Posted by : Unknown
Jumat, 05 April 2013
EPISODE KEEMPAT
(Di
kamp tentara Romawi). Di tenda Bahan yang besar, tampak dia sedang duduk di
kursinya. Di sekitarnya, berdiri para komandan tentara, khususunya orang-orang
kepercayaannya yang terdiri dari Jurjair, Ibnu Qunathir, Dranger, Jabalah bin
Aehim dan Jurjah.
Dranger : “Apakah
kamu tahu sekarang tentang perangkap ini?”
Ibnu Qunathir: “Saya sudah cukup lama memperingatkan
kalian.”
Dranger : “Kamu
memperingatkan kami tentang sesuatu yang belum kamu ketahui.”
Ibnu Qunathir: “Bukankah saya sudah mengatakan kepada
kalian bahwa saya khawatir kalau pergerakan pasukan Arab ke arah timur hanyalah
tipu muslihat dari Khalid, panglima mereka?”
Dranger : “Tapi
kamu tidak menjelaskan kepada kami tentang tipu muslihat macam apa itu.”
Ibnu Qunathir: “Tipu muslihat yang semacam ini, yang
sedang kita alami. Terkurung di antara dua lembah, sungai dan musuh.”
Jurjair :
“Peringatan itu telah menjadi kenyataan, lalu buat apa sekarang kita berdebat?”
Bahan : “Saya
lihat kalian telah membesar-besarkan pengepungan ini seakan-akan telah timbul
keyakinan kalau kita akan kalah dan karena itu kalian pesimis untuk memperoleh
kemenangan. Ini lembah Riqad di depan kita dan kita dapat melewatinya untuk
menuju ke arah timur. Dan yang di belakang kita adalah lembah Alan, kita juga
dapat melaluinya untuk menuju ke arah barat.”
Ibnu Qunathir: “Bukankah Khalid dapat mengirimkan pasukan
berkudanya ke arah timur maupun barat dengan leluasa. Dan dia dapat menghalangi
kita dan menipu kita dengan gerakan pasukan berkudanya?”
Dranger : “Berapa
jumlah pasukan berkudanya sehingga dapat bergerak ke arah timur dan barat, dan
menghalangi kita? Lalu dengan pasukan berkuda apalagi dia akan berperang
setelah itu? “
Ibnu Qunathir: “Dia menguasai pintu masuk (jalan utama)
daerah rendah ini. Jadi dia tidak perlu untuk berperang dengan pasukan
berkudanya melawan kalian di sini.”
Jurjah : “Hai
orang-orang, kecilkan suara kalian semua. Saya khawatir rencana kita ini akan
terdengar oleh Khalid dan akhirnya justru dialah yang menggunakannya.”
Bahan : “Siapa
orangnya yang dapat membawa berita tentang rencana kita kepada Khalid?”
Jurjah :
“Mata-matanya!!”
Bahan : “Apakah
ada di antara kita yang menjadi mata-matanya?”
Jurjah :
“Barangkali!?”
Bahan : “Apakah
kamu mengetahuinya?”
Jurjah :
“Barangkali.”
Bahan : “Siapa?”
Jurjah :
“Misalnya Abu Basyir al-Tanukhi.”
Jabalah : “Jaga
ucapanmu. Abu Bakar al-Tanukhi adalah mata-mata kita, karena itu tidak
merugikan kita.”
Jurjah : “Lalu
apa yang dapat mencegahnya kalau seandainya besok justru dia merugikan kita?
bukankah dia adalah orang Arab seperti mereka?”
Jabalah : “Saya
menolak pendapatmu yang semacam ini. Seakan-akan kamu menuduh kami semua,
orang-orang Arab, tidak ikhlas dalam perjuangan kami demi kaisar Heraklius.”
Jurjah : “Saya
tidak ingin menuduh siapapun. Tetapi seandainya saya orang Arab dan saya
melihat mereka, lalu apakah saya tetap dapat menjaga loyalitas saya kepada
Romawi?!”
Jabalah : “Jadi
kamu tidak ikhlas dan patuh kepada
kaisar.”
Jurjah : “Kenapa?
apakah seseorang mengatakan kepadamu bahwa orang-orang muslim itu adalah
berasal dari negeri Romawi atau dari Armenia?”
Jabalah : “Kamu
dengar, wahai Bahan, apa yang dikatakannya?”
Bahan : “Cukup
Jurjah. Kamu harus tahu kalau pemimpin kita ini, Jabalah, adalah sahabat kaisar
yang terpercaya.”
Jurjah : “Saya
tidak menuduhnya, tuanku. Tetapi saya menuduh Abu Basyir al-Tanukhi.”
Jabalah : “Abu
Basyir itu adalah anak buah saya.”
Bahan : “Kamu
jangan menentang Abu Basyir atau yang lainnya.”
Jurjah : “Baiklah
tuanku. Saya tidak akan pernah menentang semua orang Arab anak buah pemimpin
kita, Jabalah, walaupun dia berkhianat atau merugikan kita.”
Jabalah : “Saya
bersumpah wahai Bahan, Jurjah telah berubah sejak dia kembali dari mereka
(pasukan kaum muslimin).”
Bahan :
“Berubah? berubah bagaimana?”
Jabalah : “Saya
tidak tahu bagaimana. Tetapi yang jelas dia telah berubah.”
Jurjah : “Ya,
memang saya telah berubah karena saya sekarang mengetahui berbagai permasalahan
yang sangat bayak sekali.”
Jabalah : “Apa
maksudmu?”
Jurjah : “Tidak,
tidak usah saya katakan. Nanti kamu akan marah lagi!”
Bahan : “Saya
lihat bicaramu penuh dengan misteri dan teka teki, Jurjah!!”
Jurjah : “Barang
siapa yang tidak mampu untuk menerangkannya (karena tidak diberi kesempatan)
maka dia akan berusaha menjelaskan dengan cara isyarat dan sindiran.”
Jabalah : “Demi
tuhan Bahan, seandainnya saja saya tidak menghormati kedudukannya di sisimu,
tentu aku akan mengajarinya bagaimana cara menghormati para raja!!”
Jurjah :
“Sekarang saya sudah tenang.”
Bahan : “Tenang
karena apa?”
Jurjah : “Karena
pemimpin kita, Jabalah, tidak akan pernah sesuai dengan mereka. Anda tahu
kenapa?”
Bahan : “Kenapa?
karena mereka tidak mengenal istilah raja ataupun rakyat jelata. Menurut
mereka, semua manusia adalah sama.”
Jabalah :
“Seandainya kamu berniat benar maka kamu akan mengatakan bahwa sesungguhnya
saya adalah Nasrani dan saya tidak akan mengganti agamaku, saya adalah sahabat
kaisar dan tidak akan
pernah mengkhianatinya, dan tanah ini adalah tanah nenek
moyangku dan saya tidak akan pernah menyerahkannya kepada orang-orang asing.”
Jurjah : “Orang-orang asing? padahal mereka berbicara
dengan bahasa yang sama denganmu. Jadi bagaimana dengan bangsa Romawi?”
Jabalah : “Antara
Romawi dan kami sudah terjalin hubungan yang erat sejak lama.”
Jurjah : “Tetapi
hubungan darah, nasab dan kekeluargaan lebih lama dan kuat!”
Jabalah : “Sialan
kamu, sesungguhnya apa yang kamu inginkan? apakah kamu ingin mendesak saya
untuk berkhianat kepada kaisar?”
Jurjah : “Tidak,
wahai raja Arab! Bahkan saya sangat berharap supaya tidak ada yang menipu dan
mengkhianati kaisar kita!”
(seorang
penjaga masuk)
Bahan : “Ada apa
denganmu?”
penjaga : “Farmus
tuanku, dia minta izin untuk menghadap.”
Para hadirin :
“(Dengan serempak) Farmus!!?”
Bahan : “Celaka
dia, kenapa dia kembali? biarkan dia masuk.”
(lalu
penjaga itu keluar dan kembali lagi dengan Farmus. Di wajahnya tampak kesedihan
yang mendalam)
Farmus :
“Ma’afkan saya tuanku.”
Bahan : “Ada apa
denganmu? apa yang menimpamu? kenapa kamu kembali lagi?”
Farmus : “Mereka
menyerang kami.”
Bahan : “Siapa?”
Farmus :
“Orang-orang Arab.”
Bahan : “Orang
Arab? Arab mana?”
Jabalah :
“Katakanlah orang-orang muslim, jangan bilang orang Arab karena kami juga orang
Arab!!”
(dia
beradu pandang dengan Jurjah).
Farmus : “Ya,
orang-orang muslim.”
Bahan :
“Bagaimana mereka bisa menemukan kalian?”
Farmus : “Kami
temukan mereka tiba-tiba sudah berada di hadapan kami.”
Bahan : “Di
depan kalian? darimana mereka datang?”
Farmus : “Saya
tidak tahu. Seakan-akan mereka keluar dari perut bumi.”
Bahan : “Dan
mana kelompokmu?”
Farmus : “Mereka
dibunuh semua di tempat.”
Bahan : “Dan
kamu melarikan diri untuk menyelamatkan hidupmu dengan meninggalkan mereka
padahal kamu adalah pemimpinnya?!”
Farmus : “Tidak
tuanku, mereka membiarkan saya dengan sengaja supaya kembali kepada kalian
dengan berita sarung pedang dan kuda?”
Para hadirin :
“Sarung pedang dan kuda?”
Farmus : “Ya.”
Bahan : “Celakalah
mereka, apa sebenarnya maksud mereka?”
Farmus :
“Pemimpin mereka mengatakan kepada saya: ”Katakan kepada panglima kamu, Bahan,
bahwa kami dapat mengambil kembali sarung pedang dan kuda kami sebelum perang
berkecamuk. Dan ambillah sarung pedang dan kuda ini untuk kedua kalinya dan
berusahalah mencegah kami untuk mengambilnya kembali di lain waktu jika kamu
mampu.”
Bahan :
“(Terlihat marah) celakalah dia, saya akan menunjukan kepadanya sekarang juga!
Jurjah?”
Jurjah : “Ya,
tuanku.”
Bahan :
“Pergilah, bakar sarung pedang ini dan bunuhlah kuda itu sekarang juga!”
Jrujah : “(Dengan
nada membantah) saya harus membakar sarung pedang dan membunuh kuda ini?”
Bahan : “(Dengan
nada keras) ya!!”
Ibnu Qunathir: “Jangan tuanku, tidak baik kamu melakukan
hal itu.”
Bahan : “Kenapa
tidak? supaya yang punya tidak melihat barang miliknya lagi.”
Ibnu Qunathir: “Dia menantang kita. Karena itu kita harus
mengalahkan mereka di medan perang, bukan membakar sarung pedang dan membunuh
kudanya di sini.”
Dranger :
“Hilangkan saja kedua barang itu tuanku, dengan begitu anda dapat beristirahat
dengan tenang.”
Ibnu Qunathir: “Jika itu dilakukan, maka akan menjadi aib
atau cacat yang menempel pada bangsa Romawi selamanya.“
Dranger : “Justru
cacat itu jika kita mempertahankan kedua barang itu untuk diambil kembali di
lain waktu.”
Ibnu Qunathir: “Wahai penyebab kekalahan! siapa yang
bilang kepadamu bahwa akan ada yang dapat melakukan itu?”
Bahan : “Apa
pendapatmu Jabalah?”
Jabalah :
“Pendapatku sama seperti pendapat Ibnu Qunathir.”
Jurjah : “Kamu
benar, wahai raja Arab. Sesungguhnya orang Arab itu menyembah kuda yang kuat,
oleh karena itu mereka tidak akan pernah membunuhnya sama sekali.”
Jabalah :
(Memandang Jurjah dengan pandangan sinis tanpa membalas perkataannya)...?
Bahan : “(Diam sebentar
kemudian menoleh ke arah Farmus) dan bagaimana kamu dapat kembali sambil
membawa kedua barang itu padahal kamu sendirian?”
Farmus : “Tidak
tuanku, saya tidak kembali sendirian. Sebagian dari mereka mengantar saya
sampai di pinggir lembah yang berada di sebelah kita ini.”
Dranger : “Mereka
telah menipumu Farmus. Mereka telah menjadikanmu sebagai penunjuk jalan kepada
kita menuju arah timur.”
Farmus : “Lalu
saya harus bagaimana?”
Dranger : “Kamu
harus menolaknya walaupun mereka terpaksa membunuhmu!”
Ibnu Qunathir: “Demi tuhan saya heran dengan pendapat
kamu itu, bagaimana kamu mengira kalau jalan ini tidak diketahui oleh
syetan-syetan itu? Bukankah tadi saya sudah mengatakan kepadamu bahwa panglima
Arab itu dapat melakukan apa saja, dapat mengerahkan pasukan kudanya ke arah
timur maupun barat dan dapat mendeteksi gerakan kita?”
Dranger :
“Sekarang saya dapat menambahkan lagi daftar baru kemenangan dan ramalanmu!”
Ibnu Qunathir: “Saya juga dapat menambahkan daftar baru
bagi kekalahan dan khayalanmu!”
Bahan :(Tampak
kemarahan di wajahnya) “Bukankah kalian dapat melanjutkan pertengkaran kalian
ini di lain waktu? saya ingin memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk
penghinaan yang kita peroleh hari ini. Jika kalian tidak mau berhenti
bertengkar, keluarlah dariku (para hadirin diam seketika) beri tahu aku Farmus,
berapa jumlah pasukan berkuda yang menyerangmu itu!?”
Farmus : “Tidak
kurang dari lima ratus.”
Bahan : “Lima
ratus?”
Farmus : “Mungkin
lebih banyak.”
Bahan : “Mereka
mengerahkan lima ratus pasukan untuk menghadang dua puluh orang?”
Ibnu Qunathir: “Sudah jelas sekarang kalau mereka
mempunyai tujuan lain selain para prajurit kita itu.”
Bahan : “Apa
itu?”
Ibnu Qunathir: “Mungkin mereka ingin memutuskan jalan
yang menghubungkan antara kita dengan daerah timur sehingga tidak ada bantuan
bahan makanan maupun intruksi dari kaisar.”
Bahan :
“(Seakan-akan dia mengingat sesuatu yang telah dilupakannya) mana surat itu
Farmus? mana surat dariku yang kamu bawa untuk diberikan kepada kaisar!?”
Farmus : “Saya telah
menyobeknya supaya tidak jatuh ke tangan mereka, tuanku!”
Bahan : “Bagus
Farmus. Dengan begitu mereka tidak mengetahui rencana kita sampai saat ini.”
Ibnu Qunathir: “Saya berpendapat lebih baik kita
menyerang mereka sekarang juga tuanku.”
Dranger : “Jangan,
kita harus menunggunya sampai mereka mengambil inisiatif untuk menyerang kita
terlebih dahulu.”
Ibnu Qunathir: “Mereka sama sekali tidak akan pernah
mengambil inisiatif untuk menyerang kita dulu. Keadaan mereka pada posisi yang
menguntungkan sedangkan kita berada dalam posisi yang sulit. Karena itu
sebaiknya kita menyerang mereka sebelum mereka bertambah kuat dan kita
bertambah lemah.”
Bahan : “Tidak,
sebaiknya kita tidak menyerang mereka terlebih dahulu sampai datang bala
bantuan dari kaisar yang mengepung mereka dari belakang. Inilah rencananya.”
Ibnu Qunathir: “Kita kirim pasukan berkuda sekarang
sebelum jalan di lembah ‘Alan sebelah barat ditutup oleh mereka untuk kita.”
Bahan :
“Bagaimana pendapatmu Jabalah?”
Jabalah : “Saya
sependapat denganmu.”
Bahan : “Yang
tersisa hanya pasukan berkudamu, Jabalah. Selain itu mereka juga lebih cepat,
lebih tangkas dan lebih mirip dengan pasukan musuh.”
Jabalah : “Baiklah
tuanku. Jika anda menginginkan maka saya akan berangkat sekarang dengan
pasukanku.”
Bahan : “Tunggu
sampai waktu malam tiba.”
Jabalah : “Saya
minta izin untuk mempersiapkan mereka.” (lalu Jabalah keluar).
Jurjah :
“Berhati-hatilah tuanku jika hanya mengirim pasukan Arab sendirian. Kirim
bersama mereka juga pasukan dari Romawi supaya mereka dapat mengawasinya.”
Ibnu Qunathir: “Apa yang kamu bicarakan, Jurjah? ocehan
baru apalagi ini yang kamu perdengarkan kepada kita? apakah kamu ingin memecah
belah kita?”
Jurjah : “Saya
hanya menginginkan kita aman dari pengkhianatan dan persekongkolan mereka dengan
orang-orang yang sebangsa dengan mereka.”
Ibnu Qunathir: “Kami tidak pernah mendengar kamu berkata
begitu kecuali setelah kamu kembali dari mereka (orang-orang muslim).”
Jurjah : “Benar,
selama ini saya tidak mengetahui bahaya macam apa yang akan menimpa kita
kecuali setelah saya berbaur dengan mereka. Saya menemukan fakta bahwa mereka,
orang-orang muslim, tidak berbeda dengan orang-orang Arab yang ada bersama kita
dalam berbagai hal. Kecuali dalam hal keimanan mereka terhadap risalah agung
yang mereka bawa untuk disebarkan kepada seluruh manusia.”
Ibnu Qunathir: “Saya melihat kamu berbicara tentang
mereka seakan-akan kamu percaya dengan risalah yang mereka bawa!”
Jurjah :
“(Tertawa terbahak-bahak) saya hanya punya ini, wahai Ibnu Qunathir.
Orang-orang muslim juga menyangka saya begitu. Dan saya berbicara kepada kalian
dengan apa yang mereka sangka.” (penjaga masuk).
Penjaga : “Abu
Basyir al-Tanukhi, tuanku. Dia ingin menghadap.”
Bahan : “Biarkan
dia masuk penjaga!”
(penjaga
itu keluar kemudian masuklah Abu Basyir al-Tanukhi) berita apa yang kamu bawa,
wahai Abu Basyir?”
Abu Basyir :
“Saya membawakan kabar baru dari pihak musuh untuk anda, tuanku?!”
(menoleh
ke kanan ke kiri seakan-akan dia khawatir kalau di antara para hadirin ada yang
tidak bisa menjaga rahasia).
Bahan : “Berikan
kepadaku apa yang kamu bawa. Tenang, tidak ada orang lain di sini.”
Abu Basyir :
“Sejak beberapa hari telah datang bantuan pasukan dari Madinah yang jumlahnya
mencapai dua ribu orang. Dan dalam waktu dekat ini mereka juga menunggu bala
bantuan yang lain.”
Bahan : “Lalu
apalagi?”
Abu Basyir :
“Khalid bin Walid membagi pasukannya menjadi empat puluh bagian (kavaleri atau
detasemen) dan pada setiap detasemen dipimpin oleh seorang yang pemberani di
antara mereka.”
Bahan :
“(Dengan nada yang agak grogi) empat puluh bagian?”
Jurjair :
“Tanyakan kepadanya berapa jumlah pasukan pada tiap satu bagian!?”
Bahan :
“Berapa?”
Abu Basyir :
“Antara dua ratus sampai tiga ratus orang.”
Bahan : “Segitu
saja?”
Abu Basyir : “Ya,
hanya segitu.”
Bahan : “Kalau
kita membagi pasukan kita dengan cara seperti ini, maka kita akan mempunyai
lebih dari empat ratus bagian (detasemen).”
Jurjah : “Tetapi
anda jangan lupa tuanku. Dalam pasukan kita ada sekitar enam puluh ribu pasukan
berkuda yang berasal dari bangsa Arab!”
Bahan :
“(Terkejut) pasukan Arab di pihak kita?”
Jurjah : “Ya,
pasukan Arab di pihak kita. Sedangkan dalam pasukan Khalid tidak ada orang
Romawi ataupun persia!”
Ibnu Qunathir: “Jurjah masih saja menyanjung kaum
muslimin, pasukan dan panglima mereka.”
Jurjah : “Saya
memperingatkan kalian supaya kalian tidak meremehkan kekuatan mereka.”
Ibnu Qunathir: “Tenanglah. Tidak ada di antara kita yang
meremehkan kekuatan mereka.”
Bahan : “Lalu
apalagi, wahai Abu Basyir?”
Abu Basyir :
“Sejak beberapa hari lalu Khalid pergi menuju ke arah Damsiq dengan membawa dua
detasemen pasukan.”
Farmus : “Pasti
dia pemimpin kelompok yang menyerang kita di tengah jalan!”
Abu Basyir :
“Ceritakan kepada saya bagaimana bentuk tubuhnya!?”
Farmus : “Tinggi
besar, putih, menaiki kuda berwarna pirang dan memakai peci hitam di
kepalanya.”
Abu Basyir : “Ya,
itulah Khalid bin Walid.”
Bahan : “Lalu
apalai wahai Abu Basyir?”
Abu Basyir :
“Itulah semua informasi yang saya miliki tuanku.”
(Lalu
Bahan mengisyaratkan kepadanya untuk keluar, maka Abu Basyir pun keluar).
Jurjah :
“Berhati-hatilah kalian kalau saja mata-mata kalian inilah yang justeru membawa
berita rahasia tentang Farmus kepada kaum muslimin!”
Bahan : “Celaka
kamu atas apa yang kamu katakan!”
Jurjah : “Jangan
buru-buru marah dulu kepada saya tuanku. Sebab, bukankah dia yang pergi ke
perkemahan orang Arab sehari sebelum pasukan penyusup Farmus berangkat?”
Ibnu quanthir: “Ini bukan dalil yang pasti.”
Dranger : “Untuk
apa kita membutuhkan dalil yang pasti dalam masalah seperti ini?”
Ibnu Qunathir: “Sebaiknya kita tidak menuduh seorangpun
sebelum mempunyai bukti yang pasti.”
Dranger :
“Petunjuk-petunjuk yang ada terkadang dapat menjadi bukti.”
Bahan : “Celaka
kalian semua, kita tidak punya mata-mata yang dapat dipercayai kaum muslimin
selain laki-laki ini. Jika kita kehilangan dia, kita tidak punya penggantinya.”
Dranger : “Tapi
kita harus memastikan terlebih dahulu sebelumnya, apakah dia adalah mata-mata
kita atau justru mata-mata musuh.”
Jurjah : “Atau
lebih baik kita tidak punya mata-mata sekalian, daripada kita punya mata-mata
tetapi kita sendiri ragu tentang dirinya.”
Bahan : “(Diam
dalam kebingungannya. Kemudian, secara tiba-tiba, kemarahannya meledak).
Celakalah kalian, kalian telah menjadikanku ragu-ragu dalam segala hal.
Keluarlah kalian semua dari sini. (semuanya bangkit untuk keluar) Ibnu
Qunathir, kamu tetap di sini. (Semua
keluar selain Ibnu Qunathir) bagaimana pendapatmu tentang semua ini, tentang
semua yang telah kamu dengarkan tadi?”
Ibnu Qunathir: “Apakah kamu benar-benar menginginkan
pendapatku?”
Bahan : “Ya.”
Ibnu Qunathir: “Tapi kamu jangan marah.”
Bahan : “Apa
yang menyebabkan aku marah?”
Ibnu Qunathir: “Saya tidak meragukan kesetiaan Abu Basyir
tetapi justru saya meragukan Jurjah.”
Bahan :
“Jurjah?”
Ibnu Qunathir: “Ya, yang muncul dalam pikiranku adalah
kalau dia telah menjual dirinya kepada kaum muslimin.”
Bahan :
“(Menampakkan kemarahan) hei, kamu menuduhnya karena kamu iri kepadanya!?”
Ibnu Qunathir: “Aku iri kepadanya? untuk apa aku iri
kepadanya?”
Bahan : “Kamu
iri kepada kami, orang Armenia.”
Ibnu quanthir: “Dalam hal apa kami iri kepada kalian?”
Bahan : “Dalam
hal posisi kita di mata kaisar, dimana beliau lebih mendahulukan kita dan lebih
mempercayai kita daripada kalian.”
Ibnu Qunathir: “Justru kalianlah yang iri kepada kami,
karena kami menjadi rakyat sang kaisar, dan kami memiliki kemampuan dan
kekuatan.”
Bahan : “Keluar
dari tempatku sekarang juga!”
Ibnu Qunathir: “Saya tidak butuh perintahmu.” (Ibnu
Qunathir keluar).
(Bahan
mengobrak-abrik segala apa yang ada di sekitarnya dengan meluapkan kemarahan
dan kebingungannya).