Posted by : Unknown
Jumat, 01 Februari 2013
DEFINISI
AKAL

Urgensi Definisi Akal, Proses Berpikir, dan Metode Berpikir
Manusia adalah
mahluk yang paling utama, sampai-sampai dikatakan —dan ungkapan ini benar—
bahwa manusia lebih utama daripada
malaikat. Keutamaan manusia
ini tiada lain terletak pada akalnya. Akal inilah yang telah mengangkat
kedudukan manusia dan sekaligus menjadikannya makhluk yang paling utama. Oleh
karena itu, sudah seharusnya kita memiliki pengetahuan tentang akal (‘aql),
proses berpikir (tafkîr), dan sekaligus metode berpikir (tharîqah
at-tafkîr). Ini karena, proses berpikirlah yang menjadikan akal manusia
memiliki nilai dan sekaligus menghasilkan berbagai buah (produk akal) yang
masak, yang mampu membuat kehidupan dan manusia menjadi baik. Bahkan mampu
menciptakan kebaikan bagi seluruh alam semesta beserta segala sesuatu yang ada
di dalamnya, termasuk benda-benda mati, tumbuhan, dan hewan.
Berbagai macam
ilmu, seni, sastra, filsafat, fikih (hukum), ilmu bahasa, dan pengetahuan
–dipandang sebagai pengetahuan itu sendiri-- tiada lain adalah produk akal,
yang konsekuensinya juga merupakan produk proses berpikir. Oleh karena itu,
demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus diketahui fakta
tentang akal itu sendiri. Disamping itu harus pula diketahui fakta mengenai proses
berpikir dan metode berpikir.
Umat
manusia dalam kurun waktu yang sangat panjang ternyata lebih menaruh perhatian
pada buah akal dan buah proses berpikir daripada memberikan perhatian pada
fakta mengenai akal dan fakta tentang proses berpikir itu sendiri. Memang
benar, pernah ada orang-orang yang berusaha untuk memahami fakta akal, baik
intelektual kaum Muslim maupun non-Muslim pada masa lalu ataupun masa sekarang.
Akan tetapi, semuanya gagal dalam memahami fakta mengenai akal tersebut. Ada juga orang yang
berusaha menyusun metode berpikir dan memang berhasil dalam beberapa aspek dari
buah metode berpikir tersebut dengan adanya sejumlah prestasi ilmiah. Akan tetapi, mereka telah tersesat
dalam memahami fakta tentang proses berpikirnya. Mereka juga telah menyesatkan
para pengikutnya yang merasa kagum terhadap keberhasilan ilmiah tersebut.
Sebelumnya,
sejak masa Yunani dan setelahnya, umat manusia telah terdorong untuk mengetahui
fakta mengenai proses berpikir. Hasilnya, mereka sampai pada apa yang disebut
dengan logika (‘ilmu mantiq) dan berhasil meraih sebagian pemikiran.
Akan tetapi, mereka telah merusak hakikat pengetahuan (ma’rifah) itu
sendiri. Jadi, ilmu logika malah menjadi sesuatu yang destruktif bagi
pengetahuan, bukan menjadi —seperti yang diharapkan dari logika— alat untuk
mencapai ilmu pengetahuan atau menjadi standar kebenarannya.
Mereka
yang terdorong memahami proses berpikir juga telah sampai pada apa yang disebut
dengan filsafat (falsafah), yakni cinta kebijaksanaan, dan studi secara
mendalam tentang apa yang ada di balik eksistensi atau di balik materi (gaib,
supernatural). Mereka memang berhasil menciptakan pengetahuan dan
kesimpulan yang menghasilkan kepuasan intelektual. Akan tetapi, pengetahuan
tersebut jauh dari fakta dan kebenaran (al-haqiqah). Akibatnya, mereka
menjauhkan manusia dari kebenaran dan fakta hingga menyesatkan banyak manusia
serta menyimpangkan proses berpikir dari jalannya yang lurus.
Seluruh
upaya tersebut dan yang semisalnya, jika kami boleh mengatakan, adalah memang
kajian tentang proses berpikir dan metode berpikir. Akan tetapi --meskipun
telah menghasilkan berbagai pengetahuan, menciptakan bidang pengkajian, dan
menghasilkan sejumlah manfaat bagi manusia— upaya-upaya itu sebenarnya tidak
difokuskan pada fakta mengenai proses berpikir dan tidak berlangsung di atas
jalan yang benar. Oleh karena itu, upaya tersebut tidak dapat dianggap kajian
mengenai fakta proses berpikir, namun hanya kajian tentang produk dan buah
proses berpikir. Upaya tersebut juga bukan kajian tentang metode berpikir yang
lurus, melainkan hanya sekedar kajian tentang salah satu teknik (uslûb)
berpikir dalam metode berpikir, yang diperoleh secara kebetulan akibat
pengkajian berbagai produk pemikiran dan buah akal, dan tidak diperoleh melalui
jalan penelaahan terhadap fakta proses berpikir itu sendiri. Maka, dapat
dikatakan bahwa kajian tentang metode berpikir yang lurus selama ini hanya
berputar-putar pada hasil proses berpikir, tidak difokuskan pada fakta proses
berpikir itu sendiri.
Penyebab kegagalan yang ada hingga saat ini dalam
memahami fakta mengenai proses berpikir dan juga fakta metode berpikir
dikarenakan para pengkaji telah lebih dulu mengkaji proses berpikir sebelum
mengkaji akal itu sendiri. Padahal, fakta tentang proses berpikir itu tidak
akan dapat dipahami kecuali setelah diketahui terlebih dulu fakta mengenai akal
secara meyakinkan dan pasti (jazim). Ini karena proses berpikir (tafkir)
adalah buah dari akal, sementara berbagai ilmu pengetahuan, seni dan seluruh aspek ilmu budaya (tsaqafah)
merupakan buah dari proses berpikir. Wajar saja jika pertama kali yang harus
diketahui adalah fakta tentang akal secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu,
bisa diketahui fakta mengenai proses berpikir, dan selanjutnya metode berpikir
yang lurus. Selanjutnya, setelah itu dan atas dasar petunjuknya, suatu
pengetahuan (ma’rifah) akan bisa dinilai, apakah termasuk sains (‘ilm)
ataukah bukan. Dengan kata lain, akan dapat ditentukan bahwa kimia adalah
sains, sementara psikologi dan sosiologi bukanlah sains. Akan dapat ditentukan
pula apakah suatu pengetahuan termasuk kebudayaan (tsaqâfah) atau bukan.
Artinya, akan dapat ditentukan bahwa perundang-undangan adalah termasuk tsaqâfah
dan tashwîr (seni menggambar) bukanlah termasuk tsaqâfah.
Walhasil, pokok masalahnya secara keseluruhan bermuara pada pengetahuan tentang
fakta akal itu sendiri secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu dan atas
petunjuk pengetahuan tersebut, barulah bisa dibahas fakta mengenai proses
berpikir dan metode berpikir. Berdasarkan petunjuk metode berpikir
tersebut baru akan bisa dihasilkan
secara benar berbagai teknik (uslûb) berpikir.
Itulah yang menjadi pokok permasalahannya.
Pengetahuan tentang sains (‘ilm) dan kebudayaan (tsaqâfah)
haruslah merupakan buah dari pengetahuan tentang fakta proses berpikir, metode
berpikir, beserta berbagai teknik berpikirnya. Fakta proses berpikir itu
sendiri haruslah merupakan buah dari pengetahuan tentang fakta mengenai akal.
Atas dasar itu, harus diketahui fakta akal secara meyakinkan dan pasti, baru kemudian
fakta tentang proses berpikir.
Definisi Akal Menurut
Pemikir Komunis
Orang-orang yang mendefinisikan akal atau berusaha mengetahui fakta akal, baik pada masa lalu seperti para filosof Yunani, para pemikir Muslim, dan ilmuwan Barat, maupun pada masa sekarang ini, cukup banyak. Akan tetapi, berbagai definisi, atau dengan kata lain, usaha-usaha tersebut, tidak ada yang layak untuk diperhatikan dan sampai pada tingkat patut dipertimbangkan, kecuali upaya yang telah dilakukan para pemikir komunis. Definisi mereka merupakan satu-satunya definisi yang layak diperhatikan dan dipertimbangkan, sebab upaya mereka adalah upaya yang serius. Tidak ada yang merusak definisi ini, kecuali sikap mereka yang salah untuk terus mengingkari eksistensi Pencipta (al-Khaliq) alam ini. Andaikata tidak ada pengingkaran terhadap eksistensi sang Pencipta ini, niscaya mereka akan mencapai fakta mengenai akal secara meyakinkan. Dengan kata lain, akan sampai pada pengetahuan yang meyakinkan dan pasti tentang fakta akal.
Orang-orang yang mendefinisikan akal atau berusaha mengetahui fakta akal, baik pada masa lalu seperti para filosof Yunani, para pemikir Muslim, dan ilmuwan Barat, maupun pada masa sekarang ini, cukup banyak. Akan tetapi, berbagai definisi, atau dengan kata lain, usaha-usaha tersebut, tidak ada yang layak untuk diperhatikan dan sampai pada tingkat patut dipertimbangkan, kecuali upaya yang telah dilakukan para pemikir komunis. Definisi mereka merupakan satu-satunya definisi yang layak diperhatikan dan dipertimbangkan, sebab upaya mereka adalah upaya yang serius. Tidak ada yang merusak definisi ini, kecuali sikap mereka yang salah untuk terus mengingkari eksistensi Pencipta (al-Khaliq) alam ini. Andaikata tidak ada pengingkaran terhadap eksistensi sang Pencipta ini, niscaya mereka akan mencapai fakta mengenai akal secara meyakinkan. Dengan kata lain, akan sampai pada pengetahuan yang meyakinkan dan pasti tentang fakta akal.
Pendapat
ini menunjukkan adanya kajian yang benar, usaha yang serius, dan mendekati
kebenaran. Seandainya mereka tidak terus mengingkari eksistensi Pencipta alam
dan tidak terus menyatakan bahwa alam ini bersifat azali (abadi, tidak berawal dan tidak berakhir), niscaya kesalahan
dalam memahami fakta akal tidak akan terjadi. Hal ini karena memang benar,
bahwa pemikiran tidak akan terbentuk tanpa adanya fakta. Setiap pengetahuan
yang tidak ada faktanya hanyalah khayalan dan imajinasi semata. Artinya, fakta
adalah asas pemikiran, sedangkan pemikiran itu sendiri hanya merupakan
pengungkapan fakta atau penilaian terhadap fakta. Dengan demikian, fakta adalah
asas pemikiran dan asas proses berpikir. Tanpa adanya fakta, tidak akan mungkin
ada pemikiran dan proses berpikir.
Kemudian,
penilaian terhadap fakta, bahkan setiap hal yang ada pada diri manusia ataupun
yang dihasilkan oleh manusia, sesungguhnya terkait erat dengan otak. Otak
merupakan pusat utama dan mendasar yang ada pada diri manusia. Karenanya,
sebuah pemikiran tidak akan pernah terwujud kecuali setelah adanya otak. Otak
itu sendiri adalah fakta. Dengan demikian, keberadaan otak merupakan syarat
mendasar bagi terwujudnya pemikiran, sebagaimana keberadaan fakta yang juga
menjadi syarat mendasar bagi terwujudnya pemikiran. Walhasil, untuk mewujudkan
adanya akal, yaitu proses berpikir, atau adanya pemikiran, haruslah ada fakta dan
otak.
Sayangnya,
ketika mereka berusaha mengaitkan fakta dengan otak untuk menghasilkan
pemikiran atau untuk mewujudkan proses berpikir, mereka tergelincir dalam
kekeliruan. Mereka menyimpulkan bahwa keterkaitan keduanya adalah proses
refleksi fakta tersebut terhadap otak. Jadinya mereka keliru di dalam memahami
fakta akal sehingga mereka juga keliru di dalam mendefinisikan akal.
Penyebab kekeliruan mereka adalah karena terus
mengingkari eksistensi Pencipta yang telah menciptakan alam semesta ini dari
ketiadaan. Jika saja mereka menyatakan bahwa pengetahuan mendahului pemikiran,
mereka pasti akan mendapatkan kebenaran yang nyata. Dalam hal ini,
pertanyaannya adalah, dari mana datangnya pemikiran (ma’rifah) yang muncul sebelum adanya fakta? Jawabannya,
pasti datang dari selain fakta. Pertanyaan selanjutnya, dari mana asalnya
pemikiran pada manusia pertama? Jawabannya, pemikiran itu mesti datang dari
selain manusia pertama itu dan dari selain fakta. Artinya, manusia pertama dan seluruh fakta yang ada
telah diwujudkan oleh Yang memberikan pengetahuan kepada manusia pertama itu.
Ini berbeda dengan pengetahuan kaum komunis yang mereka anggap pasti bahwa alam
dan fakta itu azali (eternal). Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa
refleksi fakta terhadap otak adalah akal, dan bahwa proses refleksilah yang
membentuk pemikiran dan sekaligus proses berpikir.
Untuk menghindari keharusan adanya pengetahuan,
kalangan komunis berusaha membuat
bermacam-macam fantasi dan asumsi. Mereka menyatakan bahwa manusia pertama
telah melakukan percobaan (eksperimen) atas berbagai fakta hingga menghasilkan
pengetahuan. Percobaan-percobaan ini menjadi sejumlah pengetahuan yang akan
membantu dirinya untuk mengadakan percobaan lain atas sejumlah fakta yang lain.
Demikian seterusnya. Mereka tetap berpendapat bahwa fakta dan juga refleksi
otak terhadap fakta, adalah akal atau pemikiran, yang akan mewujudkan adanya proses berpikir.
Mereka tidak bisa melihat perbedaan antara penginderaan (ihsas, sensation)
dan refleksi (in’ikas, reflection). Mereka juga tidak bisa melihat bahwa
aktivitas berpikir (‘amaliyah at-tafkir) tidak dihasilkan melalui proses
refleksi fakta terhadap otak dan tidak juga dari terbentuknya kesan fakta pada
otak, melainkan dihasilkan melalui proses penginderaan/pencerapan. Pusat
penginderaan tersebut adalah otak. Andaikata tidak ada penginderaan fakta,
tidak akan ada pemikiran apa pun, dan juga tidak akan ada proses berpikir apa
pun. Dengan demikian, kegagalan mereka membedakan penginderaan dengan refleksi
telah semakin menambah kesalahan mereka dan memalingkan proses berpikir dari
jalan yang telah mereka tempuh sebelumnya. Akhirnya, terbentuklah definisi
mereka tentang fakta akal dan jatuhlah mereka dalam kekeliruan
pendefinisiannya.
Namun demikian, yang menjadi asas kesalahan mereka
bukan tidak adanya pembedaan antara penginderaan dan refleksi. Jika hanya
karena faktor tersebut, mereka pasti akan menemukan kesimpulan bahwa masalahnya
adalah penginderaan, bukan refleksi. Faktor mendasar dan asasi kesalahan dan
penyimpangan mereka adalah pengingkaran mereka terhadap eksistensi Pencipta
yang telah menciptakan alam semesta ini. Akibatnya, mereka tidak memahami bahwa
keberadaan informasi terdahulu (ma‘lûmât sâbiqah, previous information)
tentang fakta merupakan syarat yang mesti ada bagi adanya sebuah pemikiran atau
proses berpikir. Informasi terdahulu merupakan syarat yang pasti untuk
membentuk akal, atau agar pemikiran dan
proses berpikir itu ada. Seandainya
tidak demikian, niscaya keledai pun mempunyai akal, karena keledai memiliki
otak dan merefleksikan fakta terhadap otak, atau mengindera fakta. Padahal,
akal merupakan karakteristik khusus yang
hanya dimiliki manusia, hingga ada ungkapan lama bahwa manusia adalah hewan
[makhluk] yang berpikir (al-insan hayawan natiq). Artinya, manusia
adalah hewan yang dapat berpikir (hayawan mufakkir), sebab proses
berpikir atau akal hanya khusus dimiliki manusia, sedangkan hewan atau yang
lainnya tidak memiliki akal atau proses berpikir.
Definisi Akal Yang Sahih

Bagaimana pun juga duduk
persoalannya, para pemikir komunis boleh dikatakan satu-satunya pihak yang
berusaha secara serius untuk memahami makna akal. Mereka telah menempuh jalan
yang lurus untuk mengetahui fakta akal. Meskipun mereka keliru dalam
mendefinisikan akal dan menyimpang dari jalan yang mereka tempuh untuk mencapai
pengetahuan tersebut secara meyakinkan dan pasti, tetapi mereka telah membuka
jalan bagi generasi sesudahnya yang menempuh jalan untuk mencapai pengetahuan
tentang fakta akal secara meyakinkan dan pasti.
Memang
benar, kaum Muslim mempunyai dalil yang menunjukkan bahwa informasi terdahulu
tentang sesuatu merupakan perkara yang harus ada agar sesuatu tersebut dapat
dipahami. Meskipun ini memang benar, tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah
bahwa definisi akal merupakan deskripsi mengenai suatu fakta, dan yang
dikehendaki dari definisi akal adalah agar seluruh manusia terikat dengan
definisi tersebut. Maka dari itu, definisi akal harus dibangun atas dasar
realitas yang ada (musyahad) yang dapat diindera (mahsus), karena
yang dikehendaki adalah agar seluruh manusia —bukan kaum Muslim saja— terikat
dengan definisi tersebut.
Di
dalam al-Quran, Allah Swt berfirman:
Allah telah mengajarkan [memberi
informasi] kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian Allah
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku
nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka
menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Mahabijaksana.”
Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda-benda
itu!” Maka setelah Adam memberitahukan kepada mereka nama-nama benda-benda itu,
Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa saja yang kamu tampakkan dan apa
yang kamu sembunyikan?” (TQS.
al-Baqarah [2]: 31-33)
Ayat ini menunjukkan bahwa informasi
terdahulu mesti ada untuk sampai pada pengetahuan apa pun. Nabi Adam as telah
diberi informasi oleh Allah Swt tentang nama benda-benda, atau apa yang
ditunjukkan oleh nama-nama tersebut. Oleh karena itu, ketika benda-benda
tersebut disodorkan ke hadapan Nabi Adam, dia langsung mengetahuinya. Manusia
pertama, yaitu Adam, sesungguhnya telah diberi sejumlah informasi oleh Allah
hingga ia bisa mengetahui nama-nama benda-benda. Seandainya saja berbagai
informasi tersebut tidak ada, Adam tentu tidak akan mengetahuinya.
Mengingat
sumber penyimpangan dari jalan yang ditempuh oleh para pemikir komunis --dalam
memahami fakta akal-- terletak pada keharusan adanya informasi terdahulu ini,
maka ayat tersebut sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan kekeliruan mereka
dalam mendefinisikan akal dan segi penyimpangan mereka. Ini juga cukup untuk menunjukkan
bahwa proses berpikir tidak akan bisa terwujud kecuali dengan adanya informasi
terdahulu tentang fakta yang disodorkan ke dalam otak. Hanya saja, karena yang
dikehendaki adalah agar seluruh manusia —bukan hanya kaum Muslim saja— terikat
dengan definisi akal, maka harus diketengahkan realitas yang ada (musyahad)
yang dapat diindera (mahsus), yakni bahwa informasi terdahulu tentang
fakta adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan pemikiran, atau agar akal
bisa terbentuk atau terwujud. Ini disebabkan keberadaan akal sangat bergantung
pada adanya informasi terdahulu pada otak, meskipun fakta merupakan syarat
penting bagi terwujudnya akitivitas akal, pemikiran, atau proses berpikir.
Dengan
demikian, tidaklah cukup untuk menyadari bahwa segi penyimpangan kaum komunis
–dari jalan lurus yang mereka tempuh tetapi kemudian mereka menyimpang— adalah
bahwa yang terjadi itu penginderaan/pencerapan otak terhadap fakta, bukanlah
refleksi. Ini tidak cukup, karena mengetahui segi penyimpangan ini adalah mudah,
dan bukan merupakan dasar penyimpangan mereka. Dasar penyimpangan mereka
justru masalah keharusan adanya informasi terdahulu (ma‘lumât sâbiqah)
tentang fakta. Dengan adanya informasi terdahulu, aktivitas berpikir atau
eksistensi akal dapat diwujudkan.
Sebagaimana
telah disadari, bahwa yang terjadi adalah pencerapan otak terhadap fakta, bukan
refleksi fakta terhadap otak. Sebelumnya, dari pemahaman terhadap ayat al-Quran
al-Karîm di atas, dan juga dari pemaparan realitas yang dapat ditangkap indera,
telah dihasilkan sebuah kesadaran bahwa informasi terdahulu tentang fakta atau
tentang apa saja yang berkaitan dengan fakta, merupakan perkara yang harus ada
dalam mewujudkan akal atau kesadaran (idrâk). Tanpa adanya informasi
terdahulu, mustahil akal atau kesadaran dapat diwujudkan. Dengan begitu, akan
bisa diketahui makna akal, lalu definisi akal secara sahih dalam bentuk yang
meyakinkan dan pasti.
Bahwa
yang terjadi dalam proses berpikir atau aktivitas akal (‘amaliyah aqliyah)
adalah penginderaan/pencerapan (ihsas),
bukan refleksi (in’ikas), dapat dijelaskan bahwa sebenarnya tidak
ada proses refleksi antara materi (fakta yang terindera, tangible thing)
dan otak. Jadi otak tidak direfleksikan pada materi atau sebaliknya materi juga
tidak direfleksikan pada otak. Sebab, refleksi (proses pemantulan) membutuhkan
adanya reflektivitas (kemampuan memantulkan) yang bisa merefleksikan sesuatu,
seperti halnya cermin dan cahaya. Jadi cermin dan cahaya membutuhkan kapasitas
refleksi untuk memantulkan materi. Hal ini tidak ada pada otak ataupun materi.
Karena itu, tidak ada sama sekali proses refleksi antara materi dan otak,
karena materi tidak direfleksikan ke dalam otak atau tidak dipindahkan ke dalam
otak. Yang berpindah adalah penginderaan (atau pencerapan) materi ke dalam otak
melalui panca indera. Artinya, panca inderalah --yang mana saja-- yang mencerap
materi. Lalu penginderaan tersebut berpindah ke dalam otak sehingga otak mampu
mengeluarkan penilaian (hukm, judgement) atas materi.
Pemindahan
pengindaraan materi ke dalam otak bukanlah proses refleksi materi terhadap otak
atau sebaliknya refleksi otak terhadap materi. Yang terjadi hanyalah
penginderaan materi oleh panca indera. Tidak ada perbedaan antara mata dan
indera lainnya. Maka proses penginderaan materi dapat terjadi melalui perabaan,
penciuman, pengecapan, pendengaran, atau penglihatan. Dengan demikian, yang
terjadi pada berbagai objek-objek bukanlah refleksi terhadap otak, melainkan
penginderaan terhadap objek-objek tersebut. Artinya, manusia mengindera benda-benda
melalui panca inderanya, dan bukan benda-benda tersebut yang direfleksikan ke dalam otak manusia.
Kenyataan
di atas sangat jelas, sejelas cahaya matahari yang menimpa objek-objek
material, yakni bahwa pencerapan atau penginderaanlah yang sebenarnya terjadi.
Sementara
itu, dalam kaitannya dengan objek-objek non-material seperti objek-objek yang
bersifat maknawi atau spiritual (ruhani), maka sebenarnya terjadi juga
penginderaan (pencerapan) terhadap objek-objek tersebut hingga dihasilkan
aktivitas berpikir terhadapnya. Berkenaan dengan suatu masyarakat yang mundur,
harus terjadi penginderaan hingga dapat diputuskan bahwa suatu masyarakat
mengalami kemunduran. Realitas kemunduran masyarakat jelas bersifat material.
Berkenaan dengan hal-hal yang menodai kehormatan, harus ada penginderaan
mengenai penodaan yang terjadi, atau penginderaan bahwa suatu benda atau
tindakan telah menodai kehormatan. Dengan begitu, bisa diputuskan bahwa telah
terjadi penodaan atau ada sesuatu yang tajam yang telah melukai atau menodai
kehormatan. Ini adalah perkara yang bersifat maknawi. Demikian pula mengenai
hal-hal yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah, harus ada penginderaan terhadap
[sebab] kemurkaan Allah yang terjadi, atau penginderaan terhadap tindakan atau
sesuatu yang bisa menimbulkan kemurkaan Rabbul Izzati (Allah), yakni
yang dapat menyulut api kebencian dan bara kemarahan bagi Adz-Dzat
Al-‘Illiyah (Allah). Ini adalah masalah yang bersifat spiritual (ruhani).
Tanpa
ada proses penginderaan dalam semua hal di atas, jelas tidak akan terwujud
akivitas akal (’amaliyah aqliyah). Proses penginderaan merupakan hal
yang mesti ada agar terjadi aktivitas akal, baik untuk objek-objek material
maupun objek-objek non-material. Hanya saja, proses pencerapan terhadap
objek-objek yang bersifat material akan terjadi secara alamiah, meskipun akan
dapat berlangsung secara kuat atau lemah sesuai pemahaman seseorang terhadap
karakter objek yang dicerapnya. Oleh karena itu, para pemikir menyatakan bahwa
pencerapan yang muncul dari kesadaran atau pemikiran (al-ihsâs
al-fikrî) adalah jenis pencerapan yang paling kuat. Sebaliknya, proses
percerapan terhadap objek-objek non-material sesungguhnya tidak akan terjadi,
kecuali dengan adanya pemahaman terhadapnya atau dengan jalan taklid.
Bagaimanapun
keadaannya, fakta bahwa yang terjadi adalah proses pencerapan, bukan refleksi,
sesungguhnya merupakan hal yang nyaris merupakan aksioma (sesuatu yang tidak
perlu dibuktikan lagi). Meskipun demikian, proses pencerapan terhadap
objek-objek yang bersifat material akan tampak lebih jelas daripada objek-objek
yang bersifat maknawi. Masalah tersebut sebetulnya tidaklah mendasar karena
bisa ditangkap oleh indera setiap orang dan tidak ada perbedaan pemahaman di
antara mereka. Yang berbeda adalah pengungkapannya, yang kadang-kadang berbeda
dengan fakta yang sebenarnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemikir
komunis dengan istilah refleksi, dan kadang-kadang sesuai dengan fakta yang
sesungguhnya, sebagaimana yang telah kami ungkapkan dengan istilah pencerapan
atau penginderaan. Yang menjadi sumber penyimpangan justru masalah
informasi terdahulu (ma‘lûmât sâbiqah) tentang fakta. Inilah yang
menjadikan penyimpangan kaum komunis semakin fatal. Ini pula yang menjadi poin
utama dalam pokok bahasan tentang akal, atau merupakan hal dasar dalam
aktivitas berpikir.
Kesimpulan
dari pokok bahasan tentang informasi terdahulu (ma‘lûmât sâbiqah),
adalah bahwa pencerapan saja tidak akan mewujudkan pemikiran (fikr).
Yang terjadi hanyalah pencerapan saja, atau penginderaan terhadap fakta.
Penginderaan yang diulang-ulang sampai jutaan kali sekalipun, meski dilakukan
melalui berbagai jenis penginderaan, tetap akan merupakan penginderaan saja,
dan sama sekali tidak akan menghasilkan pemikiran. Agar terwujud pemikiran,
proses penginderaan harus disertai dengan adanya informasi terdahulu pada diri
manusia, yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta yang diindera. Dengan
demikian, baru akan terwujud pemikiran. Sebagai contoh, kita bisa menghadirkan
seseorang yang ada sekarang, siapa pun orangnya. Kita lantas memberikan
kepadanya sebuah buku berbahasa Assiriya, sementara ia tidak mempunyai
informasi apa pun yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Kita kemudian
membiarkannya mengindera buku tersebut, dengan cara melihat ataupun meraba.
Kita memberinya pula kesempatan untuk mengindera buku tersebut sampai sejuta
kali. Maka, ia pasti tetap tidak akan memahami satu kata pun dari buku
tersebut. Baru setelah kita memberikan informasi kepadanya tentang bahasa
tersebut atau hal-hal yang yang berkaitan dengan bahasa tersebut, ia akan mampu
memikirkan dan memahaminya.
Tidak
benar jika dikatakan bahwa realitas tersebut hanya berkaitan dengan bahasa yang
merupakan buatan manusia, sehingga membutuhkan informasi tentang bahasa
tersebut. Ini karena yang menjadi pokok bahasan adalah aktivitas berpikir,
sedang aktivitas berpikir adalah aktivitas akal, apakah berupa aktivitas
menilai sesuatu, memahami makna (kata), atau memahami kebenaran (haqiqah,
truth). Artinya, aktivitas berpikir adalah sama untuk segala hal. Berpikir
tentang suatu masalah sama saja dengan berpikir tentang suatu opini. Memahami
makna suatu kata sama dengan memahami makna suatu fakta. Masing-masing membutuhkan aktivitas berpikir, karena pada
kenyataannya aktivitas tersebut sama dalam semua objek dan semua fakta.
Agar tidak menimbulkan perdebatan mengenai bahasa
dan fakta, marilah kita mengambil contoh sebuah fakta secara langsung. Kita
mengambil seorang anak kecil yang sudah mempunyai kemampuan mengindera tetapi
tidak memiliki informasi. Kita letakkan di hadapannya sepotong emas, tembaga,
dan batu. Lalu kita membiarkannya mengindera dan mencerap benda-benda tersebut.
Maka dia tidak mungkin bisa memahaminya, meskipun penginderaannya dilakukan
berulang-ulang dengan berbagai macam panca inderanya. Akan tetapi, jika ia
diberi informasi terdahulu tentang ketiga benda tersebut, kemudian dia
menginderanya, maka dia akan menggunakan informasi itu hinggga dia mampu
memahami hakikat tiga benda tersebut. Andaikata anak tersebut telah dewasa hingga berusia 20 tahun,
sementara dia tidak mempunyai informasi tentang apa pun, maka keadaannya akan
tetap seperti semula, yaitu hanya bisa mengindera benda-benda tanpa bisa
memahaminya, meskipun otaknya telah mengalami perkembangan. Ini disebabkan,
yang menjadikan dirinya bisa memahami sesuatu bukanlah otak, melainkan
informasi-informasi terdahulu disertai dengan fakta-fakta yang diinderanya.
Mari kita ambil contoh lain, seorang anak yang
berusia empat tahun, yang sebelumnya tidak pernah melihat atau mendengar
tentang singa, juga tidak pernah melihat timbangan dan mendengar tentangnya.
Dia juga tidak pernah melihat atau mendengar tentang anjing dan gajah. Jika
kita menyodorkan keempat benda tersebut atau gambarnya kepadanya lalu
memintanya untuk mengenali masing-masing benda tersebut, atau mengenali namanya
—benda apakah itu— maka dia tidak akan mengetahui apa pun. Pada diri anak
tersebut tidak mungkin terbentuk aktivitas berpikir apa pun tentang keempat
benda tersebut. Jika kita menyuruhnya menghafal nama-nama benda tersebut,
sementara dia jauh dari benda-benda itu dan kita tidak menghubungkannya dengan
nama-namanya, lalu kita hadirkan keempat benda itu ke hadapannya dan kita
berkata, “Inilah nama-namanya. Nama-nama yang telah engkau hafal adalah
nama-nama benda ini,” maka anak tersebut pasti tidak akan mengetahui nama
masing-masing dari keempat benda tersebut. Akan tetapi, jika kita menyebutkan nama-nama benda tersebut
disertai fakta atau gambarnya di hadapannya, seraya menghubungkan nama-nama
tersebut dengan faktanya hingga dia mampu menghafal nama masing-masing yang
dihubungkan dengan bendanya, maka ketika itu dia akan memahami keempat benda
tersebut sesuai dengan nama-namanya. Dengan kata lain, dia akan memahami benda
apakah itu, apakah singa atau timbangan, tanpa melakukan kesalahan. Jika kita
berusaha merancukan pemahamannya, dia pasti tidak akan menyetujui Anda.
Artinya, secara konsisten dia akan menyatakan bahwa yang ini adalah singa
seraya menunjuk gambar singa, atau ini adalah timbangan seraya menunjuk gambar
timbangan. Demikian seterusnya. Jadi, pokok masalahnya tidak berkaitan dengan
fakta ataupun pencerapan atas fakta tersebut, melainkan berkaitan dengan
informasi terdahulu tentang fakta tersebut, atau sejumlah informasi yang
berhubungan atau terkait dengan fakta tersebut sesuai dengan pengetahuan anak
itu.
Dengan
demikian, informasi terdahulu tentang suatu fakta atau yang berkaitan dengan
fakta, adalah syarat mendasar dan utama demi
terwujudnya aktivitas berpikir atau demi terbentuknya akal.
Semua
ini adalah penjelasan aspek kesadaran rasional (al-idrâk al-‘aqlî, rational
comprehension), yaitu kesadaran yang muncul dari akal. Adapun aspek
kesadaran emosional (al-idrâk asy-syu‘ûrî, emotional comprehension),
yakni kesadaran yang muncul dari perasaan, maka ia adalah kesadaran yang muncul
dari naluri-naluri (al-ghara`iz, instincts) dan kebutuhan fisik (al-hajat
al-‘udhwiyah, organic needs). Kesadaran emosional ini, sebagaimana terdapat
pada hewan, juga terdapat pada manusia. Jika kepada seseorang kita berikan apel
dan batu secara berulang-ulang, dia pasti akan mengetahui bahwa apel bisa
dimakan sedangkan batu tidak bisa dimakan. Keledai pun akan mengetahui bahwa
gandum (barley) bisa dimakan sedangkan tanah tidak. Namun demikian,
kemampuan membedakan ini bukanlah pemikiran atau kesadaran, melainkan berasal
dari naluri dan kebutuhan fisik. Hal ini terdapat pada hewan sebagaimana
terdapat juga pada manusia. Dengan demikian, tidak mungkin terwujud pemikiran,
kecuali jika terdapat informasi-informasi terdahulu disertai dengan proses
transfer penginderaan fakta melalui panca indera ke dalam otak.
Apa
yang menjadi ketidakjelasan bagi banyak orang adalah, bahwa informasi terdahulu
ini dianggap bisa dihasilkan melalui proses percobaan (eksperimen) yang
dilakukan sendiri oleh seseorang, atau bisa diterima dari pihak lain. Menurut
mereka, percobaan-percobaan bisa mewujudkan informasi. Percobaan yang pertama
itulah yang akan mewujudkan aktivitas berpikir. Ketidakjelasan ini bisa
dihilangkan hanya dengan memperhatikan dua hal, yaitu : (1) perbedaan otak
manusia dengan otak hewan dilihat dari kemampuan masing-masing dalam mengaitkan
fakta dengan informasi, dan (2) perbedaan antara aspek yang berkaitan dengan
naluri dan kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan dengan penilaian atas
berbagai benda (asy-syai`, matter), benda apakah itu.
Perbedaan
otak manusia dengan otak hewan, ialah
bahwa pada otak hewan tidak terdapat kemampuan mengaitkan informasi. Yang ada
hanyalah kemampuan mengingat kembali penginderaan (istirja’ al-ihsas,
recollection of the sensation), terutama ketika penginderaan dilakukan
secara berulang-ulang. Kemampuan mengingat kembali ini, yang dilakukan hewan
secara alamiah, khusus terdapat pada hal-hal yang berkaitan dengan naluri dan
kebutuhan fisik. Tidak berkaitan dengan perkara-perkara di luar dua hal ini.
Jika Anda memukul lonceng dan memberi makan anjing ketika lonceng dipukul, maka
—bila ini dilakukan berulang-ulang— anjing akan bisa mengerti bahwa jika
lonceng dibunyikan, berarti makanan akan segera datang, sehingga mengalirlah
air liurnya. Begitu pula jika keledai jantan melihat keledai betina, hasrat
seksualnya akan segera bangkit. Akan tetapi, jika keledai jantan tersebut
melihat anjing betina, hasrat seksualnya tidak akan bangkit. Sapi yang sedang
digembalakan juga akan menjauhi rerumputan yang beracun atau yang
membahayakannya.
Semua
contoh tersebut dan yang sejenisnya hanyalah merupakan pembedaan yang bersifat
naluriah (at-tamyiz al-gharizi, instinctive differentiation). Sedangkan
apa yang sering disaksikan orang, bahwa sebagian hewan yang telah dilatih mampu
melakukan gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas tertentu yang tidak
berkaitan dengan nalurinya, maka sebenarnya hewan itu melakukannya semata
didasarkan pada proses mencontoh dan meniru. Tidak didasarkan pada pemikiran
atau kesadaran. Ini karena pada otak hewan tidak terdapat kemampuan untuk
mengaitkan informasi. Yang ada pada hewan hanyalah kemampuan mengingat kembali
penginderaan dan kemampuan membedakan yang semata-mata muncul dari naluri.
Setiap hal yang berkaitan dengan nalurinya akan diinderanya dan segala hal yang
telah diinderanya akan mampu diingatnya kembali, terutama jika penginderaan itu
dilakukan secara berulang-ulang. Artinya, apa saja yang berkaitan dengan naluri
akan dilakukan oleh hewan secara alamiah, baik melalui proses penginderaan atau
melalui proses mengingat kembali penginderaan tersebut. Sebaliknya, hal-hal
yang tidak berkaitan dengan naluri, tidak mungkin dilakukannya secara alamiah
jika ia menginderanya. Tapi jika hewan itu mengulang-ulang penginderaannya dan
mengingat kembali penginderaannya, ia akan mampu melakukan sesuatu karena
mencontoh dan meniru, bukan karena melakukannya secara alamiah.
Ini
berbeda dengan otak manusia. Pada otak manusia terdapat kemampuan mengaitkan
informasi (dengan fakta), bukan hanya kemampuan mengingat kembali penginderaan.
Contohnya, jika seseorang melihat seorang lelaki di Baghdad , kemudian setelah sepuluh tahun ia
kembali melihatnya di Damaskus, maka dia akan segera mengingat kembali
penginderaannya akan laki-laki tersebut. Akan tetapi, karena pada dirinya tidak
terdapat informasi tentang lelaki itu, ia tidak akan memahami apa pun tentang
lelaki itu. Berbeda halnya jika ketika ia melihat lelaki itu di Baghdad , lalu memperoleh
informasi tentang lelaki tersebut. Maka ia akan mampu mengaitkan kehadiran
lelaki tersebut di Damaskus dengan sejumlah informasi terdahulu tentang dirinya
dan memahami maksud kehadirannya di Damaskus. Ini berbeda dengan hewan.
Walaupun hewan mampu mengingat kembali penginderaan terhadap lelaki tersebut,
ia tetap tidak akan mampu memahami maksud kehadirannya di Damaskus. Hewan hanya
mampu mengingat kembali lelaki tersebut terbatas pada hal-hal yang berkaitan
dengan nalurinya ketika dia mengindera lelaki tersebut. Jadi, hewan hanya mampu
mengingat kembali penginderaannya,
tetapi tidak mampu mengaitkan informasi dengan faktanya, walaupun informasi
tersebut diberikan melalui proses pelatihan dan peniruan. Lain halnya dengan
manusia. Manusia mampu mengingat kembali penginderaannya dan sekaligus mampu
mengaitkan informasi yang ada dengan faktanya. Dengan demikian pada otak
manusia terdapat kemampuan mengingat kembali penginderaan dan mengaitkan
informasi, sedangkan pada otak hewan hanya terdapat kemampuan mengingat kembali
penginderaan.
Adapun perbedaan aspek yang berkaitan dengan naluri
dan kebutuhan fisik, dengan aspek yang berkaitan dengan penilaian atas berbagai
benda (asy-syai`, matter) –benda apakah itu— dapat dijelaskan sebagai
berikut. Bahwa apa yang menyangkut naluri, manusia bisa mengingat kembali
penginderaannya melalui proses penginderaan yang berulang-ulang. Manusia bisa
pula, dengan kemampuan otak manusia untuk mengaitkan informasi, untuk membentuk
berbagai informasi (ma’lumat), dari sekumpulan apa yang telah
didapatkannya dari proses penginderaan dan proses pengingatan kembali
penginderaan. Manusia juga mampu mengingat kembali berbagai penginderaan yang
dilakukannya dengan berbagai informasi terdahulu, pada hal-hal yang menyangkut
naluri dan kebutuhan fisiknya. Akan tetapi, manusia tidak akan mungkin
mengaitkan berbagai informasi tersebut pada hal-hal yang tidak berkaitan dengan
naluri dan kebutuhan fisiknya. Dia tidak akan bisa mengaitkan berbagai
informasi tersebut untuk menilai suatu benda, benda apakah itu. Oleh karena
itu, banyak orang mengalami kerancuan untuk membedakan aktivitas mengingat
kembali penginderaan (‘amaliyah al-istirja’) dengan aktivitas pengaitan
informasi (‘amaliyah ar-rabth). Aktivitas mengingat kembali penginderaan
tidak akan tewujud kecuali pada aspek yang berkaitan dengan naluri dan
kebutuhan fisik. Sebaliknya, aktivitas pengaitan informasi, terdapat pada
segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik, maupun
yang berkaitan dengan penilaian atas segala sesuatu benda, benda apakah itu.
Artinya, informasi terdahulu harus ada dalam aktivitas pengaitan, dan
keunggulan manusia atas hewan tak lain terletak
pada kemampuan mengaitkan informasi ini.
Atas dasar ini, fakta bahwa manusia bisa membuat
perahu kayu dari pengetahuannya akan sepotong kayu yang terapung, adalah sama
dengan fakta seekor kera yang setelah melihat pisang yang tergantung pada
tandannya, dia tahu jatuhnya pisang tersebut mungkin terjadi dengan cara
memukul tandannya dengan tongkat atau benda lainnya. Kedua contoh ini berkaitan
dengan naluri dan kebutuhan fisik. Meskipun telah terjadi proses pengaitan dan
telah terbentuk pula informasi, sesungguhnya yang terjadi adalah proses
mengingat kembali penginderaan, bukan proses pengaitan informasi. Karena itu, ini
bukanlah aktivitas berpikir atau tidak menunjukkan adanya akal atau pemikiran.
Sebaliknya yang menunjukkan adanya akal atau pemikiran, atau adanya aktivitas
berpikir secara nyata, adalah aspek penilaian atas sesuatu. Dan penilaian itu
sendiri tidak akan bisa terjadi, kecuali dengan adanya proses pengaitan dan
pengaitan dengan informasi terdahulu. Dengan demikian, informasi terdahulu
mesti ada dalam setiap aktivitas pengaitan, agar akal atau pemikiran dapat
dibentuk. Dengan kata lain, informasi terdahulu harus ada agar aktivitas akal
dapat terwujud.
Banyak orang berusaha menjelaskan bagaimana manusia
pertama bisa memperoleh pemikiran dan melangsungkan proses berpikir dari
percobaan-percobaan yang dilakukannya dan dari pembentukan berbagai informasi
yang dihasilkan dari percobaan-percobaan tersebut. Mereka menjelaskan itu semua
untuk mendapatkan kesimpulan, bahwa refleksi fakta terhadap otak atau
pencerapan yang dilakukan manusia terhadap fakta, dapat menjadikan manusia
berpikir, dan membentuk aktivitas akal, atau mewujudkan pemikiran –atau proses
berpikir-- padanya. Namun telah kami jelaskan sebelumnya, bahwa ini adalah
proses mengingat kembali penginderaan (istirja’) dan bukan proses
pengaitan informasi, dan bahwa ini khusus berkaitan dengan naluri dan tidak
berkaitan dengan proses penilaian atas sesuatu. Penjelasan ini sesungguhnya
telah cukup untuk membantah dan menggugurkan pendapat mereka itu. Namun
demikian, yang menjadi pokok bahasan sebenarnya bukanlah perihal manusia
pertama, tidak pula berkaitan dengan berbagai asumsi, spekulasi, dan fantasi.
Pokok masalahnya sebenarnya berkaitan dengan manusia itu sendiri, sebagai
manusia. Artinya, seharusnya kita tidak mengambil manusia pertama untuk
kemudian dianalogikan dengan manusia sekarang, karena dengan begitu kita
berarti telah menganalogikan sesuatu yang nyata bertolak dari sesuatu yang
gaib. Seharusnya kita mengambil manusia sekarang —manusia yang ada di hadapan
kita, yang bisa kita saksikan dan kita indera— untuk kemudian dianalogikan
dengan manusia pertama. Dengan demikian, kita berarti telah menganalogikan
sesuatu yang gaib bertolak dari sesuatu yang nyata. Dan apa yang berlaku pada
manusia saat ini —yang bisa diindera dan disaksikan secara langsung— berlaku
pula untuk setiap manusia, termasuk manusia pertama. Oleh karena itu, kita
tidak boleh memutarbalikkan argumen. Kita harus mendatangkan argumen dengan
cara yang benar.
Maka dari itu, kepada manusia sekarang yang ada di
hadapan kita dan dapat kita indera, kita lakukan aktivitas akal untuk
menelitinya, pada aspek yang berkaitan dengan naluri dan aspek yang berkaitan
dengan penilaian atas segala sesuatu, apakah sesuatu itu. Kita bisa melihat
adanya kemampuan mengingat kembali penginderaan, kemampuan mengaitkan
informasi, serta perbedaan di antara keduanya. Kita bisa menyaksikan bahwa
informasi terdahulu harus ada dalam aktivitas pengaitan pada diri manusia, dan
harus ada pula dalam aktivitas akal. Ini berbeda dengan kemampuan mengingat
kembali penginderaan. Kemampuan ini ada pada manusia maupun hewan. Kemampuan
ini tidak bisa membentuk aktivitas akal. Dan kemampuan mengingat kembali penginderaan, bukanlah
akal, pemikiran, atau proses berpikir. Anak kecil yang tidak mengetahui
benda-benda dan tidak mempunyai informasi, yang bisa mengambil
informasi-informasi, adalah bukti nyata tentang makna akal.
Berdasarkan paparan tersebut, akal sebenarnya tidak
dijumpai kecuali pada diri manusia dan aktivitas akal hanyalah bisa dilakukan
oleh manusia saja. Naluri dan kebutuhan fisik bisa dijumpai pada manusia maupun
hewan, dan penginderaan --yang berkaitan dengan naluri dan kebutuhan fisik--
bisa dilakukan oleh manusia maupun
hewan. Kemampuan mengingat kembali penginderaan-penginderaan ini, juga
terdapat pada manusia maupun hewan. Tetapi ini semua bukanlah akal (‘aql),
kesadaran (idrâk), pemikiran (fikr), maupun proses berpikir (tafkîr),
melainkan hanya pembedaan yang berdasarkan naluri (tamyîz gharîzî).
Adapun akal, membutuhkan adanya otak yang memiliki kemampuan mengaitkan
informasi-informasi. Kemampuan ini tidak dijumpai kecuali pada manusia. Atas
dasar ini, aktivitas akal tidak akan terwujud, kecuali dengan adanya kemampuan
mengaitkan. Kemampuan mengaitkan yang dimaksud, adalah kemampuan mengaitkan
informasi dengan fakta. Aktivitas akal seperti apa pun, baik yang dilakukan
oleh manusia pertama maupun manusia sekarang, pasti membutuhkan informasi
terdahulu tentang fakta. Informasi terdahulu tersebut mesti ada pada manusia
sebelum adanya fakta yang akan dipikirkannya.
Dari sini dapat dijelaskan, bahwa pada diri manusia
pertama harus ada informasi terdahulu tentang fakta, sebelum fakta ini
disodorkan kepadanya. Inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah tentang Nabi
Adam as sebagai manusia pertama. Allah Swt berfirman:
Allah telah memberikan pengajaran
(informasi) seluruh nama benda-benda kepada Adam.
(TQS. al-Baqarah [2]: 31)
Kemudian, Allah Swt berfirman kepada Nabi Adam as:
Adam, informasikanlah kepada
mereka (para malaikat) nama-nama benda-benda itu!
(TQS. al-Baqarah [2]: 33)
Informasi terdahulu adalah syarat mendasar dan pokok
dalam aktivitas akal, yakni syarat mendasar untuk memahami makna akal.
Dengan demikian, para pemikir komunis telah menempuh
suatu upaya untuk mengetahui makna akal. Mereka kemudian memahami bahwa untuk
melakukan aktivitas akal mesti ada fakta. Mereka juga memahami bahwa agar
terwujud aktivitas akal harus ada otak manusia. Jadi, mereka sebenarnya telah
menempuh jalan yang lurus. Akan tetapi mereka terjerumus dalam kesalahan ketika
mengungkapkan hubungan antara otak dan fakta. Mereka mengungkapkannya sebagai refleksi,
bukan penginderaan. Penyimpangan mereka semakin fatal ketika mengingkari
keharusan adanya informasi terdahulu
demi terwujudnya aktivitas akal. Padahal, aktivitas akal, bagaimana pun
juga, tidak mungkin bisa berlangsung kecuali dengan adanya informasi terdahulu.
Oleh karena itu, jalan lurus yang bisa menyampaikan pada pengetahuan tentang
makna akal secara meyakinkan dan pasti, adalah harus terwujudnya empat komponen
akal agar aktivitas akal (‘amaliyah aqliyah), atau akal (‘aql),
dan pemikiran (fikr), dapat
terwujud. Harus ada fakta, otak manusia yang normal, panca
indera, dan informasi terdahulu. Empat komponen akal ini, secara
kesluruhan, haruslah dipastikan keberadaannya dan dipastikan kebersamaannya.
Dengan begitu, akan terwujud aktivitas akal. Dengan kata lain, akan terwujud
akal, pemikiran, atau kesadaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi akal (‘aql),
pemikiran (fikr), atau kesadaran (al-idrâk) adalah pemindahan
penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai
adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan
fakta tersebut.
Inilah satu-satunya definisi yang benar. Tidak ada
definisi selain definisi ini. Definisi ini mengikat seluruh manusia di setiap
zaman karena ia merupakan satu-satunya definisi yang dapat mendeskripsikan
fakta akal secara benar dan satu-satunya definisi yang tepat untuk fakta
mengenai akal.