Posted by : Unknown
Kamis, 02 Mei 2013
Listrik
di Indonesia, menurut yang dilansir dari Koran Kompas beberapa waktu
yang lalu sedang krisis. Beberapa pembangkit yang seharusnya menyuplai
listrik ke pulau Jawa dan Bali mengalami kerusakan atau setidaknya
mengalami penurunan daya listrik. Hal ini tentu saja membuat gusar
beberapa orang, terutama yang nantinya mungkin akan mengalami pemadaman.
Tapi sebenarnya seberapa tahu kita terhadap masalah ini? Atau lebih
umumnya, apakah anda mengetahui bagaimana sebenarnya listrik diproduksi
dan didistribusikan?
Untuk menjawab pertanyaan itulah, kenapa akhirnya saya mencoba membuat artikel umum mengenai pengetahuan perlistrikan kita, dan ingin mengajak pembaca untuk lebih melihat kedalam mengenai produksi listrik, khususnya di Jawa dan Bali.
Listrik tidak bisa disimpan secara efektif
Dalam skala besar, saat ini tidak ada teknologi yang cukup efisien digunakan untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit, untuk detailnya saya tidak mengetahui secara pasti, tapi kalau saya boleh berpendapat, mungkin dari sisi biaya mengubah arus AC ke arus DC untuk kemudian disimpan didalam baterai masih mahal, belum lagi dilihat dari sisi efisiensi loss dan lain sebagainya, -ini hanya asumsi saya saja-.
Karakteristik inilah yang membuat industri pembangkitan jauh berbeda secara prinsip dengan industri lain, katakanlah industri customer’s good.
Industri customer’s good beroperasi untuk mengisi stok, sangat jarang saya temui industri customer’s good yang langsung mendistribusikan barangnya langsung setelah keluar dari lini produksi terakhirnya, adanya faktor menyimpanan ini membuat gangguan pada produksi barang cenderung tidak berpengaruh, karena kekurangan ini bisa diambil dari stok barang yang ada di gudang.
Tidak demikian dengan industri pembangkit. Industri pembangkit karena tidak bisa menyimpan hasil produksinya, yaitu listrik (dalam bentuk arus AC), cenderung untuk berproduksi sesuai dengan demandnya, yaitu kebutuhan listrik nasional, atau dalam konteks ini, kebutuhan listrik Jawa Bali. Berproduksi melebihi apa yang diminta, maka sisanya akan terbuang percuma, berproduksi dibawah permintaan, maka akan dicomplaint oleh pelanggan, belum lagi biasanya suatu powerplant yang trip(mati) biasanya akan “menarik” powerplant-powerplant sekitarnya. Juga tidak mustahil kalau kemudian di demo masyarakat dan lain-lain.
Pembangkitan listrik
Secara umum, listrik dihasilkan oleh sebuah pembangkit, atau lebih mudah disebut generator. Prinsip pembangkitan listrik dari sebuah generator, mirip-mirip dengan pelajaran fisika tentang GGL, gaya gerak listrik, kecuali Generator akan menghasilkan listrik tiga fase.
Analogi mudahnya adalah dinamo di sepeda anda (kalau ada) yang bisa membuat lambu sepeda anda menyala bila dinamo tadi dihubungkan dengan roda, biasanya roda depan.
Bila kita upscale kedalam skala industri, maka anggap saja generator tadi dihubungkan dengan tenaga penggeraknya sehingga dapat berputar dan menghasilkan listrik.
Jenis pembangkit listrik
Sebelum kita beranjak lebih jauh, maka sebelumnya saya mau mengajak anda untuk mengenal jenis-jenis pembangkit yang ada di Dunia saat ini.
Bila kita melakukan klasifikasi dari sisi bahan bakar, maka pembangkit akan dibagi menjadi beberapa jenis yang anda pasti sudah familiar:
Karena klasifikasi berdasarkan bahan bakarnyanya sudah cukup straightforward, maka selanjutnya saya akan menjelaskan berdasarkan tenaga penggeraknya saja.
Uap:
PLTU adalah pembangkit yang menggunakan uap untuk memutar turbinnya yang akan menggerakkan generator dan akhirnya menghasilkan listrik. Uap ini dihasilkan oleh proses pemanasan yang terjadi di Boiler.
Uap yang dihasilkan oleh boiler tentu saja tidak sama dengan uap yang keluar pada saat kita memasak air di dapur. Pemanasan di boiler pada pembangkit ini demikian panasnya sehingga uap yang dihasilkan akan berada pada fase superheated, uap yang penuh energi inilah yang “dihantamkan” ke bilah-bilah turbin, sehingga turbin akan berputar dan menghasilkan listrik melalui generatornya.
Karena rumitnya proses dari mulai memanaskan uap sampai dengan mulai memutar turbin selain juga karena adanya inersia termodinamika dalam sistemnya, maka PLTU yang di hot start baru mulai berproduksi setelah kurang lebih 5 jam. Bila proses pembangkitan dimulai dengan cold start, maka bisa ditebak, kurang lebih butuh 16 jam untuk mulai menghasilkan listrik.
Skematik PLTU secara umum
Gas:
PLTG, secara prinsip hampir sama dengan PLTU, hanya saja uapnya diganti dengan gas. Karena karakteristik uap dan gas secara umum berbeda, maka akan ada beberapa prinsip dasar yang berbeda antara turbin uap dan turbin gas, selain itu, gas yang dipakai dalam PLTG bisa dibilang lebih mudah untuk disiapkan daripada uap, sehingga sebuah PLTG bisa mulai berproduksi dari keadaan “dingin” dalam hitungan menit, sebut saja sekitar 10 menit sampai 30 menit, ini jauh lebih cepat dari apa yang bisa dilakukan oleh sebuah PLTU.
Satu hal yang menarik pada PLTG adalah gas yang keluar dari turbin biasanya masih cukup panas. Cukup panas sehingga bila di sebelah PLTG ada sebuah PLTU, maka gas hasil proses di PLTG masih dapat digunakan untuk memanaskan boiler kepunyaan PLTU. Inilah kemudian yang dikenal dengan sebutan combine cycle, sebuah Pembangkit yang terdiri dari PLTG dan PLTU.
Air:
PLTA, seperti yang telah diketahui melalui pelajaran IPA di sekolah dulu adalah pembangkit yang paling sederhana, tujuan turbin pada PLTA adalah untuk “menangkap” energi potensial yang berasal dari fluida yang jatuh dari ketinggian tertentu.
Turbin pada PLTA ini, melalui penyempurnaan berpuluh-puluh tahun, telah didesain seefisien mungkin sehingga bisa dikatakan bahwa sebagian besar energi potensial yang berasal dari air bisa “ditangkap” dan digunakan untuk menggerakkan generator.
Karena PLTA ini mempunyai komponen dan juga prinsip yang lebih simpel, sebuah PLTA bisa menaikkan kapasitas pembangkitannya secara cepat dalam hitungan satuan menit kalau bukan detik.
Itaipu: PLTA terbesar di Dunia
Reciprocating engine:
Reciprocating engine adalah jenis penggerak lain dari sebuah generator. Di Indonesia, pembangkit jenis ini tersebar lebih banyak di luar Jawa. Biasanya berbahan bakar solar diesel, walaupun ada yang digerakkan gas juga.
Di Jawa dan Bali hanya tiga jenis penggerak yang umum digunakan, yaitu uap, gas dan air. Ketiga karakteristik pembangkit yang berbeda inilah yang kemudian menjadi dasar dalam melakukan strategi pendistribusian listrik ke seantero Jawa dan Bali.
Efisiensi Pembangkit Listrik
Sesuai dengan hukum termodinamika kedua (kalau saya tidak salah) maka akan selalu ada heat loss ke sistem lingkungan dalam peroses pembangkitan, oleh karena itu efisiensi pembangkit listrik pasti tidak mungkin 100%. Dan karena batasan teknologi sekarang, efisiensi pembangkit biasanya berkisar antara 20%-30%. Khusus untuk gas, dimana hasil sampingannya (berupa gas panas) masih bisa digunakan untuk turbine uap lainnya, maka efisiensi total bisa mencapai 40%-60%. Pada beberapa negara yang punya empat musim, hasil sampingan berupa panas tadi biasanya disalurkan ke rumah-rumah, sebagai pengganti pemanas pada musim dingin. Atau bisa saja hasil sampingan berupa panas tadi digunakan untuk proses lain, seperti yang terjadi di Timur tengah, dimana hasil sampingan tadi digunakan dalam proses desalinasi air laut.
Potret penggunaan listrik di Jawa dan Bali
Dalam pendistribusikan load ke seluruh pembangkit di pulau Jawa dan Bali secara umum dalam menghadapi demand pengguna listrik, maka dibentuk suatu unit bisnis baru oleh PLN yang diberi nama P3B (Penyaluran dan Pusat Penyalur Beban). P3B inilah yang –secara umum- mengatur kapan suatu pembangkit mulai beroperasi dan kapan tidak. Suatu pembangkit yang pada saat diminta untuk beroperasi tidak dapat melakukannya biasanya akan mendapatkan denda, dan seterusnya, dan seterusnya.
Untuk lebih mengenal karasteristik pembebanan listrik di pulau Jawa dan bali maka saya mengambil gambar ini dari website P3B (diambil jam 14:34)
Bisa dilihat bahwa grafik pembebanan di pulau Jawa dan Bali cukup banyak berfluktuasi dengan puncak beban di sekitar pukul 19:00
Dengan melihat grafik diatas dan waktu startup turbine yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya, maka untuk pulau Jawa dan Bali, mau tidak mau pendistribusian beban harus melalui tiga jenis pembangkit, dengan pembangkit jenis uap menjadi pembangkit baseline, pembangkit jenis gas menjadi pengisi lubang di Baseline dan membantu menyangga beban puncak, dan pembangkit jenis Air menjadi penyangga beban puncak saja.
Melihat kurva diatas pula, maka kebijakan mengenai pembangunan pembangkit baru juga harus merefleksikan kurva demand sesuai dengan proyeksi kebutuhan listrik dimasa depan.
Beberapa skenario lain menyangga kebutuhan listrik Jawa-Bali
Menurut saya, membangun PLTU baru sebanyak 100 buah dengan grafik kurva
load yang sangat fluktuatif juga bukan pilihan bagus, mengingat akan
banyak sekali energi yang akan terbuang percuma, terlebih bila semuanya
misalnya berupa PLTU. Disinilah desain besar perlistrikan nasional
menjadi hal yang diperlukan dalam menentukan arah kebijakan kedepannya.
Membangun terlalu banyak reaktif powerplant juga tidak akan begitu
menguntungkan dari segi bisnis maka walaupun mungkin efisien. Hal ini
dikarenakan break event point suatu powerplant sedikit banyak tergantung
dari running hoursnya, sehingga PLTG yang hanya hidup dari jam 16:00
sampai 21:00 mungkin akan mencapai BEP let say..100 tahun lagi mungkin
:D
Dengan memperhitungkan berbagai hal, maka nantinya akan terlihat berapa powerplant yang harus menjadi base load powerplant dan berapa yang menjadi powerplant mendukung peak, disinilah kemudian peran P3B menjadi krusial.
Penutup
Bisnis pembangkit adalah salah satu dari sedikit bisnis yang memerlukan kehandalan sebagai bagian dari strategi bisnisnya - selain oil, dan refinery-, oleh karena itu mungkin sudah saatnya kita memberi perspektif yang berbeda dalam mengomentari berbagai macam problem didalamnya. Semoga sedikit info dari saya mengenai pembangkit listrik bisa menambah wawasan semuanya tentang kelistrikan di Jawa dan Bali. Tidak lupa saya ingatkan; HEMAT LISTRIK, TEMAN!! :D
Source : http://anthronic.com/?itemid=278
Untuk menjawab pertanyaan itulah, kenapa akhirnya saya mencoba membuat artikel umum mengenai pengetahuan perlistrikan kita, dan ingin mengajak pembaca untuk lebih melihat kedalam mengenai produksi listrik, khususnya di Jawa dan Bali.
Listrik tidak bisa disimpan secara efektif
Dalam skala besar, saat ini tidak ada teknologi yang cukup efisien digunakan untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit, untuk detailnya saya tidak mengetahui secara pasti, tapi kalau saya boleh berpendapat, mungkin dari sisi biaya mengubah arus AC ke arus DC untuk kemudian disimpan didalam baterai masih mahal, belum lagi dilihat dari sisi efisiensi loss dan lain sebagainya, -ini hanya asumsi saya saja-.
Karakteristik inilah yang membuat industri pembangkitan jauh berbeda secara prinsip dengan industri lain, katakanlah industri customer’s good.
Industri customer’s good beroperasi untuk mengisi stok, sangat jarang saya temui industri customer’s good yang langsung mendistribusikan barangnya langsung setelah keluar dari lini produksi terakhirnya, adanya faktor menyimpanan ini membuat gangguan pada produksi barang cenderung tidak berpengaruh, karena kekurangan ini bisa diambil dari stok barang yang ada di gudang.
Tidak demikian dengan industri pembangkit. Industri pembangkit karena tidak bisa menyimpan hasil produksinya, yaitu listrik (dalam bentuk arus AC), cenderung untuk berproduksi sesuai dengan demandnya, yaitu kebutuhan listrik nasional, atau dalam konteks ini, kebutuhan listrik Jawa Bali. Berproduksi melebihi apa yang diminta, maka sisanya akan terbuang percuma, berproduksi dibawah permintaan, maka akan dicomplaint oleh pelanggan, belum lagi biasanya suatu powerplant yang trip(mati) biasanya akan “menarik” powerplant-powerplant sekitarnya. Juga tidak mustahil kalau kemudian di demo masyarakat dan lain-lain.
Pembangkitan listrik
Secara umum, listrik dihasilkan oleh sebuah pembangkit, atau lebih mudah disebut generator. Prinsip pembangkitan listrik dari sebuah generator, mirip-mirip dengan pelajaran fisika tentang GGL, gaya gerak listrik, kecuali Generator akan menghasilkan listrik tiga fase.
Analogi mudahnya adalah dinamo di sepeda anda (kalau ada) yang bisa membuat lambu sepeda anda menyala bila dinamo tadi dihubungkan dengan roda, biasanya roda depan.
Bila kita upscale kedalam skala industri, maka anggap saja generator tadi dihubungkan dengan tenaga penggeraknya sehingga dapat berputar dan menghasilkan listrik.
Jenis pembangkit listrik
Sebelum kita beranjak lebih jauh, maka sebelumnya saya mau mengajak anda untuk mengenal jenis-jenis pembangkit yang ada di Dunia saat ini.
Bila kita melakukan klasifikasi dari sisi bahan bakar, maka pembangkit akan dibagi menjadi beberapa jenis yang anda pasti sudah familiar:
- Batubara
- Nuklir
- Gas
- Panas Bumi
- Biogas
- Matahari, dan lainnya.
- Turbin uap
- Turbin gas
- Turbin air
- Reciprocating engine, dan mungkin masih ada lagi yang saya tidak tahu.
Karena klasifikasi berdasarkan bahan bakarnyanya sudah cukup straightforward, maka selanjutnya saya akan menjelaskan berdasarkan tenaga penggeraknya saja.
Uap:
PLTU adalah pembangkit yang menggunakan uap untuk memutar turbinnya yang akan menggerakkan generator dan akhirnya menghasilkan listrik. Uap ini dihasilkan oleh proses pemanasan yang terjadi di Boiler.
Uap yang dihasilkan oleh boiler tentu saja tidak sama dengan uap yang keluar pada saat kita memasak air di dapur. Pemanasan di boiler pada pembangkit ini demikian panasnya sehingga uap yang dihasilkan akan berada pada fase superheated, uap yang penuh energi inilah yang “dihantamkan” ke bilah-bilah turbin, sehingga turbin akan berputar dan menghasilkan listrik melalui generatornya.
Karena rumitnya proses dari mulai memanaskan uap sampai dengan mulai memutar turbin selain juga karena adanya inersia termodinamika dalam sistemnya, maka PLTU yang di hot start baru mulai berproduksi setelah kurang lebih 5 jam. Bila proses pembangkitan dimulai dengan cold start, maka bisa ditebak, kurang lebih butuh 16 jam untuk mulai menghasilkan listrik.
Skematik PLTU secara umum
Gas:
PLTG, secara prinsip hampir sama dengan PLTU, hanya saja uapnya diganti dengan gas. Karena karakteristik uap dan gas secara umum berbeda, maka akan ada beberapa prinsip dasar yang berbeda antara turbin uap dan turbin gas, selain itu, gas yang dipakai dalam PLTG bisa dibilang lebih mudah untuk disiapkan daripada uap, sehingga sebuah PLTG bisa mulai berproduksi dari keadaan “dingin” dalam hitungan menit, sebut saja sekitar 10 menit sampai 30 menit, ini jauh lebih cepat dari apa yang bisa dilakukan oleh sebuah PLTU.
Satu hal yang menarik pada PLTG adalah gas yang keluar dari turbin biasanya masih cukup panas. Cukup panas sehingga bila di sebelah PLTG ada sebuah PLTU, maka gas hasil proses di PLTG masih dapat digunakan untuk memanaskan boiler kepunyaan PLTU. Inilah kemudian yang dikenal dengan sebutan combine cycle, sebuah Pembangkit yang terdiri dari PLTG dan PLTU.
Air:
PLTA, seperti yang telah diketahui melalui pelajaran IPA di sekolah dulu adalah pembangkit yang paling sederhana, tujuan turbin pada PLTA adalah untuk “menangkap” energi potensial yang berasal dari fluida yang jatuh dari ketinggian tertentu.
Turbin pada PLTA ini, melalui penyempurnaan berpuluh-puluh tahun, telah didesain seefisien mungkin sehingga bisa dikatakan bahwa sebagian besar energi potensial yang berasal dari air bisa “ditangkap” dan digunakan untuk menggerakkan generator.
Karena PLTA ini mempunyai komponen dan juga prinsip yang lebih simpel, sebuah PLTA bisa menaikkan kapasitas pembangkitannya secara cepat dalam hitungan satuan menit kalau bukan detik.
Itaipu: PLTA terbesar di Dunia
Reciprocating engine:
Reciprocating engine adalah jenis penggerak lain dari sebuah generator. Di Indonesia, pembangkit jenis ini tersebar lebih banyak di luar Jawa. Biasanya berbahan bakar solar diesel, walaupun ada yang digerakkan gas juga.
Di Jawa dan Bali hanya tiga jenis penggerak yang umum digunakan, yaitu uap, gas dan air. Ketiga karakteristik pembangkit yang berbeda inilah yang kemudian menjadi dasar dalam melakukan strategi pendistribusian listrik ke seantero Jawa dan Bali.
Efisiensi Pembangkit Listrik
Sesuai dengan hukum termodinamika kedua (kalau saya tidak salah) maka akan selalu ada heat loss ke sistem lingkungan dalam peroses pembangkitan, oleh karena itu efisiensi pembangkit listrik pasti tidak mungkin 100%. Dan karena batasan teknologi sekarang, efisiensi pembangkit biasanya berkisar antara 20%-30%. Khusus untuk gas, dimana hasil sampingannya (berupa gas panas) masih bisa digunakan untuk turbine uap lainnya, maka efisiensi total bisa mencapai 40%-60%. Pada beberapa negara yang punya empat musim, hasil sampingan berupa panas tadi biasanya disalurkan ke rumah-rumah, sebagai pengganti pemanas pada musim dingin. Atau bisa saja hasil sampingan berupa panas tadi digunakan untuk proses lain, seperti yang terjadi di Timur tengah, dimana hasil sampingan tadi digunakan dalam proses desalinasi air laut.
Potret penggunaan listrik di Jawa dan Bali
Dalam pendistribusikan load ke seluruh pembangkit di pulau Jawa dan Bali secara umum dalam menghadapi demand pengguna listrik, maka dibentuk suatu unit bisnis baru oleh PLN yang diberi nama P3B (Penyaluran dan Pusat Penyalur Beban). P3B inilah yang –secara umum- mengatur kapan suatu pembangkit mulai beroperasi dan kapan tidak. Suatu pembangkit yang pada saat diminta untuk beroperasi tidak dapat melakukannya biasanya akan mendapatkan denda, dan seterusnya, dan seterusnya.
Untuk lebih mengenal karasteristik pembebanan listrik di pulau Jawa dan bali maka saya mengambil gambar ini dari website P3B (diambil jam 14:34)
Bisa dilihat bahwa grafik pembebanan di pulau Jawa dan Bali cukup banyak berfluktuasi dengan puncak beban di sekitar pukul 19:00
Dengan melihat grafik diatas dan waktu startup turbine yang berbeda-beda untuk setiap jenisnya, maka untuk pulau Jawa dan Bali, mau tidak mau pendistribusian beban harus melalui tiga jenis pembangkit, dengan pembangkit jenis uap menjadi pembangkit baseline, pembangkit jenis gas menjadi pengisi lubang di Baseline dan membantu menyangga beban puncak, dan pembangkit jenis Air menjadi penyangga beban puncak saja.
Melihat kurva diatas pula, maka kebijakan mengenai pembangunan pembangkit baru juga harus merefleksikan kurva demand sesuai dengan proyeksi kebutuhan listrik dimasa depan.
Beberapa skenario lain menyangga kebutuhan listrik Jawa-Bali
Dengan memperhitungkan berbagai hal, maka nantinya akan terlihat berapa powerplant yang harus menjadi base load powerplant dan berapa yang menjadi powerplant mendukung peak, disinilah kemudian peran P3B menjadi krusial.
Penutup
Bisnis pembangkit adalah salah satu dari sedikit bisnis yang memerlukan kehandalan sebagai bagian dari strategi bisnisnya - selain oil, dan refinery-, oleh karena itu mungkin sudah saatnya kita memberi perspektif yang berbeda dalam mengomentari berbagai macam problem didalamnya. Semoga sedikit info dari saya mengenai pembangkit listrik bisa menambah wawasan semuanya tentang kelistrikan di Jawa dan Bali. Tidak lupa saya ingatkan; HEMAT LISTRIK, TEMAN!! :D
Source : http://anthronic.com/?itemid=278