Posted by : Unknown Jumat, 12 April 2013



EPISODE KELIMA

Di tepi jalan utama menuju dataran luas yang terletak antara lembah ‘Alan dan lembah Riqad.
Kemah pasukan kaum muslimin yang menjadi pusat komando terletak di pusat kawasan itu. Di belakang sebelah kanannya, terlihat bagian bawah kaki bukit yang merupakan tempat perkemahan para wanita muslimah. Di depan perkemahan itu terdapat tanah lapang yang bersambung dengan medan pertempuran yang terletak di sebelah kiri.
Terlihat Khalid bin Walid sedang berdiri, di sekelilingnya terdapat pula Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan, Sa’id bin Zaid, Syurahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah dan Mu’adz bin Jabal.

Khalid    : “Katakan apa yang ada di benak kalian, saya akan dengan senang hati mendengarkannya dengan sungguh-sungguh dari kalian.”
Amr       : “Anda memberi bagian sepuluh bagian pasukan (detasemen) kepada saya di daerah sayap sebelah kanan. Dan saya sudah mengeceknya ke sana hari ini, tapi ternyata hanya melihat empat detasemen.”
Yazid     : “Begitu juga dengan saya di sisi sebelah kiri, yang tersisa hanya empat dari sepuluh detasemen yang seharusnya.”
Khalid    : “Saya mengirim mereka menuju ke arah timur dan barat.”
Amr       : “Bukankah anda dapat meninggalkan kedua sisi itu (tidak menempatkan pasukan dari sayap kanan dan kiri) dan anda dapat mengambil pasukan langsung dari pusat?”
Khalid    : “Beri dia jawaban, wahai Abu Ubaidah. Dia tidak tahu kalau saya juga mengambil dua belas detasemen dari pasukanmu.”
Yazid dan Amr: “Dua belas detasemen?”
Abu Ubaidah   : “Ya, di pusat hanya tertinggal delapan detasemen.”
Amr       : “Peperangannya berlangsung di sini, wahai Abu Sulaiman, bukan di sana.”
Khalid    : “Kita tidak mungkin mengharapkan peperangan terjadi di sini. Kecuali dengan orang-orang (pasukan musuh) yang berada di sana, mengepung di belakang kita.”
Amr       : “Dua puluh empat detasemen demi untuk menjaga barisan belakang?”
Khalid    : “Demi Allah, saya lebih senang lagi kalau saya dapat menambah jumlahnya.”
Amr       : “Demi Allah wahai Khalid, kamu telah menjadi orang yang berlebih-lebihan.”
Khalid    : “Apa yang kamu bicarakan wahai Amr bin Ash? bukankah kamu sudah berjanji kepadaku hari ini kalau kamu tidak akan mempertanyakan lagi apa yang akan saya lakukan?”
Amr       : “Saya tidak akan diam sebelum kamu menerangkan rencanamu, dengan begitu saya dan orang-orang yang bersama saya akan tenang.”
Khalid    : “Wahai Abu Abdullah, bukankah kamu telah menanyakan hal ini sejak awal? kalian semua tahu kalau kita telah mengepung tentara Romawi di dataran luas ini?!”
Para hadirin  : “Ya, benar.”
Khalid    : “Pengepungan tidak akan sempurna selama mereka punya jalan yang dapat dilaluinya yaitu yang berada di lembah Riqad untuk menuju ke timur dan jalan yang berada di lembah ‘Alan untuk menuju ke arah barat.”
Yazid     : “Apakah kamu khawatir, wahai Abu Sulaiman, kalau datang bala bantuan dari Heraklius untuk mereka, melalui dua jalur itu?”
Khalid    : “Bukan bala bantuan yang saya khawatirkan, tetapi justru yang saya khawatirkan adalah kalau mereka melarikan diri.”
Yazid     : “Kamu khawatir kalau mereka melarikan diri dari dua celah itu?”
Khalid    : “Ya,  ketika mereka merasa takut dan terdesak pasti mereka akan melakukan itu. Karena itu, saya tempatkan pasukan di sana. Dengan begitu ketika mereka akan melarikan diri, mereka akan menemukan pasukan kita berada di jalan bagian atas mereka untuk menutup setiap celah yang dapat dipergunakan untuk lari. Dengan begitu mereka tidak akan menemukan jalan keluar selain jaring itu (yang kita pasang) yang mereka anggap gampang untuk melewatinya.”
Amr       : “Ini ide yang cemerlang, wahai Abu Sulaiman. Tetapi dua puluh empat detasemen itu sangat banyak.”
Khalid    : “Justru itu sedikit sekali Amr. Mereka juga  mengepung dan mengancam pasukan garis belakang kita, juga dengan pasukan Jabalah bin Aiham yang berjumlah sekitar enam puluh ribu orang.”
Amr       : “Barangkali mereka akan berperang di sini, di tanah lapang ini.”
Khalid    : “Bahan sudah mencium adanya perangkap yang dipasang untuknya. Dan tidak ada jalan keluar baginya kecuali dengan mengirimkan pasukan Arab yang tangkas itu untuk mengepung kita dari belakang dan mereka akhirnya akan menyingkirkan kita dari jalan sempit ini. Padahal daerah ini sangat strategis sekali.”  
Amr       : “Jika dia tidak melakukan hal itu?”
Khalid    : “Kita tidak akan rugi apa-apa. Pasukan kita yang berjumlah dua puluh empat detasemen itu dapat dengan mudah menyerang mereka dari belakang dan itu akibatnya akan lebih buruk bagi mereka di sana jika dibandingkan mereka tetap tinggal di sini.”
Amr       : “Kamu mengirim lebih dari setengah pasukan berkuda ke sana. Lalu kepada siapa kamu memberikan kendali pasukan kita?”
Khalid    : “Saya menetapkan dua bagian yang dipimpin Ubadah bin Shamit dan Umairah bin Sa’ad untuk menempati bagian timur serta Sa’id bin Amir untuk bagian barat.”
Amr       : “Mereka bertiga semuanya dari kaum Anshar?”
Khalid    : “Ya, karena orang-orang dari suku Ghassan itu dulunya adalah pengikut Jabalah yang mempunyai hubungan nasab dengan suku Aus dan Khazraj. Karena itu, saya mengharapkan mereka dapat menjadi utusan perdamaian bagi pasukan musuh. Nah sekarang, apakah kalian masih punya pertanyaan lagi?”
Para hadirin  : “Selamat wahai Abu Sulaiman. Semoga Allah selalu memberi kebaikan yang banyak kepadamu.”
Khalid    : “Sekarang, silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing, semoga Allah memberi rahmat-Nya kepada kalian.” (mereka akan beranjak pergi, namun Khalid menghentikannya).
          “Tunggu sebentar... Itu ada salah satu pasukan mereka (Romawi) telah datang sambil membawa bendera perdamaian. Itu dia, Jurjah!” 
Abu Ubaidah   : “Benar....Itu sahabat kita, Jurjah.”
Syurahbil : “Lihatlah apa yang dia inginkan?”
Yazid     : “Apakah kalian percaya dengan keikhlasannya?”
          (derap suara kaki kuda yang berlari telah lenyap, lalu muncullah Jurjah)
Abu Ubaidah   : “Selamat datang...selamat datang Jurjah!”
Jurjah    : “Assalamu’alaikum.”
Para hadirin  : “Waalaikum salam.”
Jurjah    : “Saya adalah utusan Bahan yang dikirim kepada kalian. Apakah saya dapat memberikan suratnya sekarang?”
Khalid    : “Berikan saja, Jurjah. Tidak ada rahasia di antara kami.”
Jurjah    : (dengan dialek dan nada persahabatan) “Bahan sekarang dalam keadaan yang sangat susah. Lebih-lebih setelah kekalahan pasukan Jabalah bin Aiham di sebelah barat dan timur. Merekapun diusir dan dikeluarkan dari pasukan Romawi. Jabalah sendiripun sampai sekarang belum kembali, tidak diketahui nasibnya apakah dia sudah mati atau masih hidup.”
Abu ubaidah   : “Alhamdulillah...ini berita yang menyenangkan, Jurjah.”
Jurjah    : “Sekarang Bahan telah yakin kalau semua pasukannya akan binasa jika ia tidak segera keluar dari kepungan ini. Karena itu, dia mengirimku untuk mengajukan genjatan senjata kepada kalian di mana semua pasukan Romawi akan mundur dari dataran luas ini. Begitu juga dengan pasukan kalian. Mereka akan kembali ke Antokiyah dan Qisariyah sedangkan kalian juga akan kembali ke Damsiq, Hims dan seluruh kota yang telah kalian tinggalkan di sebelah timur.”
Khalid    : “(Dengan nada bergurau) dan kamu menasehati kami agar menerima gencatan senjata itu?”
Jurjah    : “Kalau itu saya lakukan, lalu dimana rasa keislamanku, Khalid?”
Khalid    : “(Tersenyum) saya kira begitu. Oh ya, apakah kamu telah melakukan sesuatu yang telah kita sepakati untuknya (Bahan)?”
Jurjah    : “Sudah, aku sudah melakukan dari berbagai sisi. Saya sudah menghasut mereka, antara yang satu dengan yang lain sampai saya juga sudah dapat menghancurkan hubungan antara orang Romawi dan Arab dan antara orang Arab dengan orang-orang Armenia.”
Khalid    : “Selamat untukmu, Jurjah. Demi Allah, kamu adalah sebaik-baik pasukan batalyon bagi kami.”
Khalid    : “Ini semua adalah berkat kamu.”
Khalid    : “Kembalilah kepada Bahan dan katakan kepadanya: ”Sekarang, setelah anda dan pasukan anda berada di bawah genggaman kami anda meminta gencatan senjata? Tipulah orang lain selain aku.”
Jurjah    : “Jadi bersiaplah kalian semua! Dia akan melakukan serangan besar-besaran di dataran ini supaya dia dan pasukannya dapat keluar dari kepungan ini.”
          (Bersiap untuk pergi).
Khalid    : “Sampai ketemu lagi. Semoga keselamatan selalu menyertaimu.”
(Lalu Jurjah keluar).
Amr       : “Alangkah hebatnya kamu, Khalid. Tidak ada suatu halpun yang kamu persiapkan kecuali kamu juga telah menyiapkan segala perlengkapannya.”
Syurahbil : “Para pasukan di sana bertempur melawan kaum musyrikin dan mengalahkan mereka. Sedangkan kami di sini mencelamu karena kamu mengirim mereka.”
Mu’adz    : “Kamu memang benar-benar pedang Allah sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW.”
Abu Ubaidah   : “(Memeluk Khalid dengan penuh cinta dan penghormatan) hebat... kamu hebat, wahai Abu Sulaiman.”
Khalid    : “(Tampak kelembutannya) Wahai kepercayaan umat ini, wahai sahabat Rasulullah, demi Allah saya sangat senang kalau bisa mati dalam peperangan karena dulu aku justru memerangi Nabi dan kaum muslimin di perang Uhud!” (air mata bercucuran di kedua matanya).
Abu Ubaidah   : “Tenanglah kamu, sesungguhnya agama Islam telah menghapus segala apa yang kamu lakukan oleh dirimu sebelumnya.”
Khalid    : “Benar, tetapi setiap kali saya mengingat peristiwa perang Uhud, tenggorokanku seperti tersendat duri ilalang.” 
Khalid    : “(Mengusap air matanya) mari, sekarang kembalilah kalian semua ke pos kalian sebelum Bahan menyerang kita dengan tiba-tiba. Kamu Amr, posisimu di sebelah kanan dan akan menghadapi Dranger. Kamu Yazid, posisimu di sebelah kiri dan kamu akan menghadapi Ibnu Qunathir. Dan kamu, Abu Ubidah, posisimu berada di jantung pertahanan pasukan garis belakang untuk menggempur pasukan yang mundur karena pertempuran yang sangat hebat. Dan kamu, Mu’adz bin Jabal, kamu pergi bersama Abu Ubaidah. Sedangkan Sa’id bin Yazid dan Syurahbil berada di jantung pasukan garis depan untuk menghadapi Bahan dan Jurjair.”
Abu Ubaidah   : “Kami akan mentaati perintahmu, wahai Abu Sulaiman.” (mereka keluar).
          (Dari sisi lereng gunung sebelah kanan, muncul Ummu Tamim beserta jama’ah kaum wanita dengan dipimpin oleh Asma` binti Abu Bakar).
Ummu Tamim: “Kami utusan kaum wanita, Khalid!”
Khalid    : “Selamat datang wahai para mujahid wanita.”
Asma`     : “Kamu menerima permintaan kami, Abu Sulaiman?”
Khalid    : “Ya, sekarang lihatlah rencanaku ini. Saya telah memukul mundur (Bahan) sampai ia berada di tengah jalan yang sempit ini. Karena itu para penyerang dari pasukan Romawi maupun pasukan yang kalah dari pihak kaum muslimin tidak akan dapat melewati daerah ini kecuali setelah melangkahi tubuhku dan tubuh pasukanku. Sedangkan daerah anak bukit, yang menjadi tempat tinggal kalian sekarang, akan menjadi penghalang bagi orang yang akan lari dari daerah jalan yang sempit itu. Karena itu, kalian harus menjaganya sebagaimana aku menjaga jalan daerah sempit ini. Jangan biarkan seorangpun, baik dari pihak tentara Romawi maupun pasukan kaum muslimin, menuju ke arah kalian. Jika mereka akan melewati kalian, maka lemparilah dengan batu atau pukullah dengan kayu dan tongkat. Wahai para wanita muslimah, pada hari yang sulit ini, saya bergantung dan bersandar pada kalian. Juga jangan sampai kaum muslimin datang dari arah kalian.”
Asma`     : “Wahai Abu Sulaiman, kamu akan melihat kemampuan yang kami miliki dan insya Allah itu akan membuatmu gembira.”
Khalid    : “Insya Allah, wahai Ummu Tamim, mau kemana kamu?”
Ummu Tamim: “Ke anak bukit itu bersama mereka.”
Khalid    : “Tidak, kamu dan Ummu Hakim tetap berada di sini bersamaku untuk menjaga jalan sempit ini.” (para wanita itupun, selain Ummu Tamim dan Ummu Hakim, keluar)
Khalid    : “Bukankah lebih baik bagi kalian berdua untuk dekat dengan suami kalian?”
Ummu Hakim: “Mana suamiku paman?”
Khalid    : “Ikrimah! kemarilah!”
          (Ikrimah pun masuk dari sebelah kiri).
Ikrimah   : “Apakah kamu ingin menempatkan mereka berdua di sini, Khalid?”
Khalid    : “Ya, saya tidak akan meninggalkan mereka berdua terus menerus berada di tenda sampai datang kemenangan dari Allah. Lihatlah Ikrimah, apa itu?”
Ikrimah   : “Penglihatanku tidak lebih tajam darimu.”
Khalid    : “Seorang tentara Romawi telah datang, barangkali dia ingin melakukan mubarazah (pertandingan satu lawan satu).”
Ikrimah   : “Lalu, siapa itu yang di belakangnya?”
Khalid    : “Kalau mataku tidak salah, itu adalah Abu Basyir. Yah, itu dia.”
Abu Basyir    : “(Suaranya) wahai orang-orang muslim, siapa saja dari kalian yang ingin mencicipi rasanya mati, maka lawanlah Petrik yang tidak pernah terkalahkan ini!”
Suara     : “Biarkan saya menghadapinya, Khalid!”
Khalid    : “Jangan, wahai Maisarah bin Masruq. Kamu sudah tua sedangkan orang Romawi itu masih muda. Tetaplah di sini bersama kami, di regumu, semoga Allah merahmatimu. Saya tahu kalau kamu adalah orang yang besar penghormatannya terhadap orang lain.”
Suara     : “Jika kamu mengizinkan saya, maka saya saja sudah cukup untuk menghadapinya.”
Khalid    : “Amr bin Tufail! Jangan, wahai anak saudaraku. Kamu baru beranjak dewasa. Tetaplah bersama kesatuanmu.”
Suara     : “Saya saja Khalid. Biarkan saya melawannya.”
Khalid    : “Siapa kamu?”
Suara     : “Saya adalah Harits bin Abdullah al-Azdi.”
Khalid    : “Lakukanlah, semoga kamu menang. Pelan-pelan saja Harits!”
Suara     : “Apa yang kamu inginkan?”
Khalid    : “Apakah kamu pernah bertanding satu lawan satu dengan Petrik sebelumnya?”
Suara     : “Tidak.”
Khalid    : “Kalau begitu, kamu jangan melawannya, biarkan orang lain selain kamu yang melawannya.” (lalu muncullah  Qais bin Hubairah di hadapan Khalid).
 Qais     : “Wahai Khalid, saya kira kamu mengetahui segala jati diri dan kemampuanku dengan baik.”
Khalid    : “Oh ya, demi Allah, kamu adalah  Qais bin Hubairah. Kamu pernah bertarung satu lawan satu melawan dua Petrik pada saat perang Jabiyah dan kamu dapat membunuhnya. Nah sekarang saya harap kamu dapat membunuh Petrik yang ketiga ini!”
Abu Basyir    : “(Terdengar suaranya dari jauh) kalian telah menjadikan Petrik ini menunggu lama. Jika kalian tidak ingin melawannya maka dia akan kembali!”
Khalid    : “Wahai Qais, saya akan menghadapinya jika kamu tidak mau melakukannya.”
Qais      : “Jangan, biarkan kehormatan ini untuk saya, wahai Abu Sulaiman.” (Ia bergegas keluar. Kemudian terdengar suara ringkikan kudanya dan iapun melagukan sebuah sya’ir);
Tanyakanlah kepada wanita desa yang bergelang kaki.        
          Bukankah pada hari peperangan saya adalah pahlawannya?
          Dan yang membunuh para panglimanya (musuh)?
Ikrimah   : “Mereka saling menyerang.”
Khalid    : “Ya Allah, tolonglah  Qais bin Hubairah!”
Ikrimah   : “Apakah kamu mengkhawatirkan Qais?”
Khalid    : “Ya, tetapi Allah akan memberikan kemenangan kepadanya.”
Ikrimah   : “Menakjubkan, saya kira dia tidak membiarkan  Qais untuk bernafas walaupun hanya sesaat.”
Khalid    : “Bahkan dia adalah pahlawan yang pemberani dan tidak lemah. Lihatlah pukulan dan ketangkasanya.”
Ikrimah   : “Apakah kamu telah tahu hal itu sejak awal?”
Khalid    : “Ya, saya telah memperhatikan dengan seksama gerakan dan kelincahannya. Ya, barang kali saya harus keluar untuk menghadapinya.”
Ikrimah   : “Allahu akbar! orang kafir itu jatuh tersungkur menjadi korban!”
Khalid    : “Alhamdulillah!”
Kaum muslimin: “(Dengan suara yang serempak) Allahu akbar....Allahu akbar!”
Khalid    : “Wahai kaum muslimin, tidak ada lagi yang dapat kalian lihat setelah ini kecuali kemenangan. Bergembiralah, demi Allah mereka tidak akan merasa senang dengan kejadian ini, terutama tentara ini, yang tergeletak di atas tanah!”
Ikrimah   : “Mereka menyerang kita, Khalid!”
Khalid    : “Wahai kaum muslimin, tentara Romawi menyerang kalian karena serangan satu orang untuk membebaskan diri mereka dari daerah sempit ini. Karena itu, hadapilah mereka dan jangan menyingkir. Bersabarlah! Bersabarlah! Sesungguhnya kemenangan hari ini akan menjadi bencana bagi salah satu pihak yang kalah.”
          (Pertempuran semakin sengit, terdengar pekikan suara perang, dentingan pedang yang beradu dan suara ringkikan kuda).
Ikrimah   : “Betapa cepatnya serangan mereka terhadap pasukan kita, barangkali sebaiknya  aku ikut berperang, Khalid. Saya jangan sampai tetap di sini, hanya menjadi penonton saja.”
Khalid    : “Celaka kamu Ikrimah, kamu memang harus bertempur di sini, di jalan sempit ini karena tempat inilah tujuan serangan mereka!”
Dhirar    : “(Suaranya) wahai Abu Sulaiman!”
Khalid    : “Berita apa yang kamu bawa, Dhirar?”
Dihrar    : “Serangan mereka di sisi sebelah kanan semakin hebat sehingga sebagian besar pasukan musuh dapat memasuki daerah tersebut.”
Khalid    : “Pergilah dan katakan kepada Amr bin Ash untuk tetap di tempatnya dan terus berusaha menghalang-halangi mereka yang ingin masuk kawasan tersebut. Kami akan mencegah pasukan musuh yang berada di depannya dari sebelah kiri. Wahai Qais bin Hubairah!”
Suara     : “Ya.”
Khalid    : “Tolonglah pasukan yang berada di sebelah kanan dan tahan pasukan musuh yang berada di depan mereka. Wahai Qais, jika kamu mampu untuk membunuh Dranger, maka lakukanlah!”
Qais      : “(Suaranya) saya akan membunuhnya, insya Allah.”
Suara     : “Wahai Abu Sulaiman!”
Khalid    : “Berita apa yang kamu bawa, Dhahak bin Qais?”
Suara     : “Daerah sisi sebelah kiri sudah terbuka tetapi pertempuran masih tetap berlangsung. Para pemegang bendera masih tetap di tempatnya, begitu juga dengan para pasukan yang menjaga daerah itu. Sedangkan para pasukan Romawi sendiri menaiki punggung (untuk meloncat) pasukan kita yang kalah.”
Khalid    : “Ambilkan peciku, wahai Ummu Tamim! Dan kamu Ikrimah, kamu harus tetap di sini sampai aku kembali dari menolong mereka.”
          (Ummu Tamim mengambil pecinya dan iapun bergegas untuk keluar) Wahai Qa’qa’ bin Amr dan Rafi’ bin Umaiarah, kemarilah. Pergilah bersamaku!”
          (Amr bin Ikrimah masuk dan berhenti di samping ayahnya).
Amr       : “Lihatlah ayah, orang-orang yang kalah (dari pihak kaum muslimin) itu melarikan diri menuju anak bukit itu dan di belakang mereka ada pasukan musuh yang mengejarnya.”
Ikrimah   : “Hai anakku, kamu mempunyai badan yang ringan. Karena itu naiklah dari sisi ini dan peringatkan para wanita serta tolonglah mereka.”
Amr       : “Saya akan naik bagaikan kilat, ayah.” (keluar dari sisi anak bukit).
Ummu Hakim: “Semoga Allah menjagamu, wahai anakku.”
Suara     : “Wahai Abu Sulaiman!”
Ikrimah   : “Dhirar bin Azwar...berita apa yang kamu bawa?”
Suara     : “Mana Khalid?”
Ikrimah   : “Keluar untuk membantu pasukan yang berada di sayap kiri dan saya menggantikan posisinya. Jadi berita apa yang kamu bawa?”
Suara     : “Pasukan sayap kanan kita telah menutup semua jalur keluar bagi pasukan musuh yang memasuki medan tersebut sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang selamat.”
Ikrimah   : “ Alhamdulillah.”
Ummu Tamim: “Perintahkan dia, wahai Ikrimah, untuk menyusul Khalid dan memberitahukan berita gembira ini.”
Ikrimah   : “Sekarang pergilah kamu kepada Khalid yang berada di sayap kiri untuk memberikan kabar gembira ini.”
Suara     : “Baiklah Ikrimah.”
Ummu Hakim: “Lihatlah, wahai Ummu Tamim! Lihatlah orang-orang yang menaiki bukit itu, mereka semua turun sambil melarikan diri.”
Ummu Tamim: “Dan wajah-wajah mereka berlumuran darah.”
Ikrimah   : “Betapa hebatnya para wanita muslimah itu.”
Ummu Hakim: “Nah lihatlah, para wanita itu menghalau mereka!.”
Ummu Tamim: “Dan anakmu, Amr, bersama mereka sambil mengibas-ngibaskan pedangnya!”
Ummu Hakim: “Mari kita ke sana untuk bisa melakukan itu bersama mereka!”
Ummu Tamim: “Saudaramu yang memerintahkan?”
Suara     : “(Dari arah bukit) Allah mencela orang-orang yang lari dari isterinya dan orang-orang yang lari dari suaminya.”
Suara yang lain: “Wahai para wanita Arab! Ayo kita halangi mereka. Kita halangi orang-orang yang lari dari medan perang. Orang yang lari dari wanita yang bertaqwa.”
Suara lain    : “Wahai orang-orang yang lari dari para wanita yang bertaqwa (karena melarikan diri)!”
Ummu Tamim: “Itu Khaulah binti Tsa’labah.”
Suara     : “Kamu akan dilempari anak panah dan kematian.”
Suara     : “Kamu akan dilempari anak panah dan kematian.”
Suara     : “Apakah kamu rela melihat kami menjadi tawanan?”
Suara     : “Apakah kamu rela melihat kami menjadi tawanan?”
Suara     : “Tanpa penghargaan dan kebahagiaan.”
Serempak  : “Tanpa penghargaan dan kerelaan.”
Suara     : “Wahai para wanita muslimah, Khalid bin Walid memerintahkan kalian untuk kembali ke tempat kalian di atas bukit.”
Ummu Tamim: “Itu adalah suara Dhirar bin Azwar, dia telah menyusul Khalid.”
Ummu Hakim: “Dan itu pamanku, dia telah kembali.”
Ummu Tamim: “Dia terluka.” (dia masuk ke dalam tenda dan keluar lagi sambil membawa kain lap dan perban)
          (Khalid masuk).
Ikrimah   : “Kamu baik-baik saja Khalid?!”
Khalid    : “Saya habis menyemangati pasukan kita yang berada di sayap kiri dan untuk kembali lagi ke barisannya. Saya juga mencari Ibnu Qunathir, tetapi tidak menemukannya. Padahal saya sudah mengitari pasukannya. Kalau bukan karena jalan sempit ini, tentu aku sudah berspekulasi untuk mencarinya ke segala arah dan menahannya.”
          (Ia mendekat kepada Ummu Tamim dan membuka lukanya yang berada di lengannya. Kemudian Ummu Tamim pun mengobati dan mengikat luka itu dengan perban).
Ikrimah   : “Justru kamu telah melakukan suatu hal yang tepat, Khalid. Sebab tidak baik kamu menyelinap dan berspekulasi demi satu orang, padahal di sisi lain kamu adalah pemimpin tentara ini.”
Khalid    : “Kamu betul, Ikrimah.”
          (Amr bin Ikrimah masuk).
Amr       : “Apa yang terjadi denganmu paman? apakah kamu terluka?”
Khalid    : “Ah, hanya luka kecil. Beri tahu aku, apa yang telah dilakukan para wanita itu di atas bukit?”
Amr       : “Mereka mengayunkan pedang, tongkat dan melempari dengan batu sehingga ada empat belas tentara muslim yang terluka dan salah satunya meninggal. Mereka juga membunuh tiga orang tentara Romawi.”
Ummu Hakim: “Dan kamu, apakah kamu tidak membunuh satupun dari mereka?”
Amr       : “Bahkan saya telah membunuh satu prajurit Romawi dan melukai dua orang lainnya. Sedangkan yang lainnya melarikan diri untuk kembali ke kesatuan mereka.”
Khalid    : “Tidak, mereka tidak kembali lagi ke kesatuan mereka Amr.”    
Amr       : “Itu benar paman. Mereka telah kembali ke kesatuannya.”                  
Khalid    : “(Dengan tertawa) mereka telah disambar oleh pedang kaum muslimin sebelum mereka melakukan itu.” (kembali).
Suara     : “Wahai Abu Sulaiman...wahai Abu Sulaiman!”
Amr       : “Itu Abu Hasyim bin Utbah, ia bersama Hindun.”
Khalid    : “Abu Hasyim bin Utbah, ada apa denganmu? apakah matamu terluka? kemarilah biar Ummu Tamim mengobatimu.”
Ikrimah   : “Atau Ummu Hakim.”
Abu Hasyim    : “(Ia masuk  bersama Hindun dengan keadaan di perban mata sebelah kanannya) untuk apa kamu mendatangkan ini Khalid? saudara saya, Hindun, telah megobati dan memperbannya seperti yang kamu lihat. Saya datang ke sini hanya memintamu supaya dapat menemukan cara agar terhindar dari lemparan tombak orang-orang Armenia. Banyak sekali pasukan kaum muslimin yang menjadi sasaran tombak mereka di matanya.”
Ummu Tamim: “(Selesai mengikat luka Khalid) kemarilah, duduk dan istirahatlah di sini wahai Abu Hasyim.”
Abu Hasyim    : “Saya akan kembali ke kesatuanku.”
Hindun    : “Istirahatlah dulu walau hanya sebentar sampai lukamu mengering. Kalau kamu mau, ayo ke tempatku di atas bukit itu.”
Abu Hasyim    : “Tinggalkan saya sekarang Hindun. Besok kita bisa istirahat. Wahai Abu Sulaiman, saya telah menyampaikan keadaan yang aku ketahui. Maka ambillah tindakan.” (keluar dengan penuh kekuatan, semangat dan keteguhan hati yang mendalam untuk mati syahid).
Khalid    : “Hai Dhahak bin Qais!”
Suara     : “Ya.”
Khalid    : “Pergilah untuk mencari Amr bin Ash, Sa’id bin Zaid, Yazid bin Abu Sufyan dan Abu Ubaidah. Lalu perintahkan mereka untuk datang ke sini sekarang juga. Katakan kepada mereka kalau saya ingin bermusyawarah dengan mereka untuk masalah yang sangat penting secepatnya!”
Suara     : “Baiklah Khalid.”
Suara     : “(Terdengar dari jauh) wahai pertolongan Allah, mendekatlah! wahai orang Islam, berjihadlah! berjihadlah! bersabarlah! bersabarlah!”
Khalid    : “Bukankah itu suara Abu Sufyan, wahai Hindun?”
Hindun    : “Benar, wahai Abu Sulaiman. Tidak ada yang tersisa darinya selain suaranya.”
Khalid    : (Memanggil) “Wahai Abu Sufyan...hai Abu Sufyan!”
Suara     : “Ya.”
Khalid    : “Kemarilah, ke sini.”
Hindun    : “Apa yang akan kamu lakukan terhadapnya?”
Khalid    : “Kami mendengarkannya dan kami suka mendengarkan pendapatnya.”
(Abu Sufyan masuk).
Abu Sufyan    : “Hah! apa yang telah dia (Hindun) lakukan di sisi kalian?”
Hindun    : “Dan kamu, apa yang kamu lakukan, wahai orang tua jelek?”
Abu Sufyan    : “Bukankah kamu mendengarkan suaraku?”
Hindun    : “Wahai pertolongan Allah, mendekatlah!!” (para hadirinpun tertawa).
Abu Sufyan    : “Bukankah itu lebih baik dibandingkan kata-kata, ”Kami anak perempuan jalanan, berjalan di atas bantal.”
Hindun    : “Semoga Allah mencelakaimu. Apakah kamu tidak bisa berkata selain perkataan yang memalukan itu? Apakah kamu juga tidak ingat ketika kamu memanggil, ”menjadi mulialah Hubal! kami mempunyai ‘Izza sedangkan kalian tidak!” (mereka tertawa).
Abu Sufyan    : “Yang telah berlalu biarlah berlalu. Sekarang Allah telah memuliakan kita dengan Islam.”
Hindun    : “Jadi bersyukurlah atas segala nikmat-Nya. Dan berjihadlah di jalan-Nya seperti jihadnya para mukhlisin (orang-orang yang ikhlas).”
Abu Sufyan    : “Celaka kamu. Hari ini saya sungguh-sungguh berjihad di jalan Allah.”
Hindun    : “Dengan ujung lidahmu.”
Abu Sufyan    : “Wahai Hindun, saya senang kalau masa mudaku kembali. Dengan begitu saya dapat memacu kudaku untuk dapat berlari dengan cepat dan menerobos barisan pasukan musuh dengan bendera Islam di tangan.”
Hindun    : “Bagaimana mungkin? bendera Islam dibawa oleh Assabiqunal awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam).”
Abu Sufyan    : “Kalaupun saya kehilangan kesempatan itu, maka biarlah Yazid, anakku, yang dapat berbuat itu. Dia sekarang menjadi komandan batalyon kaum muslimin. Dan saya punya peran di dalam sifat kemuliaan dan keutamaan yang dimilikinya itu.”
Hindun    : “Besok anakku, Muawwiyah, akan munucul dan mengunggulinya.”
Abu Sufyan    : “Celaka kamu, apakah kamu tidak malu duduk-duduk di sini sedangkan para wanita muslimah lainnya sedang dalam keadaan payah dan sedang bekerja keras untuk membawa kantong air bagi yang haus dan mengobati orang-orang yang luka?!”
Hindun    : “Celaka kamu, itulah yang sedang saya lakukan. Bukankah kamu melihat kantong air dan kain lap luka ini bersamaku?”
Abu Sufyan    : “Dan kamu duduk di sini?”
Hindun    : “Siapa yang mengatakannya kepadamu? saya datang bersama Abu Hasyim yang terluka di matanya lalu aku membalutnya. Dan aku menuntunnya sampai dia bertemu dengan Abu Sulaiman.”
Khalid    : “Ya...itu benar wahai Abu Sufyan.”
Abu Sufyan    : “Dan di mana dia sekarang?”
Hindun    : “Kembali ke tempat pasukannya semula untuk bertempur dengan pedangnya, tidak dengan lidahnya seperti kamu.”
Abu Sufyan    : “Hei, lihatlah! ini pedangku. Jika orang kafir datang mendekat maka aku akan menebas batang lehernya.”
Hindun    : “Jika orang kafir mendekat kepadamu! bagaimana jika kamu mendekati mereka?!”
Abu Sufyan    : “Apa yang kamu bicarakan wahai perempuan? barangkali kamu mengharapkan saya mati meninggalkanmu?”
Hindun    : “Tidak.. jika Allah ingin memberi anugerah syahid, maka posisi dirimu lebih rendah di sisi-Nya dibandingkan yang lain (kamu tidak pantas memperoleh predikat syahid). Akan tetapi saya menginginkan sesuatu yang lain.”
Abu Sufyan    : “Apa itu?”
Hindun    : “Seandainya saja tombak yang mengenai mata Abu Hasyim itu mengenai matamu!”
Abu Sufyan    : “Semoga Allah mencelakakanmu, bukankah kamu lihat kalau saya sudah kehilangan satu mata saya di peperangan Tha’if?”
Hindun    : “Lalu apa bahayanya jika kamu kehilangan mata yang kedua?” (para hadirin tertawa)
Ikrimah   : “Lihatlah Khalid, mereka telah datang.”
Hindun    : “Keluarlah kamu, wahai Abu Sufyan. Mereka mau mengadakan musyawarah.”
Abu Sufyan    : “Dan kamu, kenapa tiba-tiba telah menjadi ahli syura?” (para hadirin tertawa).
Hindun    : “Tidak, saya juga akan keluar.”
Khalid    : “Tinggalkan dia Hindun, barangkali dia dapat memberikan pendapat yang bagus kepada kami yang menyangkut tempat kalian berdua.”
          (Lalu masuklah Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Sa’id bin Zubair, Zubair bin Awwam, Rumanus dan Abdurrahman bin Abu Bakar Siddiq).
Abu Ubaidah   : “Saya datang bersama Zubair, Rumanus dan Abdurrahman bin Abu Bakar.”
Khalid    : “Bagus Abu Ubaidah. Selamat datang wahai Abu Abdullah, selamat datang Ibnu Abu Bakar dan selamat datang wahai Abu Rum. Langsung saja, saya tidak akan menahan kalian lama-lama karena waktu kita terbatas. Bagaimana pendapat kalian tentang pasukan pelempar tombak dari Armenia itu?”
Amr       : “Musibah besar.... lemparan mereka telah mengenai mata ratusan kaum muslimin. Di antara mereka ada pasukan pejalan kaki dan pasukan berkuda seperti Asytar An-Nakha’i, Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqas dan Asy’ats bin Qais.”
Yazid     : “Dan Abu Hasyim bin Utbah!”
Khalid    : “Apa yang dapat kalian usulkan untuk mencari jalan keluarnya?”
Yazid     : “Saya pikir para wanita sebaiknya turun dari atas bukit itu supaya lebih memudahkan menyelamatkan korban yang luka-luka. Sebab jumlah korban luka-luka semakin bertambah banyak.”
Sa’id     : “Adapun saya, saya telah memerintahkan pasukanku untuk mencari jejak pasukan berkuda mereka dan mendekatinya, lalu apabila telah dekat mereka dapat menangkapnya dengan sekali lompatan dan itu lebih baik daripada mempertahankan diri dari lemparan tombak pasukan Armenia.”
Amr       : “Adapun saya, saya telah memerintahkan pasukanku untuk mengangkat tameng di sekitar wajah mereka sehingga dapat mengurangi jumlah pasukan yang terluka.”
Zubair    : “Ini semua tidak bermanfa’at banyak. Satu-satunya jalan adalah membinasakan dan menghabisi orang-orang Armenia itu.”
Khalid    : “Bagaimana pendapatmu, Rumanus?”
Rumanus   : “Apa yang dikatakan Zubair benar. Tapi untuk mencapai hal itu sangatlah sulit. Mereka dilindungi oleh bukit kecil yang berada di sebelah barat yang mengelilingi mereka dari segala arah.”
Zubair    : “Saya akan menunjukkan bahwa bagi orang yang punya keinginan kuat dan niat yang ikhlas hanya kepada Allah tidaklah sulit untuk menerobos ke sana. Berikan saya waktu untuk mengoyak barisan musuh sehingga saya dapat sampai di bukit kecil itu, kemudian kembali lagi lewat jalan lain insya Allah.“
Amr       : “Apakah kamu akan menerobosnya sendirian, wahai Abu Abdullah?”
Zubair    : “Ya.”
Khalid    : “Semoga engkau diberkahi, wahai murid Rasulullah. Dan supaya perbuatanmu itu dapat menjadi contoh yang baik bagi kaum muslimin lainnya. Dengan demikian mereka dapat mendobrak barisan musuh untuk menembus dan sampai di tempat para pelempar tombak dari Armenia itu.”
Ikrimah   : “Saya pergi bersama Zubair.”
Abdurrahman: “Saya juga.”
Abu Ubaidah   : “Saya juga.”
Khalid    : “Pelan-pelanlah. Kamu, wahai Abu Ubaidah, adalah pemimpin jama’ah kaum muslimin. Dan kamu Ikrimah, kamu akan bersama
saya menjaga jalan sempit ini. Sedangkan kamu, Ibnu Abu Bakar, ada pekerjaan mulia lainnya yang sedang menunggumu.”
Rumanus   : “Apakah kamu mengizinkan saya untuk pergi bersama Zubair, wahai Khalid?”
Khalid    : “Begitu juga dengan kamu, kamu tidak boleh pergi. Karena kami membutuhkan bantuan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain kamu.”
Zubair    : “Kalau begitu biarkan saya pergi sendirian saja.”
Khalid    : “Jangan, tetapi bawalah Dhirar bin Azwar bersamamu. Dia adalah pahlawan berkuda.”
Zubair    : “Saya juga akan membawa saudaraku, Abdurrahman bin Awwam.” (Lalu ia keluar).
Khalid    : “(Memanggil) wahai Dhirar bin Azwar!”
Suara     : “Siap!”
Khalid    : “Pergilah bersama Zubair bin Awwam dan ikuti dia kemanapun dia pergi.”
Suara     : “Baiklah.”
Khalid    : (Kepada orang-orang yang berada di sekitarnya) “Kembalilah kalian semua ke tempat kalian masing-masing, semoga Allah merahmati kalian!”
          (Semua orang keluar, kecuali Yazid bin Abu Sufyan yang ditahan ayahnya dan Abdurrahman bin Abu Bakar yang ditahan oleh Khalid).
Yazid     : “Selamat datang ayah, selamat datang bibi. Bagaimana keadaan kalian berdua?”
Hindun    : “Alhamdulillah, anakku.”
Abu Sufyan    : “(Memegang tangan anaknya) “Wahai anakku, kamu dan orang-orang yang sebaya denganmu (yang menjadi pemimpin kaum muslimin) adalah manusia yang lebih berhak untuk bersabar dan berkorban. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, dan pastikan bahwa tidak ada seorangpun dari sahabat-sahabatmu yang lebih menginginkan pahala, lebih sabar dalam peperangan dan lebih welas-asih terhadap musuh (yang sudah tidak berdaya) melebihi dirimu.”
Hindun    : “(Menarik tangannya dari Yazid) biarkan dia wahai orang tua. Dia tidak butuh kepada wasiatmu.”
Abu Sufyan    : “Celaka kamu, apa urusanmu? dia adalah anakku, bukan anakmu.”
Khalid    : (Tertawa) “Biarkan Yazid pergi, pasukan sayap kiri sedang menunggunya.”
          (Yazid keluar dengan diikuti oleh Abu Sufyan dan Hindun).
Abdurrahman: “Dan saya, apakah kamu tidak mau membiarkan saya pergi?”
Khalid    : “(Melantunkan sya’ir untuk mengingatkan Abdurrahman):
          Saya mengingat Laila dan langit berada di antara kita.
Abdurrahman: “Ada apa dengan anak perempuan al-Juwdy, Laila, dan apa hubungannya denganku?”
Khalid    : “Kamu mencintainya kan, wahai Abdurrahman?”
Abdurrahman: “Jangan sibukkan saya dengan hal itu, wahai Abu Sulaiman.”
Khalid    : “Apakah kamu tidak tahu kalau Amirul Mukminin telah memerintahkan untuk menyerahkan anak perempuan al-Juwdy kepada kita, dan mengawinkannya denganmu?”
Abdurrahman: “Ya, saya telah mendengar itu dari Amirul Mukminin sendiri.”
Khalid    : “Apakah kamu tahu dimana dia (Laila) sekarang?”
Abdurrahman: “Di Anthokiyah.”
Khalid    : “Dulu memang di Anthokiyah, tapi sekarang sudah kembali ke Damaskus.”
Abdurrahman: “(Terkejut) apa benar, Khalid?”
Khalid    : “Benar, sungguh. Lalu apakah kita akan pulang ke Damaskus setelah memperoleh kemenangan?”
Abdurrrahman: “Dan kita menemui Laila di sana?”
Khalid    : “Saya yang menjamin kalau Laila akan diperuntukkan khusus untukmu. Karena itu, saya cukup memintamu untuk membunuh Ibnu Qunathir demi dia.”
Abdurrahman: “Komandan sayap kanan musuh?”
Khalid    : “Ya..apakah aku meminta terlalu banyak darimu?”
Abdurrahman: “Demi anak perempuan al-Juwdy? mintalah kepala Bahan sekalian dariku jika kamu menginginkannya!”
Khalid    : “Bagiku cukup kepala Ibnu Qunathir saja.”
Abdurrahman: “Baiklah.”
Khalid    : “(Tertawa) semoga nasib baik mengiringimu, wahai Ibnu Siddiq. Jika kamu selamat, maka kamu akan mendapatkan Laila dan jika kamu terbunuh maka kamu akan memperoleh surga.”
          (Abdurrahmanpun keluar).
Ikrimah   : “Mengapa kamu tidak memberikan tanggung jawab seperti itu kepadaku, wahai Khalid?”
Khalid    : “(Dengan nada bergurau) kemarilah Ummu Hakim, dengarkan apa yang akan dikatakan suamimu!”
Ummu Hakim: (Masuk) “Apa yang dikatakannya?”
Khalid    : “Dia senang kalau dapat memiliki Laila binti Juwdy, keturunan dari keluarga suku Ghassan.”
Ikrimah   : “Tidak, kamu jangan percaya padanya.”
Ummu Hakim: “Apakah pamanku berbohong?”
Ikrimah   : “Saya sungguh-sungguh (meminta tugas tanggungjawab) sedangkan pamanmu hanya bergurau.”
Khalid    : “Bukankah kamu ingin membunuh Ibnu Qunathir?”
Ikrimah   : “Ya.”
Khalid    : “Setelah kamu mendengarkan bahwa aku memberikan hadiah kepada orang yang dapat membunuhnya?!”
Ikrimah   : “Tidak, jangan percayai dia, wahai Ummu Hakim. Dia menyebutkan tentang hadiah itu hanya untuk Abdurrahman bin Abu Bakar karena sejak dulu Abdurrahman sangat mencintainya.”
Ummu Hakim: “Ooh, jadi diakah (Laila) yang menjadikan Abdurrahman linglung karena cinta dan melantunkan sya’ir-sya’ir itu untuknya?”
Ikrimah   : “Benar.”
Ummu Hakim: “Tidak paman. Abdurrahman bin Abu Bakar lebih berhak memperoleh Laila jika dibandingkan Ikrimah.”
Ummu Tamim: “Dan walaupun orang itu selain Ikrimah tetap saja Abdurrahman lebih berhak atas laila.”
Khalid    : “Kamu juga khawatir?”
Ummu Hakim: “Wahai pamanku, setiap wanita mencintai suaminya dan mengkhawatirkannya.”
Ikrimah   : (Amarahnya meledak) “Dengarkan Khalid...kamu bukanlah pemegang wasiat bagi diriku. Saya bosan berada di sini, di daerah sempit ini. Saya ingin berperang. Saya ingin mati syahid.”
Khalid    : “Wahai anak pamanku, syahid adalah dari Allah. Maka janganlah hal itu meresahkanmu.”
Ikrimah   : “Tapi itu adalah tujuan dan permintaan terakhirku..atau apakah kamu tidak tahu kalau saya menjadikan diriku taruhan di jalan Allah?”
Khalid    : “Celaka kamu. Dengarkan, kamu diuji dengan ujian yang baik dan kemenangan atas musuh-musuh Allah adalah lebih utama dibandingkan mati syahid di jalan-Nya.”
Ikrimah   : “Dan sekarang adalah waktunya untuk memperoleh ujian yang baik tetapi kamu menahan diriku untuk memperolehnya. Dan juga kamu menahan semua Bani Mahzum. Wahai Khalid, tidak baik kamu kikir pada kami untuk memperoleh kematian seperti pada hari ini.”
Khalid    : “Benarkah kamu menyangkaku demikian, Ikrimah?”
Ikrimah   : “Awalnya saya ragu-ragu kalau kamu mau melakukan itu. Tetapi setelah peperangan telah berkecamuk sekian lamanya, kami bani Mahzum, tetap selamat dan jauh dari medan perang karena disuruh menjaga daerah sempit ini. Hal itu juga terjadi pada kaum wanita, di mana semua kaum wanita ikut berperang kecuali kaum wanita dari bani Mahzum.” 
Khalid    : “Wahai saudaraku, sesungguhnya orang-orang yang menjaga daerah ini bukan jauh dari perang tetapi justru berada pada jantung pertempuran.”
Ikrimah   : “Tetapi peperangannya sendiri justru tidak sampai ke permulaan dan tidak ada seorangpun dari kita yang mengalami perang, apalagi cedera.”
Khalid    : “Jangan buru-buru, wahai Ikrimah...sesungguhnya saya hanya menunggu untuk membuang kesombongan dan harga diri yang ada pada diri kalian! demi Allah, saya akan mengingkari apa yang telah dikatakan Umar.”
Ikrimah   : “Apa yang disangkanya?”
Khalid    : “Dia menyangka kalau kita tidak berperang untuk mati syahid.”
Ikrimah   : “Apa yang dikatakannya memang benar.” (tidak ada yang diduganya kecuali memang benar)
Khalid    : “(Menantang) celaka kamu, apakah kamu menentang saya, wahai anak Abu Jahal?”
Ikrimah   : “Itu untuk anak pamanmu, dan ayahmu juga tidak lebih baik darinya.”
Khalid    : “(Dengan nada lembut dan meminta ma’af) kamu benar, wahai anak paman, kamu benar. (kembali kepada tantangannya) tetapi Ibnu Khantamah belum percaya...apakah kamu tahu dimana saya menempatkan kamu?”
Ikrimah   : “Di mana?”
Khalid    : “Di sana, untuk menghadapi para pelempar tombak dari bangsa Armenia. Merekalah sesungguhnya orang-orang yang sombong (orang-orang armenia). Karena itu, saya mengharapkan supaya bani Mahzum adalah yang dapat memperoleh ujian ini terlebih dahulu (dibandingkan yang lainnya) dalam menghadapi para pelempar tombak itu.”
Ikrimah   : “Ujian pertama, bukankah kamu telah melimpahkannya kepada Zubair bin Awwam dan prajuritnya?”
Khalid    : “Tidak... Zubair hanyalah sebagai perintis untuk membuka jalan yang akan kalian lewati. Dan insya Allah, kalianlah yang akan menyerang mereka.”
Ikrimah   : “Yang kamu maksud kami, bani Mahzum?”
Khalid    : “Ya.”
Ikrimah   : “Semoga engkau diberkahi, Khalid.” (Berusaha untuk mencium).
Khalid    : “Pergilah dan beritahu mereka tentang ini.”
Ikrimah   : “Baiklah.” (lalu Ikrimah keluar)
Suara     : “Hai Khalid,.... hai Khalid...”
Khalid    : “Siapa? Jurjah? kemarilah kepadaku...”
Jurjah    : “(Masuk) hai Khalid, semua sudah sempurna dan sekaranglah waktunya.”
Khalid    : “Dan para pelempar tombak dari Armenia itu?”
Jurjah    : “Sungguh, mereka adalah sisa-sisa pasukan. Kalau kamu menugaskan sekelompok pasukan yang mau menyerahkan jiwanya di jalan Allah untuk menyerang bukit itu, maka mereka dapat menglkahkannya hanya dengan satu serangan saja.”     
Khalid    : “Saya telah mempercayakan hal tersebut, Jurjah. Saya telah mengirimkan anak pamanku untuk menugaskan keluargaku dari bani Mahzum. Nah itu mereka datang.”    
Suara     : “Apakah benar kamu menugaskan kami untuk menyerang para pelempar tombak yang ada di atas bukit itu, Khalid?”
Khalid    : “Ya, jika kalian mau dan hanya karena Allah.”
Suara     : “Inilah yang kami inginkan Khalid. Demi Allah, kami telah bosan berkutat terus di sini untuk menjaga daerah yang sempit ini.”
Suara serempak: “Ya. Ya. Ya.” 
Khalid    : “Wahai ‘Iyas bin Abi Rabi’ah, wahai Salamah bin Hisyam bin Mughirah, wahai Harits bin Hisyam bin Mughirah, wahai Abdullah bin Sufyan, wahai Habbar bin Aswad dan wahai semua orang bani Mahzum. Demi Allah, seandainya saya menemukan suatu kaum yang lebih saya cintai daripada kalian, tentu aku akan menyerahkan tugas penting ini kepada mereka, bukan kepada kalian. Ingatlah  bahwa para manusia telah lebih dahulu masuk Islam jika dibandingkan kalian, tapi kalian dapat mendahului mereka dalam memperoleh predikat syahid, jika kalian mampu. Sebab banyak orang yang mengharapkan kematian tetapi ternyata kematian justru lari darinya. Dan juga banyak sekali orang yang berusaha lari dari kematian tetapi kematian itu sendiri justru malah memburunya (untuk menjemputnya).”
Ikrimah   : “(Suaranya) wahai keluargaku! kemarin kita adalah orang yang paling sering dan paling jahat menyakiti Nabi. Karena itu, hendaknya sekarang kita menjadi orang yang menolong agama Islam dengan pertolongan yang besar. Ingatlah, bahwa kematian di jalan Allah memanggil kita dari atas bukit itu! Nah sekarang, siapa yang berjanji setia (ba’iat) untuk mati bersamaku?”   
Suara serempak: “Saya membai’atmu, Ikrimah! Saya membai’atmu! Saya membai’atmu! Kami semua membai’atmu!”
Suara     : “Wahai Khalid bin Walid...”
Khalid    : “Siapa yang memanggil?”
Suara     : “Saya Hisyam bin Ash. Beritahu saya, apakah kamu menjadikan ini hanya kepada bagi bani Mahzum?”
Khalid    : “Ma’adzallah, wahai Ibnu Ash. Tetapi pandangan ini muncul ketika orang yang pergi kesana telah kembali. Maka saya berfikir untuk menugaskan orang-orang dari keluargaku sebelum orang lain.”
Suara     : “Kalau begitu saya membai’atmu, wahai Ikrimah.”
Ikrimah   : “(Suaranya) wahai Khalid, saya akan melihat dulu berapa jumlah kaum muslimin yang bergabung bersama kami.”
          (Orang-orang menjauh dan suara teriakan merekapun hilang).
Khalid    : “(Memanggil) hai Dhahak bin  Qais!”
Suara     : “Ya.”
Khalid    : “Pergilah kepada Amr bin Ash di sayap kanan dan suruhlah dia untuk merangsek dan maju ke depan serta mendesak pasukan musuh dengan desakan yang kuat. Begitu juga kepada Yazid bin Abu Sufyan yang berada di sayap kiri. Adapun untuk Sa’id bin Zaid dan Syurahbil bin Hasanah, biarlah mereka berdua memaksa jantung pertahanan musuh untuk mundur sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjauhi bukit itu, di mana para pelempar tombak berada di sana...apakah kamu paham?”
Suara     : “Ya, saya paham.”
Khalid    : “Dan katakan kepada Abu Ubaidah untuk datang kepadaku dan tempatnya biar diganti oleh Mu’adz bin Jabal. Sekarang pergilah...”
Jurjah    : “Apakah dengan rencana seperti ini kamu berharap untuk memberi jalan masuk bagi batalyon pimpinan Ikrimah?”
Khalid    : “Ya.”
Jurjah    : “(Takjub) wah, betapa kamu adalah panglima yang cerdas... tahukah kamu, Khalid, bahwa setiap aku melihatmu maka itu mengingatkanku pada sesuatu??”
Khalid    : “(Tertawa) sesuatu apa?”
Jurjah    : “Saya mengingat Mars.”
Khalid    : “Siapa Mars itu?”
Jurjah    : “Dewa perang.”
Khalid    : “(Seperti mencela) celaka kamu Jurjah, bagaimana keislamanmu bisa benar jika ternyata kamu masih mempercayai tuhan selain Allah?”
Jurjah    : “Tidak.... dia adalah salah satu tuhan bangsa Romawi pada masa awal penyembahan mereka terhadap berhala, yaitu sebelum mereka masuk agama Nasrani.” 
Khalid    : “Legenda orang-orang terdahulu?”
Jurjah    : “Ya.”
          (Zubair masuk dengan membawa luka di kedua sikunya).
Khalid    : “Bagus, wahai Abu Abdullah.”
Zubair    : “Saya telah menerobos barisan musuh sampai aku kembali dari arah lain dan tidak ada serangan yang mengenaiku selain hanya dua lebaran yaitu satu di sini...dan satu di sini. Apakah kamu mempunyai orang yang dapat memanggil Asma` untuk datang kesini?”
Khalid    : “Wahai Amr bin Ikrimah...., pergilah untuk menjemput Asma` binti Abu Bakar dan mengajaknya kesini sekarang juga.”
Zubair    : “Katakan padanya kalau Zubair terluka.”
Khalid    : “Sebaiknya kita tidak menunggu Asma`. Wahai Ummu Tamim, hai Ummu Hakim, kemarilah untuk membalut luka murid Rasulullah ini.”
          (Ummu Tamim dan Ummu Hakim masuk dan mengobati masing-masing salah satu luka dari dua luka yang berada di sikunya. Sedangkan Zubair sendiri terus berbicara dengan Khalid)
Khalid    : “Kemana Abdurrahman bin Awwam?”
Zubair    : “Allah memberinya gelar syahid padahal dia belum sempat menemuiku setelah itu.”
Khalid    : “Tetapi Allah menghidupkanmu, wahai Abdullah. Kami membutuhkan pengorbanan dan kesetiaannmu. Dan bagaimana dengan Dhirar bin Azwar?”  
Zubair    : “Dia bertempur dari atas kuda. Dan pulang dalam keadaan selamat, tidak terluka sedikitpun!”
Ikrimah   : “Hai Khalid, ada sekitar empat ratus orang telah membai’atku.”
Zubair    : “Untuk apa mereka membai’atnya?”
Khalid    : “Untuk mati demi menghancurkan musuh yang berada di bukit itu.”
Zubair    : “Kalau begitu, ikut-sertakan saya bersama rombongan kalian. Saya membai’atmu untuk mati, Ikrimah!”
Khalid    : “Jangan, wahai Abu Abdullah, sampai darah yang mengalir dari lukamu berhenti.”
          (Asma` masuk dari arah bukit dengan didahului oleh Amr bin Ikrimah).
Zubair    : “Dan kenapa darahku tidak boleh mengalir dalam jihad di jalan Allah, wahai Abu Sulaiman?”
Khalid    : “Cegah dia, Asma`!”
          (Asma` mendekati suaminya dan bersama-sama membalut kedua lukanya yang besar itu)
Asma`     : “Mencegah dari apa, Khalid?”
Khalid    : “Dari jihad di jalan Allah.”
Asma`     : “Saya mencegahnya untuk jihad, Khalid? apakah ia akan mendengarnya?”
Khalid    : “Wahai Abu Abdullah, saya menginginkan kamu untuk melakukan hal yang lebih sulit dan berat dari sini.”
Zubair    : “Apa itu, Khalid?”
Khalid    : “Kamu bersama saya menjaga jalan sempit ini karena daerah inilah sebenarnya yang menjadi tujuan musuh.”
Zubair    : “Suruh orang lain selain saya untuk menjaganya.”
Khalid    : “Saya tidak bisa berharap kepada orang lain selain engkau.”
Asma`     : “Wahai Abu Abdullah, Abu Sulaiman adalah pemimpin tentara, karena itu taatilah segala perintahnya!”
Zubair    : “Saya patuh kepadamu, Khalid. Pukullah saya (karena pembangkangan) di tempat mana saja yang kamu inginkan.”
Khalid    : “(sambil mencium kepalanya) wahai murid Rasulullah, hanya dengan kalianlah Allah akan memberi kemenangan kepada kita.”
          (Ikrimah dan Harits bin Hisyam masuk dimana Ummu Hakim kemudian bersandar kepada keduanya di pojok sambil berusaha menahan air matanya yang menetes bercucuran dan juga berusaha untuk sabar)
Ummu Hakim: “Selamat datang ayah..... Insya Allah ayah dan Ikrimah akan kembali dari keadaan ini dengan selamat.”
Harits    : “Wahai anakku, jika kamu menginginkan kebaikan bagi ayahmu, maka berdoalah kepada Allah agar ayahmu ini memperoleh syahid.”
Ikrimah   : “Ummu Hakim... kamulah yang menunjukan saya jalan kepada agama Islam. Semoga Allah memberi balasan yang baik kepadamu. Apakah kamu masih ingat mimpi yang pernah diceritakan Rasulullah itu kepada sahabat-sahabat beliau ketika kamu meminta saya untuk masuk Islam?”
Ummu Hakim : “Ya.”
Ikrimah   : “Berdoalah kepada Allah untukku supaya aku memperoleh kemuliaan itu, kemuliaan yang diperoleh Abu Jahal di surga.”  
Ummu Hakim: “Allahlah yang menentukan apa yang Dia kehendaki.”
Khalid    : (Kepada Harits) “Wahai anak paman, apakah kamu masih ingat ucapan Ibnu Furai’ah?
          “dia meninggalkan orang-orang yang dicintainya supaya dapat berperang tanpa mereka.
          Akhirnya diapun pergi  hanya dengan pakaian yang lusuh dan tali kendali kuda.”
Harits    : “Allah telah mengampuninya.”
Khalid    : “Tapi kalau dia melihat keadaanmu hari ini, tentu dia akan berkata lain tentang dirimu. Atau ingatlah kata-katamu sendiri:
          “Saya lari dari mereka dan para kekasih. Lalu apakah dia menghendaki mereka memperoleh hukuman pada hari penantian?”
Harits    : “Cukup, jangan teruskan. Karena hal ini sangat menyakitkan diriku ketika aku mengingatnya.”
Zubair    : “Sakit atas apa Harits? Allah telah menghendaki dirimu agar tidak mati dalam kekafiran ketika perang Uhud supaya kamu dapat berperang di jalan Allah pada waktu sekarang ini.”
Harits    : “Kamu benar. Demi Allah, kata-katamu telah membuat diriku bergembira dan senang.”
Ikrimah   : “Saya keluar dulu, Khalid.”
Khalid    : “Semoga kamu diberi berkah oleh Allah dan selalu dalam lindungan-Nya.”
Jurjah    : “Tunggu sebentar, hai Ikrimah. (menoleh ke arah Zubair) wahai sahabat Rasulullah, saya khawatir kalau diri saya akan terbunuh sebelum saya mempelajari lebih banyak tentang agama kalian dan aku dapat melakukan shalat seperti yang kalian lakukan. Sehingga hal ini akan menjauhkan saya dari kalian pada hari kiamat.”
Zubair    : “Tidak, jangan takut Jurjah. Jika kamu mati syahid, maka kamu tidak memerlukan hal lain lagi.”
Jurjah    : “Apakah saya akan masuk surga ketika saya terbunuh?”
Zubair    : “Ya.”
Jurjah    : “Kamu mendengar sendiri dari Nabimu?”
Zubair    : “Ya.” 
Jurjah    : (Melompat dengan penuh kegirangan) “Biarkan saya pergi denganmu, Ikrimah. Saya membai’atmu untuk mati bersamamu.”
          (Ikrimah menarik tangannya dengan penuh kegembiraan) “Sampai berjumpa lagi di surga, Khalid.” (kemudian Ikrimah, Harits dan Jurjah keluar dari tenda Khalid).
Ummu Hakim: (Menatap anaknya, Amr, yang menyusul rombangan Ikrimah dan kawan-kawan) “Amr....Amr...mau kemana kamu?”
Amr       : “Bersama orang-orang tua yang mulia itu, ibu. Supaya saya termasuk orang yang mulia juga, walaupun saya masih kecil!”
Ummu Hakim: (Dengan berat hati) “Semoga engkau berada dalam lindungan Allah, wahai anakku..” (Amr keluar dan semua hadirinpun menatapnya)
          (Terdengar suara lari derap kaki kuda)
          (Abu Ubaidah masuk)
Khalid    : “Selamat datang, wahai Abu Ubaidah.”
Abu Ubaidah   : “Ada hal apa sehingga kamu memanggil saya, wahai Abu Sulaiman?”
Khalid    : “Untuk berkumpul bersama Zubair di sini. Dan kalian berdua menempati posisiku sebagai penjaga daerah sempit ini.”
Abu Ubaidah   : “Dan kamu sendiri, mau kemana?”
Khalid    : “Peperangan yang sangat sengit sudah sangat dekat (hampir terjadi). Dan pasukan berkuda musuh akan membuat bingung barisan pasukan kita, sehingga mereka dapat menginjak-injak dan menghancurkan pasukan kaum muslimin yang berjalan kaki. Karena itu, saya akan memimpin sendiri  pasukan berkuda dan mengusir pasukan berkuda mereka dari satu arah. Lalu menyerang dan memecah belah sampai mereka kalah dan hanya dapat berputar-putar di medan pertempuran tanpa bisa berbuat banyak. Nah, jika mereka mendekati kalian, maka bukalah jalan bagi mereka.”
Abu Ubaidah   : “Supaya keluar dari daerah sempit ini?”
Khalid    : “Ya, tapi mereka akan kembali lagi. Oleh karena itu, halangi jalan mereka. Setelah itu, jangan biarkan seorangpun lolos dari kepungan ini.”
Zubair    : “Apakah kamu tidak khawatir jikalau mereka, para pasukan berkuda musuh, menyerang balik kita dari belakang?”
Khalid    : “Tidak, kita tidak akan membiarkan mereka. Kita akan mengirim pasukan berkuda pencari jejak di belakang mereka untuk menghalau dan mengusir mereka, jika mereka akan menyerang balik.”
Suara     : “Khalid!!”
Khalid    : “Qais bin Hubairah... dari mana saja kamu  Qais? saya sudah mengirim prajurit untuk mencari dan memintamu datang ke sini tetapi mereka tidak menemukanmu!”
 Qais     : “Saya mengobati lukaku ini, wahai Abu Sulaiman.”
Khalid    : “Oh, apakah matamu terluka juga oleh para pelempar tombak dari Armenia itu?”
 Qais     : “Ya, dari atas bukit sialan itu.”
Khalid    : “Mari, kemarilah supaya kami dapat mengobati matamu.”
 Qais     : “Saya telah bersumpah bahwa saya tidak akan kembali kepadamu kecuali setelah saya membunuh Dranger.”
Khalid    : “Apakah kamu telah membunuhnya?”
Qais      : “Ya,... saya kembali lagi kepadanya setelah saya membalut luka di mataku ini. Dan dia mencoba menjauh dariku berkali-kali supaya saya tidak dapoat menemukannya, tetapi saya tidak tinggal diam dan tidak membiarkan itu terjadi. Saya terus memburunya sampai akhirnya saya dapat menangkap dan mengalahkannya.”
Para hadirin  : “Alhamdulillah.”
Khalid    : “Demi Allah, tidak diragukan lagi kalau kamulah prajurit terhebat dari Yaman walaupun masih ada pamanmu, Amr bin Ma’di Kariba, tetapi dia masih setingkat lebih rendah di bawahmu!”
 Qais     : “Alangkah baiknya jika dia mendengar pengakuanmu ini, Khalid. Tentu dia tidak akan memusuhiku lagi selamanya.” 
Khalid    : “Celaka kamu, kalau saja dia mendengarkan hal itu dariku, tentu dia akan mengadiliku.”
 Qais     : “Jika dia mengadilimu, maka pedang inilah yang akan menjadi hakim antara aku dengannya.”
Abu Ubaidah   : “Diam kau,  Qais. Apakah kita menjadi orang-orang jahiliyah lagi? padahal sekarang kita sedang berjihad di jalan Allah?!”
 Qais     : “Jangan mencelaku, wahai Abu Ubaidah. Celalah orang yang membangkitkannya (memberi isyarat kepada Khalid).”
Khalid    : “Qais benar,..... sayalah sebenarnya yang harus dicela. Ya Allah, ampunillah hambamu yang salah ini, Khalid.”
Suara     : “Wahai Abu Sulaiman!”
Khalid    : “Abdurrahman bin Abu Bakar! Apakah kamu telah tersesat untuk ke surga? apakah kamu dapat melukai orang lain?”
Abdurrahman: (Masuk) “Alhamdulillah, saya telah membunuh Ibnu Qunathir.”
Para hadirin  : “Alhamdulillah.”
Khalid    : “Semoga engkau memperoleh kebahagiaan, wahai anak Abu Bakar Siddiq. Sekarang kamu berhak memperoleh apa yang menjadi hakmu yaitu mendapatkan Laila.”
Abdurrahman: “Saya tidak membutuhkannya, Khalid. Saya telah melepaskan hak saya sebab perjuangan saya ini hanya karena Allah semata.”
Khalid    : “Tetapi saya tidak akan mengingkari janjiku selamanya. Hai Abu Ubaidah, jadikan Abdurrahman bin Abu Bakar sebagai anggota rombongan pasukan pencari jejak bersama Habib bin Maslamah al-Fihri supaya dia termasuk gelombang pertama yang memasuki kota Damaskus. Lalu menemui keluarga orang yang dicintainya di mana ada perjanjian antara mereka dan kita yaitu tidak ada seorangpun yang diizinkan keluar, baik itu laki-laki maupun perempuan, kecuali setelah aku datang. Wahai Abu Ubaidah, berdo’alah kepada Allah bagi kita supaya kita memperoleh kemenangan.”
Abu Ubaidah   : “Saya akan berdo’a dengan do’anya pemuda yang sholeh yaitu Mu’adz bin Jabal: ”Ya Allah...goncangkan kaki-kaki mereka, timbulkan keraguan dan ketakutan dalam hati mereka. dan turunkan ketenangan pada kami, jadikan kami tetap bertaqwa, cintailah pertemuan kami, dan berilah kerelaan dalam hati kami atas apa yang terjadi. Amiin.”
Para hadirin  : “Amiiin.”
Khalid    : (Bangkit dari tempat duduknya) “Ummu Tamim! ambilkan peciku, wahai Ummu Tamim!” (Ummu Tamimpun menyerahkan pacinya dan Khalid pun menerimanya lalu meletakkannya di atas kepalanya) “Mari  Qais...kemarilah Ibnu Abu Bakar.” (Khalid keluar dengan diikuti oleh Abdurrahman bin Abu Bakar  dan  Qais) (Haripun menjadi gelap sedikit demi sedikit).
Asma`     : “Lihatlah, bukankah kalian melihat kabut tebal di langit?”
Ummu Tamim: “Saya khawatir kalau kabut tebal itu akan menipu pandangan pasukan kaum muslimin sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa lagi.”
Abu Ubaidah   : “Ya Allah, jadikanlah ketenangan dalam hati kami dan kebingungan pada mereka.”
Ummu Hakim: “Dan angin ini juga telah menjadikan debu-debu beterbangan.”
Zubair    : “Allah yang telah mengirimkannya. Angin dan debu-debu ini mampu menjadikan bahaya dan malapetaka bagi pihak kaum musyrikin seperti angin yang bertiup pada waktu perang Khandaq.” (Tiupan angin yang berdebu itu semakin kuat dan malampun semakin kelam sehingga tidak ada sesuatu yang terdapat di tanah lapang itu dapat terlihat. Dari jauh, hanya terdengar hiruk pikuknya perang. Suara-suara yang bercampur antara dentingan pedang yang beradu dengan ringkikan suara kuda yang memekakkan telinga serta jeritan kesakitan para prajurit yang terkena senjata lawan. Mulai saat itu dan selanjutnya, tanah lapang itu bagaikan bergerak-gerak mengikuti gerakan Khalid; sebab yang terdengar dengan jelas di antara orang-orang yang lain hanyalah suaranya).
Khalid    : “Wahai penjaga jalan yang sempit itu (Zubair dan Abu Ubaidah)....buka jalan untuk pasukan berkuda musuh.”
          (Dari dekat, terdengar gerakan pasukan musuh)
Khalid    : “Wahai Habib bin Maslamah, pergilah dengan pasukanmu untuk mengikuti jejak mereka.”
          (Gerakan para pasukan yang berlari mengejar).
Khalid    : “Kembalilah kalian sekarang dan tutuplah jalan sempit itu. Wahai Qa’qa’ bin Amr, Qais bin Hubairah, Fadhl bin Abbas, Maisarah bin Masruq, Rafi’ bin Umairah dan sang pemberani ini. Saya adalah pemegang komando untuk menyerang musuh, karena itu mari kita kita bersiap-siap untuk menyerang mereka bersama-sama... semua harus berada pada posisinya masing-masing!”
          (Lalu terdengarlah suara lari para tentara dan dentingan pedang yang beradu).
Khalid    : “Wahai pasukan kaum muslimin, Dranger, Ibnu Qunathir dan Jurjair telah terbunuh semuanya. Karena itu, Allah akan merahmati orang yang dapat membunuh Bahan!”
          (Angin berdesir)...
Ikrimah   : “Khalid....Khalid...”
Khalid    : “Ikrimah!”
Ikrimah   : “Bergembiralah engkau, tidak ada seorangpun dari para pelempar tombak dari Armenia yang tersisa, semuanya telah tewas!”
Khalid    : “Ikrimah....di mana kamu?”
Ikrimah   : “Jangan khawatirkan diriku.... saya baik-baik saja...”
          ( Angin berdesir)
Khalid    : “Wahai para pasukan kaum muslimin, sesungguhnya kesabaran itu adalah suatu kemuliaan, dan kegagalan adalah tanda dari kelemahan. Dengan sabar kalian dapat memperoleh kemenangan, dan sesungguhnya orang-orang sabar itulah yang berada di posisi yang tinggi di sisi Allah. Wahai kaum muslimin, jadilah kalian semua seperti bangunan yang merapat dan melekat kuat pada   lembah dataran yang luas ini. Jangan biarkan seorang musuh-pun dapat meloloskan diri dari kalian.... desaklah meraka sedikit demi sedikit ke arah jaring itu!”
          (Angin berdesir).
Suara     : “Wahai kaum muslimin, kasihanilah panglima kalian, Khalid bin Walid. Kini dia telah terbunuh!”
Qa’qa’    : “Wahai kaum muslimin, saya adalah Qa’qa’ bin Amr... janganlah kalian mempercayai pembohong itu. Dia adalah orang Romawi yang berbicara bahasa Arab... ini dia Khalid bin Walid. Dia akan memanggil kalian, maka dengarkanlah suaranya!”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Translate

Wheather Forecast

Monster Drift

Welcome to My Blog

Aqua Clock

Popular Post

Diberdayakan oleh Blogger.

AT-TAUHID

AT-TAUHID
syahadah

- Copyright © 2025 YONAS SYABAB'S INFORMATION CENTER -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Yonas Septiyan -