Archive for Maret 2013
Di pintu masuk utama daerah yang datar
itu, yang terletak di antara lembah Ghulan dan lembah Riqad, terdapat tempat
terbuka yang luas. Di sebelah kanannya, terdapat sebagian perkemahan kaum
muslimin.
Tampak Khalid bin Walid, Abu Ubaidah,
Amr bin Ash dan Syurahbil bin Hasanah
sedang berdiri di depan kemah Abu Ubaidah.
Khalid :
(Memanggil) “Wahai ‘Ayyad bin Ghanam!”
Suara : “Siap
tuanku!”
Khalid : “Kamu
memimpin pasukan kavaleri (pasukan berkuda) yang ketiga puluh tujuh, wahai Abu
al-A’war al-Silmy!”
Suara : “Siap
tuanku!”
Khalid : “Kamu
memimpin pasukan kavaleri yang ketiga puluh delapan, wahai pemberani (yang
mempunyai kuda liar)!”
Suara : “Siap
tuanku!”
Khalid : “Kamu
memimpin pasukan kavaleri yang ketiga puluh sembilan, wahai Fadhl bin Abbas bin
Abdul Muthalib!”
Suara : “Siap
tuanku!”
Khalid : “Kamu
memimpin pasukan kavaleri yang keempat puluh, wahai anak paman Nabi. Wahai kaum
muslimin.....! Saya telah membagi kalian menjadi beberapa bagian pasukan berkuda
supaya kalian berlomba-lomba dalam berperang melawan musuh. Dan supaya kalian
semua tahu resiko akibat kelalaian yang kalian lakukan. Dan setiap anggota
pasukan kavaleri harus mematuhi komandan regunya dan setiap komandan regu harus
patuh kepada komandan yang lebih tinggi. Jika dia menyuruh kalian untuk ke
kanan atau ke kiri atau berbalik maka taatilah perintah itu! Nah sekarang
bubarlah kalian semua untuk menempati pos-pos yang telah ditentukan, semoga
Allah merahmati kalian semua!”
(terdengar
suara langkah kaki mereka yang bubar, keramaianpun berkurang sedikit demi
sedikit sampai akhirnya keadaan benar-benar sunyi).
Khalid : (Menoleh
kearah para komandan regu tentara) “Apakah kalian tahu di mana posisi kita dan
di mana posisi tentara Romawi sekarang? posisi tentara Romawi sekarang berada
di tanah datar yang terletak diantara lembah Nahar dan Buhairah. Sedangkan kita
berada di pintu masuk daerah tersebut. Jadi tidak ada jalan keluar bagi mereka
untuk melarikan diri kecuali dari arah kita dan jaring ini.”
Amr : “Ya,
demi Allah pasukan Romawi telah terkepung dan itu pertanda baik bagi kita.”
Khalid : “Itu
adalah tipu muslihat, wahai Amr bin ‘Ash.”
Amr : “Kamu
hebat wahai Abu Sulaiman. Demi Allah saya tidak akan menentang pendapatmu dalam
hal ini selamanya.”
Khalid :
“Kemarilah kalian semua bersamaku, untuk melihat keadaan dari arah sini supaya
kita lebih tahu. Kemarilah!”
Abu Ubaidah : “Dan
saya wahai Abu Sulaiman, mungkinkah saya pergi bersama kalian?”
Khalid : “Jangan,
kamu harus tetap di sini, di kemahmu untuk melayani segala kebutuhan
orang-orang di sini!”
Abu Ubaidah :
“Saya akan mentaati perintahmu wahai Abu Sulaiman.”
(Khalid,
Amr, dan Syurahbil keluar)
(Abu
Ubaidah duduk di atas tanah, di depan kemahnya sambil menggosok-gosok pedang,
membolik-balikkan dan memperbaikinya. Duduk di sampingnya Mu’adz bin Jabal)
(Rumanus
masuk bersama tentara Romawi)
Abu Ubaidah :
“Siapa orang yang bersamamu Rumanus?”
Mu’adz : “Dialah
utusan Bahan, panglima pasukan tentara Romawi.”
Abu Ubaidah :
“Apakah dia dapat berbicara bahasa Arab?”
Jurjah : “(Dengan
tergagap) ya, saya dapat berbicara bahasa Arab.”
Abu Ubaidah :
“(Berdiri dari tempat duduknya dengan wajah ceria) selamat datang wahai
saudaraku dari Romawi.”
Jurjah : “Nama
saya Jurjah dan saya bukan dari Romawi tetapi dari Armenia.”
Abu Ubaidah :
“Apakah kamu tidak ingin duduk, Jurjah?”
Jurjah : “Di mana
saya duduk?”
Abu Ubaidah : “Di
sini, di mana aku duduk.”
Jurjah : “Apakah
benar kamu adalah pemimpin mereka?”
Rumanus : “Celaka
kamu, apa kamu kira saya menipumu?”
Abu Ubaidah :
“Biarkan dia menanyakan apa saja. Ya, saya adalah pemimpin mereka, wahai
Jurjah!”
Jurjah : “Abu
Ubaidah?”
Abu Ubaidah : “Ya,
saya adalah Abu Ubaidah.”
Jurjah :
“Bukankah kamu mempunyai tempat duduk (singgasana) yang lebih baik dari ini?”
Abu Ubaidah :
“Dalam keadaan panas begini, tidak ada tempat yang lebih baik dari tempat
berteduh ini.”
Jurjah : “Dengan
duduk di atas tanah seperti ini? tanpa alas permadani ataupun bantal?”
Abu Ubaidah :
“Wahai Jurjah, kita adalah hamba Allah. Kita berjalan, duduk, makan dan tidur
di atas bumi ini dan itu semua tidak menurunkan posisi kita di sisi Allah.
Bahkan dengan seperti itu, pahala kita akan semakin bertamabah dan derajat kita
akan semakin tinggi.”
Jurjah : “Tetapi
kamu adalah pemimpin mereka. Kebiasaan di kita, tempat seperti ini hanya
diperuntukkan untuk para budak.”
Abu Ubaidah : “Di
kita, kedudukan pemimpin dan budak sama saja. Semuanya adalah hamba Allah.
Tidak ada yang lebih utama di antara kita kecuali dengan ketaqwaan dan
perbuatan baik.”
Jurjah :
“Bagaimana pendapatmu jika kamu duduk dengan beralaskan bantal atau permadani,
apakah hal seperti itu dilarang dan diharamkan menurut agama kamu?”
Abu Ubaidah :
“Tidak, Allah menghalalkan semua hal-hal yang baik itu bagi kita.”
Jurjah : “Lalu
apa yang mencegahmu untuk duduk dengan beralaskan permadani dan bantal?”
Abu Ubaidah :
“Saya tidak punya bantal maupun permadani.”
Jurjah : “Jadi
bagaimana kamu tidur?”
Abu Ubaidah :
“Saya tidur dengan berbantalkan pelana kudaku dan berselimutkan mantelku.”
Jurjah : “Apakah
kamu miskin?”
Abu Ubaidah :
“Hanya Allahlah yang Maha kaya. Kemarin untuk memberi nafkah isteri saya, saya
telah meminjamnya dari sahabatku ini (menunjuk kepada Mu’adz).”
Jurjah : “Apakah
dia lebih kaya dari kamu?”
Abu Ubaidah : “Di
antara kita tidak ada orang yang lebih kaya jika dibandingkan dengan yang
lainnya. Tetapi terkadang salah satu dari kita hari ini memiliki sesuatu yang
tidak dimiliki saudaranya. Kemudian, mungkin besok saudaranya memiliki apa yang
tidak ia miliki. Jadi kita satu sama lain saling pinjam meminjam.”
Jurjah : “Jadi
kalau kamu mempunyai bantal dan permadani maka kamu akan menjadikannya sebagai
alas tempat dudukmu?”
Abu Ubaidah :
“Tidak, saya tidak akan menjadikan
bantal dan permadani seperti itu. Semua kaum muslimin yang bersama saya di sini
menjadikan bumi sebagai tempat tidur mereka.”
Jurjah : “Apakah
mereka akan mengingkari dan melarangmu jika kamu melakukan hal seperti itu?”
Abu Ubaidah :
“Saya melarang diri saya sendiri sebelum mereka melarang saya.”
Jurjah : “Tetapi
kamu adalah pemimpin mereka!?”
Abu Ubaidah :
“Justru itulah yang menjadikan saya untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kasak-kusuk bahan omongan dan berpengaruh pada diri mereka.”
(Jurjah
terdiam sambil merasa heran dan kagum).
Mu’adz : “Wahai
saudaraku dari Armenia, bukankah kamu melarang pemimpin kami untuk duduk,
karena kamu tidak ingin duduk sampai akhirnya kami duduk bersama kamu?”
Abu Ubaidah :
“(Mencopot mantel dari punggungnya dan menggelarnya di atas tanah) duduklah,
wahai saudaraku, di atas mantel ini
EPISODE KEDUA
Di daerah perbukitan tinggi yang
posisinya berada di belakang perkemahan kaum muslimin, para wanita telah
berkumpul di dalam tenda mereka, berbincang-bincang sambil menunggu waktu sore
tiba. Perkemahan ini berada di dataran paling atas yang merupakan daerah tempat
penggembalaan. Sementara itu, di tempat yang lebih rendah, Hindun bin Utbah dan
anak perempuannya, Juwairiyah, terlihat sedang membawa dua ikat tali kayu bakar
di punggung mereka. Tiba-tiba, Asma` binti Abu Bakar turun dari perbukitan
tinggi itu dan menemui mereka di dataran rendah tersebut. Dan akhirnya Hindun
pun berhenti sambil beristirahat.
Hindun : “Apa kabar wahai Asma` binti Abu Bakar?”
Asma` : “Apa
kabar Hindun. Kemarikan kayu bakar itu, biar saya yang membawanya.”
Hindun : “Jangan.
Demi Allah, tidak ada yang boleh membawanya selain aku.”
Asma` : “Saya
lihat kamu menduduki ikatan itu, itu tandanya kamu sudah tidak kuat lagi.”
Hindun : “Tidak
apa-apa, saya hanya istirahat sebentar. Sebab menaiki perbukitan yang tinggi
itu sangatlah melelahkan.”
Juwairiyah :
“Demi Allah, mengapa mereka menempatkan kita di perbukitan yang tinggi seperti
ini?”
Hindun : “Celaka
kamu! Apa kamu tidak tahu kenapa? Sebab supaya kita aman dari serangan musuh!”
Asma` : “Dan
kita dapat memukul setiap anggota tentara kita yang melarikan dari dari medan
perang.”
Hindun : (Sambil
bergurau) “Saya bersumpah, jika ayahmu melarikan diri dari medan perang, maka
saya akan memukulnya dengan ujung kayu ini.”
Juwairiyah :
“Tidak wahai ibu, Abu Sufyan bukanlah orang yang suka lari dari medan perang.”
Hindun : “Lari
atau tidak, itu tidak penting bagiku.”
Asma` : “Celaka
kamu wahai Ummu Hanzhalah. Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy pada zamannya.”
Hindun : “Orang
tua itu mengira kalau ia dapat mengadopsi anak perempuan, maka ia akan kembali
muda.”
Asma` : “Jangan
percaya dia Hindun. Sebenarnya siapa yang tidak beruntung dapat menemukan orang
seperti Hindun binti Utbah?”
Hindun : “Dia
mengira kalau saya telah tua dan masa-masaku telah hilang.”
Asma` : “Dan dia
sendiri, apakah dia tidak merasa kalau dirinya sudah tua dan masa-masanya juga
sudah lewat?”
Hindun : “Katakan
pada dia wahai Asma` binti Abu Bakar, dan tanyakan kepadanya kenapa sekarang
dia berperang dengan lidahnya, tidak berperang dengan umurnya?”
Asma` :
(Tertawa) “Siapa yang mengajarimu untuk mengatakan ini, wahai Ummu Hanzhalah?”
Juwairiyah :
“Kamu jangan sewenang-wenang terhadapnya, ibu. Amirul Mukminin-lah yang
menyuruhnya untuk berperang dengan lidahnya.”
Hindun : “Dan
mencegahnya untuk berperang dengan umurnya?”
Juwairiyah :
“Dialah yang menugaskan ayah untuk menjadi pemberi semangat kepada para tentara
serta memperingatkan mereka tentang pahala yang akan diberikan Allah bagi
orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.”
Hindun : “Karena
ia hanya cocok melakukan itu saja.”
Asma` : “Jangan
marah, Juwairiyah. Sebenarnya ibumu mencintainya dan cemburu terhadap dirinya
itu.”
Hindun : “Apa,
aku menyukainya? Apa yang saya sukai dari dirinya? Dan apa yang harus saya
cemburui dari dirinya?”
Asma` :(Asma`
mengembalikan ingatan Hindun ke masa-masa silam, dan mencontohkan dengan
mengalunkan sya’ir)
“Ketika
mereka datang, kita mendekapnya.
Atau
ketika mereka berpaling (untuk pergi), itu berarti kita berpisah dengannya.
Maka
itu berarti kehilangan orang yang kita cintai.
Dengan perpisahan yang tanpa cinta.
Nah sekarang, apakah kamu ingat ini wahai Hindun?”
Hindun : (Dengan
perasaan tersinggung) “Apakah ini suatu cemoohan wahai Asma`? Jika benar, maka
hari-hari itu telah lewat. Dan kami bersyukur kepada Allah karena telah
memuliakan kami dengan datangnya Islam.”
Asma` : “Kenapa
Allah menjadikan sya’ir itu selalu saya ingat wahai Hindun? Karena saya tahu
bahwa Islam membatalkan sesuatu yang datang sebelumnya (jika hal itu merupakan
hal buruk). Dan saya menyebutkan bait-bait sya’ir ini karena ingin mengajak
kamu untuk mengagumi makna yang terkandung di dalamnya bersama saya. Yaitu
bagaimana orang-orang yang dahulu memusuhi Islam tapi sekarang malah menjadi
pembelanya untuk menegakkan kalimat Allah di dunia ini?!”
Hindun : “Kamu
benar Asma`. Ketika itu saya adalah seorang perempuan muda yang sabar, tegar
dan keras. Tetapi walaupun begitu saya takut kematian akan mendatangi diriku,
anak-anakku dan keluargaku. Tapi sekarang saya mengharapkan mati sebagai syahid
untuk diriku dan mereka semua.”
Juwairiyah : “Dan
untuk ayah juga wahai ibu?”
Hindun : (Tampak
hilang kemarahannya) “Terutama untuk ayahmu!”
(Mereka
akhirnya tertawa bersama-sama)
(Kemudian
Hindun dan Juwairiyah berdiri untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju ke
atas bukit sampai akhirnya mereka tidak kelihatan karena terhalang oleh
tenda-tenda yang berada di bukit itu. Sedangkan Asma` sendiri turun sampai
akhirnya ia keluar dari sisi sebelah kanan tempat penggembalaan hewan yang
masih merupakan kawasan perbukitan itu).
(Tampak
Abu Ubaidah sedang mendaki bukit)
Abu Ubaidah :
(Memanggil) “Wahai Ummu Ubaidah, hai Ummu Ubaidah!”
Suara : “Ya, ya
wahai Abu Ubaidah.”
(Muncullah
Hindun binti Jabir dari balik tenda)
Abu Ubaidah :
(Mendekatinya sambil berjalan mendaki) “Bagaimana keadaan para wanita muslimah
dan anak-anak mereka?”
Hindun :
“Alhamdulillah, mereka sehat semua.”
Abu Ubaidah : “Apa
mereka tidak membutuhkan sesuatu?”
Hindun :
“Semuanya tersedia.”
Abu Ubaidah : “Dan
kamu wahai binti Jabir, bagaimana kabarmu?”
Hindun : “Saya,
ya seperti yang kamu lihat, alhamdulillah sehat-sehat saja.”
Abu Ubaidah :
“Bagaimana dengan itu, Hindun?”
Hindun : “Saya
tidak ingin menjadikanmu wahai sahabat Rasulullah.”
Abu Ubaidah :
“Kamu masih saja memakai pakaian ini wahai Hindun?”
Hindun :(Berkeluh
kesah) “Wahai Abu Ubaidah, seandainya nama kuniyahku (Nama julukanku) dapat
menutupi diriku, tentu saya tidak peduli atas pakaian macam apa yang aku pakai.
Tetapi ternyata diri saya adalah satu-satunya perempuan yang memakai pakaian
EPISODE PERTAMA
Tentara kaum muslimin berkumpul di
satu dataran tinggi tandus dekat sungai Yarmuk. Mereka menjadikan daerah yang
berada di belakang mereka sebagai tempat penyimpanan logistik dan bala bantuan.
Di situ, terdapat tenda Abu Ubaidah yang sangat luas karena dijadikan pusat perkumpulan bagi tentara kaum muslimin.
Tampak
Abu Ubaidah sedang duduk, dia di kelilingi oleh beberapa komandan tentara
antara lain: “Khalid, Amr bin Al ‘Ash, Yazid bin Abu Sufyan, Syurahbil bin Hasanah dan Mu’adz bin Jabal. Di depan mereka berdiri seorang laki-laki
berasal dari daerah Tanukh yang dipaggil Abu Basyir dan seorang petani dari
daerah Ghutah, Damaskus, yang sedang menangis dan mengiba kepada Abu Ubaidah.
Petani :
“Balaskan untuk saya wahai panglima Arab, balaskan buat saya atas segala
perbuatan yang telah mereka lakukan.”
Abu Ubaidah: “Apa yang
telah mereka perbuat pada dirimu?”
Petani : “Saya
tidak dapat menceritakannya kepada kalian karena perbuatan mereka sangat kejam!
sangat biadab!”
Abu Basyir: “Apakah anda mengizinkan saya untuk
menceritakannya kepada mereka?”
Petani : “Lakukanlah.”
Abu Basyir :
“Ketika tentara Romawi kembali ke Damaskus -setelah kalian kalahkan- sebagian
mereka singgah di daerah saudara kita ini yaitu daerah Ghutah. Di daerah ini
terdapat ratusan hewan ternak kambing dan lainnya. Dan Petrik (sebutan untuk komandan pasukan Romawi yang
membawahi sekitar 10.000 pasukan) menyembelihnya setiap hari untuk dimakan.
Ketika Petrik akan melanjutkan perjalanan pulang, para saudaranya merampas
semua hewan ternak yang ada di situ. Lalu ketika saudara kita ini, yang pada
waktu kejadian masih berada di kota, akan mengambil hewan-hewan ternak itu
karena suatu kebutuhan, ternyata hewan ternak itu telah habis. Akhirnya anak
perempuannya pergi bersama pembantunya ke Petrik untuk mengadukan segala apa yang telah
terjadi. Sang anak perempuan itu berkata: ‘Segala apa yang kamu ambil buat diri
anda, maka saya ikhlas. Akan tetapi, katakan kepada saudara-saudara paduka
untuk mengembalikan seluruh hewan ternak yang telah mereka ambil dari kami.
Mendengar pengaduan itu, ternyata Petrik tidak
Tapi, semua orang juga tahu, kini
Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih
banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya
miskin, utang negara luar biasa besar. Disebut-sebut lebih dari Rp 1400 trilyun rupiah. Sebanyak
Rp. 742 triliun rupiah diantaranya berupa utang luar negeri, sisanya adalah utang
dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang
sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri.
Hal ini nampak pada pos penerimaan dalam
APBN tahun 2002 yang dari sektor pajak
mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat jualah yang harus menanggung beban
keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi,
maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Tampak, bahwa beban perbaikan ekonomi
ke depan akan semakin bertambah berat karena Indonesia harus menanggung
cicilan utang plus bunganya, ditambah dengan masih tingginya ketergantungan
pemerintah terhadap bantuan (utang) luar
negeri untuk keperluan pembangunan nasional dan berjalannya roda pemerintahan.
Dengan demikian, sesungguhnya
pola pembangunan Indonesia di masa sekarang ini tidaklah banyak
mengalami perubahan dibanding dengan masa Orde Baru (yang telah direformasi
itu). Yaitu tetap mengandalkan sumber
pembiayaan pembangunan dari utang luar negeri dan menggenjot pajak.
Belakangan, utang luar negeri yang bukan
berkurang melainkan justru makin bertambah terus itu menurut Lubis et al., (1998)
memunculkan persoalan baru seperti
kerusakan hutan dan polusi alam akibat eksploitasi
sumber daya alam yang makin tak terkendali demi mendapatkan devisa dan pesanan negara donor di luar
negeri untuk mencicil utang luar negeri plus bunganya yang terus membengkak.
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan
berkah yang semestinya. Dari sini sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya
seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di
atas pendaringan beras’. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak
kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah ataukah keduanya?
Pengelolaan SDA di Indonesia
Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski
dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam
dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari
sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang
sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai
contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang
ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 –
8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah
itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar
83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Pengelolaan hutan dengan sistem
HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melainkan
ditiru dari Belanda. Sistem
pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat
merugikan rakyat itu beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, diterapkan rezim Orde Baru. Saat itu
pemerintah memang benar-benar sedang
butuh duit untuk biaya pembangunan
sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektar itu
diperkenankan untuk diambil kayunya.
Dalam konsep HPH, pemegang
HPH mengeksploitasi hutan selama 35
tahun melalui rencana karya tahunan (RKT). Penebangan kayu sesuai RKT itu
dilakukan terhadap blok-blok hutan secara berkeliling, sesudah itu diidealkan
akan ditanam kembali sehingga pada tahun ke-36 atau sesudah habis masa konsesi,
hutan pada RKT pertama bisa ditebang kembali. Dengan konsep itu pengelola HPH
harus benar-benar orang yang mengerti kehutanan, sebab hutan memiliki tiga
fungsi sekaligus, yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam praktiknya, konsesi
HPH dengan luas rata-rata 100.000 hektar itu diberikan kepada pengusaha
"kelas dengkul", yayasan-yayasan termasuk yayasan milik tentara dan
institusi lain yang sama sekali tidak memiliki modal, keahlian dan pengetahuan
tentang kehutanan. Mereka akhirnya mencari mitra dari luar negeri (sebagian
besar dari Malaysia) dan mereka hanya menerima fee dari para kontraktor
asing itu.
Dan pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi
hutan secara membabi buta. Bila untuk
mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat
terkait, sebagai pengusaha, mereka
berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu
secepat mungkin dengan segala cara. Maka terjadilah eksploitasi hutan secara
semena-mena. Perjalanan sejarah hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ini
benar-benar buram, sebab sejak itulah pengusahaan hutan di Indonesia tidak lagi
mengindahkan aspek kelestarian.
PT
Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi
hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50
juta hektar. Kerusakan itu makin
menggila karena sering pula pengusaha hutan
melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat
keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee
dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadinya penjualan/penggadaian
hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial
hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui tebang habis
Indonesia (THI). Ketentuan Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang
dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektar dibabat habis. Akhirnya, rakyat
yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini setelah puluhan juta hutan
dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat hutang negara
yang berjibun jumlahnya.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Secara geologis, Indonesia merupakan
wilayah pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteranean dengan Sirkum
Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan
vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.
Dengan besarnya potensi
tambang ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah
menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai
dengan Kontrak Karya generasi I (KK I)
untuk konsesi selama 30 tahun. Selama
itu, PTFI boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi
dalam negeri) dan pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apapun.
Setelah kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil,
Kemajuan suatu bangsa sangat
ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkwalitas tinggi dalam penguasaaan
Iptek sekaligus dibekali dengan Iman dan Taqwa (Imtaq) yang kuat. Untuk itulah
diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah beserta komponen-komponen
pendidikannya untuk momposisikan pendidikan sebagai investasi jangka panjang
dalam menciptakan generasi-generasi yang tangguh. Usaha-usaha periodik dalam
peningkatan mutu pendidikan dan keprofesionalannya merupakan langkah tepat
dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Salah satu bentuk usaha
tersebut dengan tersedianya institusi pendidikan kompetitif dalam melahirkan
sumber daya yang memiliki penguasaan Iptek dan Imtaq yang berkualitas.
Institusi pendidikan bukanlah
semata-mata sebagai pelengkap untuk memenuhi kebutuhan industri yang berdampak
menghasilkan manusia-manusia yang kapitalistik. Dan institusi pendidikan bukan
pula hanya berorientasi pada perhitungan akumulasi modal, sehingga menurunkan
pelayanan akademiknya. Institusi ini harus dikembalikan pada fungsinya, yaitu
sebagai wadah pencetak generasi unggul dalam penguasaan Iptek dan memiliki
kepribadian yang utuh.
Diakui
atau tidak, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini memang adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Dalam sistem ini tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental
pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan,
penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar
mengajar hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden
curiculum,
yang sebenarnya berperanan sangat
penting dalam penanaman nilai-nilai.
Sistem
pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang
sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan
teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi
pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan
tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan
agama melalui madrasah, institut agama
dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama, sementara pendidikan umum melalui
sekolah dasar, sekolah menengah dan
kejuruan serta perguruan tinggi
umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang
sebagai tidak berhubungan dengan agama. Sementara, pembentukan karakter siswa
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan di sini justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang
perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek. Di sisi
lain, pengajaran agama dan persoalan keagamaan digarap oleh Depag, seolah pendidikan
Islami identik dengan pengajaran agama Islam saja. Adanya pesantren yang dalam banyak aspek acap dipuji sebagai
sebuah bentuk pendidikan Islam alternatif, dalam perspektif ini, sesungguhnya
makin mengukuhkan dikotomi pendidikan itu.
Pendidikan yang sekuler-materialistik
ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sainsteknologi melalui
“pendidikan umum” yang diikutinya, tapi pendidikan semacam itu terbukti gagal
membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan tsaqofah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap
saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya? Sementara mereka yang belajar di
lingkungan “pendidikan agama”, memang menguasai tsaqofah Islam dan secara
relatif sisi kepribadiannya tergarap baik, tapi di sisi lain, ia buta terhadap
perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan dan
jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di
sektor modern.
Pendidikan
sekuler-materialistik juga memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang
serba terukur secara material, kekinian dan serba profan serta memungkiri
hal-hal yang bersifat transedental dan imanen.
Disadari atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat
mengembalikan investasi yang telah
ditanam. Pengembalian itu dapat berupa
gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan
atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama
ditempatkan pada posisi yang sangat
individual. Nilai transendental dirasa
tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan
perbuatan. Tempatnya telah digantikan
oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.
Pendidikan yang materialistik adalah buah
dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia
menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni
seorang Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama,
paradigma pendidikan yang keliru dimana
dalam sistem kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan
pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari