberi semangat kepada para tentara
serta memperingatkan mereka tentang pahala yang akan diberikan Allah bagi
orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.”
Hindun : “Karena
ia hanya cocok melakukan itu saja.”
Asma` : “Jangan
marah, Juwairiyah. Sebenarnya ibumu mencintainya dan cemburu terhadap dirinya
itu.”
Hindun : “Apa,
aku menyukainya? Apa yang saya sukai dari dirinya? Dan apa yang harus saya
cemburui dari dirinya?”
Asma` :(Asma`
mengembalikan ingatan Hindun ke masa-masa silam, dan mencontohkan dengan
mengalunkan sya’ir)
“Ketika
mereka datang, kita mendekapnya.
Atau
ketika mereka berpaling (untuk pergi), itu berarti kita berpisah dengannya.
Maka
itu berarti kehilangan orang yang kita cintai.
Dengan perpisahan yang tanpa cinta.
Nah sekarang, apakah kamu ingat ini wahai Hindun?”
Hindun : (Dengan
perasaan tersinggung) “Apakah ini suatu cemoohan wahai Asma`? Jika benar, maka
hari-hari itu telah lewat. Dan kami bersyukur kepada Allah karena telah
memuliakan kami dengan datangnya Islam.”
Asma` : “Kenapa
Allah menjadikan sya’ir itu selalu saya ingat wahai Hindun? Karena saya tahu
bahwa Islam membatalkan sesuatu yang datang sebelumnya (jika hal itu merupakan
hal buruk). Dan saya menyebutkan bait-bait sya’ir ini karena ingin mengajak
kamu untuk mengagumi makna yang terkandung di dalamnya bersama saya. Yaitu
bagaimana orang-orang yang dahulu memusuhi Islam tapi sekarang malah menjadi
pembelanya untuk menegakkan kalimat Allah di dunia ini?!”
Hindun : “Kamu
benar Asma`. Ketika itu saya adalah seorang perempuan muda yang sabar, tegar
dan keras. Tetapi walaupun begitu saya takut kematian akan mendatangi diriku,
anak-anakku dan keluargaku. Tapi sekarang saya mengharapkan mati sebagai syahid
untuk diriku dan mereka semua.”
Juwairiyah : “Dan
untuk ayah juga wahai ibu?”
Hindun : (Tampak
hilang kemarahannya) “Terutama untuk ayahmu!”
(Mereka
akhirnya tertawa bersama-sama)
(Kemudian
Hindun dan Juwairiyah berdiri untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju ke
atas bukit sampai akhirnya mereka tidak kelihatan karena terhalang oleh
tenda-tenda yang berada di bukit itu. Sedangkan Asma` sendiri turun sampai
akhirnya ia keluar dari sisi sebelah kanan tempat penggembalaan hewan yang
masih merupakan kawasan perbukitan itu).
(Tampak
Abu Ubaidah sedang mendaki bukit)
Abu Ubaidah :
(Memanggil) “Wahai Ummu Ubaidah, hai Ummu Ubaidah!”
Suara : “Ya, ya
wahai Abu Ubaidah.”
(Muncullah
Hindun binti Jabir dari balik tenda)
Abu Ubaidah :
(Mendekatinya sambil berjalan mendaki) “Bagaimana keadaan para wanita muslimah
dan anak-anak mereka?”
Hindun :
“Alhamdulillah, mereka sehat semua.”
Abu Ubaidah : “Apa
mereka tidak membutuhkan sesuatu?”
Hindun :
“Semuanya tersedia.”
Abu Ubaidah : “Dan
kamu wahai binti Jabir, bagaimana kabarmu?”
Hindun : “Saya,
ya seperti yang kamu lihat, alhamdulillah sehat-sehat saja.”
Abu Ubaidah :
“Bagaimana dengan itu, Hindun?”
Hindun : “Saya
tidak ingin menjadikanmu wahai sahabat Rasulullah.”
Abu Ubaidah :
“Kamu masih saja memakai pakaian ini wahai Hindun?”
Hindun :(Berkeluh
kesah) “Wahai Abu Ubaidah, seandainya nama kuniyahku (Nama julukanku) dapat
menutupi diriku, tentu saya tidak peduli atas pakaian macam apa yang aku pakai.
Tetapi ternyata diri saya adalah satu-satunya perempuan yang memakai pakaian
paling baik. Sebab, seperti yang kamu lihat sendiri bahwa di antara para wanita
tidak ada satupun perempuan yang memakai pakaian lebih bagus dariku. Karena itu
untuk apa saya masih tetap memakai pakaian lusuh dan usang yang saya bawa dari
Hijaz?”
Abu Ubaidah :
“Celaka kamu, sebenarnya ini adalah gaun buatan Yaman dan itu adalah pakaian
paling bagus yang saya
miliki yang dilukis dengan tinta dari Syam.”
Hindun : “Wahai
Abu Ubaidah, saya akan malu dihadapan para wanita jika memakai pakaian yang
jelek karena saya adalah isteri pemimpin mereka.”
Abu Ubaidah :
“Kalau seandainya saya bukan pemimpin mereka tentu kamu akan lebih bebas dan
saya akan memberikan apa yang kamu minta. Tetapi karena posisiku adalah sebagai
pemimpin mereka, maka sayapun mempunyai tanggung jawab yang berat atas mereka
di akhirat nanti. Karena itu, tinggalkanlah, hilangkanlah semua kemegahan itu.
Sebab saya mendengar Rasulullah bersabda: “Bahwa orang-orang yang
menyembunyikan kemewahan yang ia miliki (karena takut akan menimbulkan
kecemburuan sosial) adalah orang-orang yang memperoleh kemenangan.”
Hindun : “Wahai
Abu Ubaidah, pertanyaan kamu telah mempengaruhi diriku, karena itu tinggalkan
diriku sekarang dan saya akan menuruti perintahmu. Semoga Allah mengasihimu!”
Abu Ubaidah :
“Saya suka seandainya kerelaanmu ini muncul dari dasar lubuk hatimu yang paling
dalam.”
Hindun : “Saya
rela wahai sahabat Rasulullah seperti apa yang kamu inginkan.”
Abu Ubaidah :
“Semoga kamu diberkahi, wahai penenang hatiku. Semoga Allah tidak mencegahku
untuk memperoleh segala kebaikan dan kerelaan darimu.”
(Berniat
menuruni bukit).
Hindun :
“Tunggulah sebentar sampai saya mengambil sesuatu yang telah saya buatkan
khusus untukmu.”
(Kemudian
ia naik ke atas untuk mengambil sesuatu, lalu kembali lagi sambil membawa
periuk kecil).
Abu Ubaidah : “Apa
ini Hindun?”
Hindun : “Makanan
yang saya buat untukmu, insya Allah kamu akan menyukainya.”
Abu Ubaidah :
“Kamu tahu kalau saya tidak membutuhkan ini. Korma yang ada sejak kemarin,
cukup bagi saya.”
Hindun : “Korma
wahai Amir! padahal dirimu sendiri sedang bekerja keras, mencurahkan segala
kemampuan kamu dalam perang ini? Karena itu, kamu harus memakan makanan yang
baik untuk memenuhi gizimu dan menambah tenagamu.”
Abu Ubaidah :
“Wahai binti Jabir, kami sekarang tidak sedang memerangi kaum musyrikin Quraisy
yang senang memotong hewan sembelihan dan meminum khamer.” (nada sindiran)
Hindun : “Seluruh
isteri kaum muslimin membuat makanan dan memasak daging untuk suami mereka.”
Abu Ubaidah :
“Lakukanlah seperti apa yang mereka lakukan. Tapi ingat, bahwa Abu Ubaidah
tidak suka melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau
keluar untuk berjihad.”
Hindun : “Kenapa
kamu mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah untuk dirimu?”
Abu Ubaidah :
“Demi Allah, saya tidak mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh-Nya,
tetapi Allah berfirman dalam Al Qur`an tentang orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam kenikmatan, ”Kamu telah menghilangkan segala
kebaikanmu di dalam kehidupan dunia ini.”
Hindun : “Tetapi
Allah juga berfirman: “Dan janganlah kamu melupakan bagian duniamu.”
Abu Ubaidah :
“Celaka kamu, saya tidak melakukan ini kecuali mengikuti cara Rasulullah di
mana Allah mengharuskan kita untuk mengikutinya.”
Hindun : “Tidak
semestinya kamu menyulitkan dirimu sendiri.”
Abu Ubaidah :
“Wahai Hindun, apakah yang harus saya harapkan lagi selain kesehatan diriku?
Bukankah kamu juga melihat kalau saya segar bugar dan selalu dalam lindungan
Allah?”
Hindun : “Lalu
bagaimana dengan makanan yang telah saya buatkan untukmu?”
Abu Ubaidah :
“Kalau kamu ingin, biarkan makanan itu bersamamu untuk bekal kamu dan santapan
sahabat-sahabat kamu. Kalau kamu ingin, berikan sebagian makanan kepada saya
untuk saya bagikan kepada sahabat-sahabat saya yang tidak memperoleh masakan
dari isteri-isteri mereka (karena mereka tidak mempunyai isteri) yang tinggal
di kaki bukit sana.”
Hindun : “Kalau
begitu, bawalah semua.”
Abu Ubaidah :
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Binti Jabir.”
(Akhirnya
Abu Ubaidah turun sambil membawa makanan sampai ia hilang dari pandangan mata.
Begitu juga dengan Hindun, ia naik kembali ke tempatnya sampai akhirnya tidak
kelihatan)
(Di kaki
gunung tampak Khalid bin Walid sedang bersama isterinya, Ummu Tamim. Bersama
mereka terdapat Rumanus dan Dhirar)
Khalid : (Berkata
kepada Ummu Tamim) “Ajaklah dia bicara sekali lagi, barangkali dia akan
menerimanya.”
Ummu Tamim: “Ma’afkan saya Khalid, saya sudah berusaha
dan memakai berbagai cara untuk membujuknya tetapi dia tetap menolak. Dalam
pikiran saya, barangkali dia menginginkan laki-laki lain.”
Khalid : “Demi
Allah, dia tidak akan menemukan laki-laki yang lebih utama dan lebih baik dari
pada Rumanus.”
Ummu Tamim: “Ya, tapi kalau dia berfikir seperti itu!”
Khalid : “Kenapa
kamu tidak mau menundanya untuk tidak menikah sampai perang usai wahai Abu
Rum?”
Rumanus : “Saya
khawatir kalau saya terbunuh terlebih dahulu sebelum saya menikahi wanita Arab
yang muslim.”
Khalid : (Sambil
bergurau) “Jadi dia akan menyelamatkan orang yang menyakiti, mencerai beraikan
dan menzalimi dirinya?”
Rumanus : “Saya
akan menanggung segala akibatnya wahai Abu Sulaiman. Semoga Allah memberi
karunia kepada saya, keturunan yang beragama Islam.”
Dhirar : “Biarkan
saya yang berbicara kepadanya dalam persoalan ini.”
Khalid :
“Lakukanlah, semoga Allah memberkati serta memberikan taufiq dan hidayah-Nya
kepadamu.”
Ummu Tamim: “Ambillah pecimu ini. Karena saya akan
kembali ke rombonganku.”
(Ia
memberikan peci tersebut kepada Khalid)
Khalid : “Selamat
tinggal wahai Ummu Tamim.”
Dhirar : “Wahai
Ummu Tamim, saya harap kamu mau mengatakan kepada Khaulah untuk turun menemui
saya.”
Ummu Tamim: “Dengan segala hormat akan saya sampaikan.”
(Lalu ia naik sampai hilang di balik perkemahan)
Khalid :
“Sebaiknya kita tidak di sini hai Rumanus, mari kita keluar.”
(
Keduanya keluar menuju arah timur supaya tidak terlihat oleh Khaulah).
( Tampak
Khaulah binti Azwar sedang turun).
Khaulah :
“Dhirar!”
Dhirar :
“Khaulah!” (mereka berdua bertemu dan saling bersalaman)
Khaulah : “Maafkan
saya wahai saudaraku, saya tidak dapat menyediakan apa-apa untukmu hari ini.”
Dhirar : “Saya
datang ke sini bukan untuk membicarakan itu Khaulah, tetapi saya datang untuk
suatu urusan lain.”
Khaulah : “Apa
itu?”
Dhirar : “Apakah
kamu akan memenuhi permintaanku?”
Khaulah : “Ya,
kalau saya mampu.”
Dhirar : “Kamu
pasti mampu untuk memenuhinya.”
Khaulah :(Menatap
Dhirar dengan penuh curiga) “Hati-hati kamu, jangan sampai membicarakan tentang
orang muslim dari Romawi itu!!”
Dhirar : “Maksud
saya memang itu.”
Khaulah : “Apakah
kamu rela saya menikah dengan orang Romawi itu?”
Dhirar : “Celaka
kamu, kenapa kamu tidak mau menerimanya? Dia adalah seorang muslim sama seperti
kita. Dia adalah penguasa Basrah yang diangkat oleh Heraklius langsung. Lalu,
kemuliaan apalagi yang kamu inginkan melebihi dari itu?”
Khaulah :
“Tangguhkan masalah ini sampai peperangan ini usai.”
Dhirar : “Saya
tidak ingin berperang sebelum melihatmu menikah.”
Khaulah : “Tetapi
saya ingin meninggal dalam keadaan syahid.”
Dhirar : “Kamu
dapat mati syahid dalam keadaan sudah menikah.”
Khualah : “Kamu
jangan memaksa saya untuk menikah.”
Dhirar : “Tapi
ternyata, kamu ingin menikah dengan Khalid bin Walid walaupun dalam keadaan
perang?!”
Khulah : “Siapa
yang mengatakan itu kepadamu?”
Dhirar : “Karena
itu kamu menolak semua pinangan yang diajukan kepadamu?!”
Khaulah : “Anggaplah
apa yang kamu katakan itu benar. Lalu apa jeleknya bagi saya? Dia adalah pemimpin kaum dan pemimpin para
pahlawan.”
Dhirar : “Tidak
seyogyanya kamu mencintai orang yang tidak mencintaimu. Di sisi lain, dia juga
mempunyai isteri yang lebih cantik dari kamu.”
Khulah : “Tetapi
saya mirip dengannya, dan sifatnyapun hampir sama denganku.”
Dhirar : “Apakah
karena ini kamu ikut dalam peperangan ini?”
Khaulah : “Ya.”
Dhirar : “Dan
Ummu Tamimpun berperang karena motif itu. Lalu kenapa Khalid harus meninggalkannya
demi kamu?”
Khaulah : “Tidak
apa-apa kalau dia ingin mengumpulkan (poligami) kita berdua menjadi isterinya.”
Dhirar :
“Dengarkanlah wahai saudaraku, Khalid pernah memadu Ummu Tamim dengan anak
perempuan Muja’ah dan keadaannya pun lebih cantik dari kamu. Tapi tidak lama
kemudian, diapun mentalak anak perempuan Muja’ah dan lebih memilih untuk tetap
bersama Ummu Tamim karena dia tidak mampu melihat perselisihan dan pertengkaran
di antara para isteri.”
Khaulah : “Saya
dengan Ummu Tamim tidak akan bertengkar.”
Dhirar : “Celaka
kamu, apakah kamu telah mengemukakannya kepada Ummu Tamim dan membuat
kesepakatan untuk tidak saling berselisih?”
Khaulah : “Tidak
wahai saudaraku. Tetapi saya tidak akan menyakiti hatinya selamanya. Saya akan
memposisikan diri saya sebagai saudara mudanya.”
Dhirar : “Ada apa
dengan semua ini, wahai para perempuan. Demi Allah kamu ingin isteri tuanya.”
Khaulah : “Apakah
orang Romawi itu tidak menemukan perempuan lain yang dapat dinikahinya selain
aku?”
Dhirar : “Dia
ingin menikahi perempuan Arab yang muslim. Dan di sini tidak ada perempuan lain
selain kamu dan Ummu Aban. Sedangkan Ummu Aban sendiri masih dalam keadaan
berkabung atas kematian suaminya. Karena itu tidak ada yang lain selain kamu.”
Khaulah : “Jadi,
dia ingin menikahiku karena dia tidak menemukan perempuan lain selain diriku?”
Dhirar : “Lalu
apa jeleknya? Kita sekarang berada di sini, di negeri Syam. Kalau dia pergi ke
negeri-negeri Arab tentu dia akan menemukan banyak perempaun yang lebih baik
selain kamu.”
Khaulah : “Kalau
begitu, suruh saja dia pergi ke negeri Arab!”
Dhirar : “Dan
meninggalkan jihad di jalan Allah?”
Khaulah : “Dia
sedang berjihad di jalan Allah, tetapi kenapa pikirannya masih disibukkan
dengan urusan pernikahan?”
Dhirar : “Semoga
Allah mengkaruniainya keturunan orang-orang Islam yang mau berjihad di jalan
Allah.”
Khaulah : “Apakah
dia yang mengutusmu untuk menyampaikannya ini padaku?”
Dhirar : “Bukan,
tetapi Khalidlah yang mengutusku.”
Khaulah : (Dia
menggigil dan kemarahan tampak di wajahnya) “Khalid bin Walid?”
Dhirar : “Jika
kamu menghormatinya, maka muliakanlah Rumanus. Karena Khalid menghormati
Rumanus.”
Khaulah :
(Berusaha untuk mengakhiri pembicaraan) “Dan kamu sendiri, kenapa kamu tidak
menikah?”
Dhirar : “Karena
saya yakin kalau Allah akan memberikan predikat syahid kepadaku dalam waktu
dekat ini.”
Khaulah : “Justru
itu lebih pantas untuk dijadikan motif agar kamu cepat menikah.”
Dhirar : “Tetapi
saya sedang menunggu untuk menikah dengan bidadari di surga.”
Khaulah : “Lalu
kenapa saudaramu yang berbangsa Romawi itu tidak mau menunggu seperti kamu agar
dapat menikah dengan bidadari?”
Dhirar : (Berkata
dengan lirih) “Wahai Khaulah binti Azwar, dia memiliki perempuan pilihan yang
lebih utama jika dibandingkan dengan bidadari.”
Khaulah : (Agak
tersipu malu) “Jangan bohong. Tadi kamu bilang kalau ia menginginkan aku karena
tidak menemukan perempaun lain.”
Dhirar : “Dia
tidak menemukan yang tepat buatnya selain kamu.”
Khaulah : “Demi
Allah saya tidak akan menikah sampai perang ini selesai.”
Dhirar : “Dan kamu
mau menikah dengannya nanti?”
Khaulah : “Ya.”
(kemudian dia pergi menaiki anak bukit).
Dhirar : “Tapi
saya khawatir kalau dia membatalkannya karena terluka dalam peperangan sampai
akhirnya terlambat menikahimu. Dan ini membutuhkan waktu yang lebih lama lagi
karena harus menunggu kesembuhannya.”
Khaulah : (Dari
jauh) “Kalau itu yang terjadi, maka saya tidak akan menerimanya selamanya.”
(Akhirnya
Khaulah tidak nampak lagi karena tertutup oleh tenda-tenda)
(Lalu
muncul Khalid bin Walid dengan Rumanus. Keduanya menarik tangan Dhirar, lalu
turun bersama-sama. Tiba-tiba di tengah jalan mereka bertemu dengan Qais bin Hubairah).
Khalid : “Qais
bin Hubairah! Kamu mau melakukan peninjauan tempat perlindungan ini?”
Qais : “Ya.
Kamukan yang menyuruh saya untuk melakukan ini, wahai Abu Sulaiman. Dan saya
tidak tahu kalau akan menemukanmu di sini.”
Khalid : “Tapi
itu bagus. Bagaimanapun juga tidak baik bagi kamu meninggalkan daerah yang
sudah ditetapkan sebagai tangungjawabmu (untuk dijaga).”
(Khalid,
Rumanus dan Dhirar akhirnya keluar dari kawasan itu)
(Sementara
itu, ketika Qais bin Hubairah baru
menaikinya sedikit, tiba-tiba ada seorang wanita turun menuju ke arahnya).
Perempuan :
(Memanggil dengan manja) “Abdullah! Abdullah! saya sudah mempersiapkan makanan
yang lezat untukmu!”
Qais : (Sambil
berkomat kamit) “Astaghfirullah. Apa yang diinginkan perempuan ini dariku?”
(dia turun sambil membelakanginya).
Perempuan : (Berlari
di belakangnya) “Dengarkan! demi diriku wahai Ibnu Qurth, kemarilah untuk
makan!”
Qais :
(Berkomat-kamit) “La haula wala quwwata
illa billah, kamu menyangka kalau saya adalah Abdullah bin Qurth.”
Perempuan :
“Abdullah, apa yang kamu katakan!?”
Qais : “Wahai
ibu, barangkali kamu mengira kalau saya adalah Abdullah bin Qurth, padahal
bukan!”
Perempuan : “Oh,
betapa hinanya aku, kedua mata ini telah membohongi diriku.”
Qais : “Jangan takut! kamu dapat minta ma’af.
Memang, saya seperti Abdullah bin Qurth sampai seakan-akan kami berdua adalah
saudara kembar.”
Perempuan : “Oh
betapa hinanya aku, betapa malunya aku.” (lalu dia kembali ke kelompok
perempuan yang berada di atas).
Para wanita : “Apa
yang kamu katakan wahai Umaimah?”
Umaimah : “Saya
kira dia adalah Abdullah, suamiku. Tapi ternyata dia orang lain.”
Para wanita :
“Orang lain?”
Qais : (Agak bimbang,
namun akhirnya dia naik ke tempat para wanita itu) “Wahai para perempuan
muslimah, saya adalah Qais bin Hubairah al-Muradi. Saudara kalian telah mengira
kalau saya adalah suaminya. Karena itu dia berhak meminta ma’af. Adapun diriku,
seperti yang kalian lihat, memang menyerupai Abdullah bin Qurth Ats Tsumali.”
Umaimah : “Oh
betapa malunya aku, saya tidak tahu kalau dia bukan Abdullah bin Qurth kecuali
dari suaranya.”
Qais : “Dengarkanlah wahai saudaraku,
berhati-hatilah kalian semua. Allah mencela wanita yang memperlihatkan cinta
kasih kepada suaminya –dan ini sebenarnya adalah musuh yang menyelimuti
dirinya- tetapi sang suami tidak berperang karena dia.”
Salah satu wanita: “Celaka kamu wahai Ibnu Hubairah. Katakan hal itu pada kaum lelaki. Tidak ada
di antara kita orang-orang yang mempunyai sifat seperti apa yang kamu katakan
tadi.”
Qais : “Jika ada laki-laki yang menginginkan
isterinya melakukan itu (berperang tidak karena isterinya) maka taburkanlah
debu di wajahnya dan katakan kepadanya “Keluarlah, pergilah berperang demi aku,
jika tidak maka aku bukan isterimu.” (lalu dia keluar).
Salah satu wanita: “Itu buat kamu wahai Umaimah binti Abu
Basyar Al Asadiyah. Kamu telah menjadikan kami mencela dan menegur laki-laki
ini.”
Yang lain : “Demi
Allah, dalam masalah ini kami tidak memerlukan nasehatnya.”
Umaimah :
“Sebagian loghat bahasanya mungkin benar. Tapi demi Allah, saya mengira kalau
dia itu adalah Abdullah ibnu Qurth.”
Wanita yang ketiga: “Karena itu kami tidak mencelamu,
kamu tidak ingin mencela ibnu Qurth sekarang?”
Umaimah : “Wahai
saudara-saudaraku, ibnu Qurth datang dari Madinah membawa surat dari Amirul
Mukminin Umar bin Khattab. Dan sekarang tenaganya telah habis setelah dia
menempuh perjalanan jauh pulang pergi tanpa berhenti.”
Wanita yang ketiga: “Celaka kamu, kalau keadaannya memang
seperti itu, maka itu lebih pantas bagimu untuk tidak melakukan sesuatu yang
kamu inginkan.” (sambil tertawa).
Umaimah : (Sambil
marah) “Sialan kalian semua. Apakah kalian tidak mau mendengarkan semua
keteranganku?”
Para wanita :
(Serempak) “Kami akan mendengarkan segala keteranganmu!”
Umaimah :
“Sesungguhnya suamiku belum makan malam semenjak kemarin sore.”
Para wanita :
“Kenapa kamu tidak memberinya makan?”
Umaimah : “Makan
malamnya dihabiskan oleh dua saudaranya yang makan bersamanya. Dan hari ini
saya sudah mempersiapkan makanan yang lezat untuknya. Karena itu, kalau aku
melihatnya berada di kaki bukit itu maka saya akan mengatakan “Makanlah
sekarang.”
Para wanita :
“Kamu akan memberinya makan sebelum shalat maghrib?”
Umaimah : “Karena
dia sangat lapar.”
Para wanita :
“Kalau dia sangat lapar, maka kita tidak pantas untuk menegurnya seperti itu!”
Umaimah : (Tampak
marah) “Wahai, yang saya maksud adalah suamiku, Abdullah bin Qurth!”
Wanita ketiga: “Bersyukurlah kepada Allah, sebab
laki-laki itu tidak memakan hidangan makan malammu. Sehingga tidak menjadikan
belaian hatimu (suamimu) melewatkan malam ini tanpa makan malam.”
(mereka
semua tertawa dan tawa mereka tidak berhenti sampai mereka mendengarkan suara
panggilan adzan untuk shalat maghrib).
bersambung ...