Posted by : Unknown
Jumat, 08 Maret 2013
Tapi, semua orang juga tahu, kini
Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih
banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya
miskin, utang negara luar biasa besar. Disebut-sebut lebih dari Rp 1400 trilyun rupiah. Sebanyak
Rp. 742 triliun rupiah diantaranya berupa utang luar negeri, sisanya adalah utang
dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang
sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri.
Hal ini nampak pada pos penerimaan dalam
APBN tahun 2002 yang dari sektor pajak
mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat jualah yang harus menanggung beban
keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi,
maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Tampak, bahwa beban perbaikan ekonomi
ke depan akan semakin bertambah berat karena Indonesia harus menanggung
cicilan utang plus bunganya, ditambah dengan masih tingginya ketergantungan
pemerintah terhadap bantuan (utang) luar
negeri untuk keperluan pembangunan nasional dan berjalannya roda pemerintahan.
Dengan demikian, sesungguhnya
pola pembangunan Indonesia di masa sekarang ini tidaklah banyak
mengalami perubahan dibanding dengan masa Orde Baru (yang telah direformasi
itu). Yaitu tetap mengandalkan sumber
pembiayaan pembangunan dari utang luar negeri dan menggenjot pajak.
Belakangan, utang luar negeri yang bukan
berkurang melainkan justru makin bertambah terus itu menurut Lubis et al., (1998)
memunculkan persoalan baru seperti
kerusakan hutan dan polusi alam akibat eksploitasi
sumber daya alam yang makin tak terkendali demi mendapatkan devisa dan pesanan negara donor di luar
negeri untuk mencicil utang luar negeri plus bunganya yang terus membengkak.
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan
berkah yang semestinya. Dari sini sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya
seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di
atas pendaringan beras’. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak
kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?
Pengelolaan SDA di Indonesia
Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski
dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam
dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari
sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang
sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai
contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang
ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 –
8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah
itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar
83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Pengelolaan hutan dengan sistem
HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melainkan
ditiru dari Belanda. Sistem
pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat
merugikan rakyat itu beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, diterapkan rezim Orde Baru. Saat itu
pemerintah memang benar-benar sedang
butuh duit untuk biaya pembangunan
sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektar itu
diperkenankan untuk diambil kayunya.
Dalam konsep HPH, pemegang
HPH mengeksploitasi hutan selama 35
tahun melalui rencana karya tahunan (RKT). Penebangan kayu sesuai RKT itu
dilakukan terhadap blok-blok hutan secara berkeliling, sesudah itu diidealkan
akan ditanam kembali sehingga pada tahun ke-36 atau sesudah habis masa konsesi,
hutan pada RKT pertama bisa ditebang kembali. Dengan konsep itu pengelola HPH
harus benar-benar orang yang mengerti kehutanan, sebab hutan memiliki tiga
fungsi sekaligus, yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam praktiknya, konsesi
HPH dengan luas rata-rata 100.000 hektar itu diberikan kepada pengusaha
"kelas dengkul", yayasan-yayasan termasuk yayasan milik tentara dan
institusi lain yang sama sekali tidak memiliki modal, keahlian dan pengetahuan
tentang kehutanan. Mereka akhirnya mencari mitra dari luar negeri (sebagian
besar dari Malaysia) dan mereka hanya menerima fee dari para kontraktor
asing itu.
Dan pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi
hutan secara membabi buta. Bila untuk
mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat
terkait, sebagai pengusaha, mereka
berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu
secepat mungkin dengan segala cara. Maka terjadilah eksploitasi hutan secara
semena-mena. Perjalanan sejarah hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ini
benar-benar buram, sebab sejak itulah pengusahaan hutan di Indonesia tidak lagi
mengindahkan aspek kelestarian.
PT
Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi
hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50
juta hektar. Kerusakan itu makin
menggila karena sering pula pengusaha hutan
melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat
keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee
dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/penggadaian
hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial
hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui tebang habis
Indonesia (THI). Ketentuan Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang
dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektar dibabat habis. Akhirnya, rakyat
yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan
dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara
yang berjibun jumlahnya.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Secara geologis, Indonesia merupakan
wilayah pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteranean dengan Sirkum
Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan
vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.
Dengan besarnya potensi
tambang ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah
menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai
dengan Kontrak Karya generasi I (KK I)
untuk konsesi selama 30 tahun. Selama
itu, PTFI boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi
dalam negeri) dan pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apapun.
Setelah kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil,
Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Berikutnya pada KK III, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pajak ekspor US$ 0,025-0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35 % dan harus menyisihkan 10 % saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977-1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan KK III. Pada KK IV pemerintah mulai mengendurkan persyaratan kembali, diantaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada KK IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).
Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Berikutnya pada KK III, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pajak ekspor US$ 0,025-0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35 % dan harus menyisihkan 10 % saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977-1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan KK III. Pada KK IV pemerintah mulai mengendurkan persyaratan kembali, diantaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada KK IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).
Pada tahun 1988, secara tak terduga
FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan
mencapai 72 juta tons. Kemudian mereka
mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10
tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK
I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit,
royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 - 3,5 %,
sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479
juta (SWA Sembada, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibanding
pendapatan diperoleh FI sekitar US$ 1,5
milyar (tahun 1996), yang dipotong 1
% untuk
dana pengembangan masyarakat Irian (ketika itu sekitar US$ 15 juta) (Gatra, Oktober, 1998).
Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa mulai dari KK I sampai KK V telah
seratus lebih perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengeruk kekayaan alam
Indonesia.
Jelaslah, bahwa pemberian HPH kepada segelintir orang dalam
pengelolaan hutan juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk
mengelola minyak, emas atau barang tambang lainnya seperti yang dilakukan
selama ini sudah terbukti salah. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak
dinikmati oleh segelintir pengusaha atau
perusahaan-perusahaan itu dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha
ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan hutan dan barang tambang
serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini
dilakukan jelas harus ditinjau ulang.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum
yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada
rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer
semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma
pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate
based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh
negara (state based management) dengan tetap berorientasi
kelestarian sumber daya (sustainable
resources principle).
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh
negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat
dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut,
Abyad diceritakan telah meminta kepada
Rasul untuk dapat mengelola sebuah
tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh
seorang shahabat,
“Wahai Rasulullah, tahukah
engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian
bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam
yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang
garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang
yang lain kepada seseorang. Tapi ketika
kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang
tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang
terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan
kandungannya yang sangat besar itu
tambang tersebut dikategorikan
milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti,
ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik
kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:
“Adapun pemberian Nabi SAW
kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab,
kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau
mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati
yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui
bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut
merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka
beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang,
api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut,
maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain
tidak dapat memilikinya”.
Penarikan kembali pemberian Rasul
kepada Abyadh adalah illat
dari larangan sesuatu yang menjadi
milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits
dari Amru bin Qais lebih jelas lagi
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul
milhi” (tambang garam). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud,
bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Harits Al Muzni dari
kabilahnya, serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal dari Abi Ikrimah yang
mengatakan: “Rasulullah saw.memberikan
sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut
kandungan buminya, baik berupa gunung atau tambang,” sebenarnya tidak
bertentangan dengan hadits Abyadh ini.
Hadits di atas mengandung pengertian
bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas, sehingga boleh diberikan.
Sebagaimana Rasulullah pertama kalinya memberikan tambang garam tersebut kepada
Abyadh. Tapi kebolehan pemberian barang tambang ini tidak boleh diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian
tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul
setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang
terus mengalir. Jadi jelaslah bahwa
kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi
Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar
baik yang nampak sehingga bisa
didapat tanpa harus susah payah seperti
garam, batubara, dan sebagainya;
ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh
kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan
sejenisnya termasuk milik umum. Baik
berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak,
semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Sedangkan benda-benda yang sifat
pembentukannya mencegah untuk hanya dimiliki oleh pribadi, benda tersebut termasuk milik umum. Meski
termasuk dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok
yang pertama dari segi sifatnya, maka
benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan
kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh
individu, tapi bila suatu komunitas
membutuhkannya, individu tidak boleh memilikina. Berbeda dengan jalan, sebab
jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya
pembagian ini - meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum -
esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Seperti jalan, sungai, laut, dana, tanah-tanah umum,
teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi
adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan,
tempat-tempat penampungan dan sebagainya.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73)
mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan:
“Barang-barang tambang yang oleh
manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air,
belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak
boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum
muslimin, sebab hal itu akan merugikan mereka”.
Maksud dari pendapat Ibnu Qudamah
adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh
dari tanah hak milik khusus. Maka barang siapa menemukan barang tambang atau
petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus
diberikan kepada negara untuk mengelolanya.
Pemasukan Negara
Dengan memahami ketentuan syari’at Islam terhadap status sumber daya
alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus,
yakni didapatnya sumber pemasukan bagi
anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan
negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan
terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara
mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat
melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran
harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya
semua ditentukan oleh syari’at Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluarannya
Kas Baitul Mal, adalah:
1. Sektor kepemilikan individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan
individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh
dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah
(kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya
untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an
(At-Taubah: 60), yaitu: 1). Faqir, 2). Miskin, 3). Amil zakat, 4). Muallaf, 5)
Memerdekakan budak, 6) Gharimin (terlilit hutang), 7). Jihad fi sabilillah, 8).
Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara, infaq dan
shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan
untuk kemashlahatan ummat.
2. Sektor kepemilikan umum
Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum baik
berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan dsb.
Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
- Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
- Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumberdaya alam itu berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
- Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
3.
Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini
meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima
rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis
dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk
kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.
Khatimah
Jelas sekali, pemerintah harus
memanfaatkan seoptimal mungkin sumber dayaalam negeri ini yang sesungguhnya
sangat melimpah itu. Harus ada strategi
baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang
berhubungan dengan hutan saja yang
mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan
sumberdaya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar.
Sejak tahun 1973 konon lebih dari Rp 500 triliun hasil emas melayang ke luar
negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya
jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh
negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan
rakyat. Begitu juga dengan barang tambang lain.
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumberdaya alam itu hanya mungkin
bila BUMN yang menangani semua kekayaan
milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di
BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktek-praktek
kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana itu tidak sampai ke tangan rakyat,
BUMN itu juga mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN misalnya, yang menjadi
perusahaan tunggal dalam pengelolaan
listrik, bisa merugi? Padahal tidak ada satupun rakyat yang tidak
menggunakan listrik. Juga tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN.
Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa
digunakan untuk kesejahteraan rakyat, dan BUMN itu juga bisa berjalan dengan
baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berhutang ke sana kemari.
Insya Allah.
Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Muhammad Ismail Yusanto
Direktur SEM Institute, Jakarta