Archive for April 2013
Yonas Post : Mencapai Kebahagiaan Hakiki (Said Abdul 'Azhim) 2
Minggu, 28 April 2013
Posted by Unknown
TAULADAN ORANG-ORANG BAHAGIA
Seperti
yang kita ketahui bahwa para nabi dan para rasul adalah makhluk yang paling
besar kebahagiaannya, sebab mereka adalah orang yang paling besar ridhanya
dengan Allah, paling besar ketaatannya kepada Allah, paling besar
kepercayaannya dengan janji Allah, paling besar jihadnya di jalan Allah, dan
paling rajin melaksanakan perintah Allah
siang dan malam, dalam waktu senang ataupun susah. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan kita untuk meniru dan mengikuti mereka. Allah Swt berfirman,
“Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka.” (QS. Al An’âm[6]:90)
Lihat Nabi
Nuh As. Ia menemui kaumnya dan menyampaikan perintah Tuhannya. Namun, kaumnya
menyakitinya bahkan sampai membuatnya pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata
kepada mereka,
“Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.” (QS. Al Mukminûn[23]:23)
Kaumnya
juga pernah melukainya hingga darahnya mengucur deras, padahal ia mendoakan
mereka, “Wahai Tuhanku, ampunilah kaumku, sebab mereka tidak tahu.” Nabi Nuh As
tinggal bersama mereka selama 950 tahun, namun sampai akhir hayatnya, yang
beriman kepadanya hanya segelintir orang saja. Ia mengadu kepada Tuhannya,
"Aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).”
(QS. Al Qamar[54]:10)
Maka Allah pun menyejukkan hatinya dan menolongnya. Tidak
ada yang selamat dari air bah kecuali orang yang naik ke atas kapal.
Lihat Nabi
Ibrahim As. Ia memperingatkan dan mengancam bapaknya dengan lembut. Ia berkata,
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu
kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Aku akan menjauhkan diri
darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo'a kepada
Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo'a kepada Tuhanku.”(QS.
Maryam[19]:47-48)
Ibrahim juga berkata, “Sesungguhnya aku pergi menghadap
kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Ash
Shâffât[37]:99)
Ibrahim As
juga pernah diperintahkan untuk meninggalkan Hajar dan anak satu-satunya yang
bernama Ismail di Balad Al Haram (Mekah). Dengan tegar, ia menjunjung
tinggi perintah itu dan yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan para
kekasih-Nya. Kemudian ia diperintahkan lagi untuk menyembelih anaknya Ismail itu,
iapun segera melaksanakan perintah itu.
“Tatkala keduanya telah berserah
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Kami panggillah ia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian
yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
(QS. Ash Shâffât[37]:103-107)
Ibrahim As juga menghadapi kaumnya dan Namrud
serta mengajak mereka kepada Allah. Ia tidak pernah takut dan kebulatan
tekadnya tak pernah berubah.
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang beriman
yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Sekali-kali
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).”(QS. An
Nahl[16]:120)
Allah juga
berfirman tentangnya, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang
penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Hûd[11]:75)
Lihat Nabi
Musa As. Ia mengajak Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan kepada Allah. Ia
berdialog dengan Fir’aun juga berdiskusi dengannya, dan hujjah Nabi Musa-lah
yang menang. Namun Fir’aun tidak melepaskan Nabi Musa dan orang-orang yang
bersamanya. Bani Israil berkata kepada Nabi Musa,
“Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul". (QS. Asy Syu’arâ[26]:61) Nabi Musa
menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku,
kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku". (QS. Asy Syu’arâ[26]:62)
Sebuah kata-kata yang penuh dengan keyakinan pada janji Allah dan
kebersamaan-Nya. Maka, Allah membinasakan Fir’aun dan tentaranya serta
mewariskan bumi dan negeri mereka kepada Bani Israil.
Lihat Nabi
Ayyub As. Ia diuji dengan penyakit di tubuhnya, namun semua itu tidak pernah
memalingkan hatinya dari Allah. Bahkan ia bersikap sabar, mengharap ridha dan
selalu mengingat Tuhannya. Firman Allah Swt,
“Dan (ingatlah kisah) Ayub,
ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".
Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang
ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan
bagi semua yang menyembah Allah.”(QS. Al Anbiyâ’[21]:83-84)
Lihat pula
Nabi Yusuf As. Ia berpindah dari ujian di dalam sumur tua ke fitnah dalam
istana. Kemudian ia dijerumuskan ke dalam penjara padahal sudah jelas
kebenarannya. Lalu ia bebas dari penjara untuk kemudian memegang kekuasaan
kerajaan di negeri Mesir. Yusuf adalah sebaik-baik hamba. Ia ridha dengan
ketentuan Allah. Fitnah tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hamba yang selalu
bertawakal dan kembali kepada Allah ini. Ia tidak pernah berkompromi untuk
melakukan taat kepada-Nya. Malah ia berkata,
“Wahai Tuhanku, penjara lebih
aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka.”(QS. Yûsuf[12]:33)
Kekuasaan pun tidak bisa menyibukkannya dari
ketaatan. Hatinya selalu terpaut dengan Allah. Ia berkata,
“Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan
telah mengajarkan kepadaku sebahagian tabir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit
dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam
keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS.
Yûsuf[12]:101)
Lihat pula
Nabi Muhammad Saw, pemimpin orang yang terdahulu dan orang yang akan datang
serta panutan seluruh makhluk. Manusia yang paling besar mendapatkan
pertolongan, taufik dan bimbingan, serta manusia yang benar-benar paling
bahagia. Beliau disakiti, tapi malah berdoa, “Wahai Tuhanku, ampunilah kaumku,
sebab mereka belum tahu.”(HR. Bukhari) Beliau juga bersabda, “Aku berharap dari
keturunan mereka ada orang yang menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya.”(HR. Muslim)
Di antara
bukti sikap pemaaf Nabi Muhammad Saw terhadap orang yang menyakitinya adalah
saat Tahun Penaklukan. Beliau bersabda, “Silakan kalian pergi, kalian bebas.
Tidak ada celaan atas kalian.” Beliau sering solat malam hingga kedua tumit
beliau bengkak. Beliau hanya berkata, “Aku ingin menjadi hamba yang
bersyukur.”(HR. Bukhari dan Muslim) Padahal kita tahu bahwa beliau telah
mendapatkan jaminan pengampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan
datang. Setiap kali ada perkara yang mengusiknya, beliau bersabda, “Hai Bilal,
serukan untuk mendirikan solat, senangkan kami dengan seruan itu.” (HR. Abu
Daud) Beliau juga bersabda, “Dijadikan kesejukan hatiku di dalam solat.”(HR. An
Nasa’i dan Ahmad)
Semua
perkataan Nabi Muhammad Saw dan perbuatannya merupakan panutan semua orang yang
bahagia.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzâb[33]:21)
ORANG-ORANG BAHAGIA BERJALAN DI LORONG YANG SAMA
Orang
yang disebutkan dalam surah Yâsin datang dari ujung kota. Ia ingin
memperbaharui dakwah para rasul. Ia telah menyaksikan sendiri kebinasaan
orang-orang yang kafir. Ia berkata,
“Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa
aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah
menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi
manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya
aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku
telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan) ku. Dikatakan
(kepadanya), "Masuklah ke surga". Ia berkata, "Alangkah baiknya
sekiranya kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun
kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan".(QS.
Yâsîn[36]:20-27)
Allah
mengazab mereka setelah kematian orang yang disebutkan di dalam surah Yâsîn
itu. Allah Swt berfirman,
“Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah
dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami
menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara
saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besarnya penyesalan
terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan
mereka selalu memperolok-olokkannya.”(QS. Yâsîn[36]:28-30)
Apakah akan bahagia kaum itu dengan kekufuran
mereka dan apakah sengsara orang yang disebutkan dalam surah Yâsîn itu dengan
ketaatannya kepada Allah?!
Buku-buku
tafsir menyebutkan bahwa para penghuni gua atau ashhabul kahfi itu
terdiri dari para pemuda yang beriman kepada Allah yang mereka semua adalah
anak-anak pembesar kerajaan. Mereka lebih memilih apa yang ada di sisi Allah
daripada kesenangan dunia yang semu. Mereka masuk ke sebuah gua yang gelap,
menyelamatkan agama mereka. Mereka berkata,
“Kaum kami ini telah menjadikan
selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak
mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang
lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”(QS.
Al Kahfi[18]:15)
Saat pelarian mereka, seekor anjing mengikuti mereka, yang
menjadi peringatan juga nasehat bahwa siapa yang mengikuti orang-orang saleh,
tidak akan pernah celaka.
Allah telah
menyebutkan beberapa kemuliaan yang diberikan kepada ashhabul kahfi.
Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al
Kahfi[18]:13)
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit,
condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka
ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu.”(QS.
Al Kahfi[18]:17) “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.”
(QS. Al Kahfi[18]:11) “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan
ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al Kahfi[18]:25)
Para
pemuda ini bahagia dalam gua yang gelap itu. Kebahagiaan dengan keimanan mereka
melebihi hidup di dalam istana, bahkan dunia seperti penjara yang sempit lagi
gelap akibat sikap kufur para penduduknya terhadap Sang Pencipta bumi dan
langit.
Al Quran
juga menyebutkan kisah seorang yang beriman dari keluarga Fir’aun dan dialog
seorang mukmin yang fakir dengan saudaranya yang kafir, pemilik dua kebun yang
tersebut dalam surah Al Kahfi.
Rasulullah
Saw pernah mengisahkan tentang seorang hamba Allah, yakni budak kecil yang
diserahkan oleh raja kepada seorang penyihir untuk belajar sihir, tapi ia malah
pergi kepada seorang rahib. Rasulullah Saw mengisahkan bagaimana budak kecil
itu menerima seruan dakwah dan mendapatkan beberapa karomah atau kemuliaan
walaupun umurnya masih sangat muda. Bagaimana kematiannya yang memang sudah
diinginkan oleh raja menjadi bukti kemuliaan, yakni ketika panah menancap di
keningnya, tiba-tiba manusia yang hadir menuturkan “kami beriman kepada Allah,
Tuhan anak kecil ini.” Saat itu, panah tadi jatuh ke tangan raja yang zalim
tersebut. Ada yang berkata kepada raja, “Sungguh telah terjadi apa yang kau
takutkan. Sungguh, semua manusia telah beriman.” Raja tersebut memerintahkan
untuk membuat lubang panjang lalu dinyalakan api di dalamnya. Setelah api
menyala, semua yang beriman dimasukkan ke dalam lubang itu.
“Mereka tidak
menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman
kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Burûj[85]:8)
Begitulah sikap kebatilan di setiap masa dan saat. Tidak memiliki apa-apa
kecuali kekerasan tanpa alasan yang rasional.
Jasad
budak kecil itu ditemukan di zaman Umar Bin Khatthab Ra. Tangannya masih
memegang kening seperti saat kematiannya –jasad ini ditemukan setelah
beratus-ratus tahun sejak kejadian-. Setiap kali para penemu menggerakkan
tangannya, darah mengucur dari luka di keningnya. -Orang-orang seperti ini
adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan dapat membuat hati bahagia
dengan mengingat mereka-. Inilah kehidupan hakiki itu.
Di lorong
ini pula, para sahabat Ra berjalan. Mereka bahagia dan membuat dunia bahagia.
Dengan mereka, Allah mengubah wajah dunia. Mereka dapat merasakan manisnya iman
ketika mereka ridha dengan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan
Muhammad sebagai rasul. Di antara para sahabat itu adalah Abu Bakar Ra. Teman
setia –tidak ada seorang nabi pun yang mempunyai teman setia seperti ini- dan
orang yang menyedekahkan seluruh hartanya. Ketika Abu Bakar ditanya “apa yang
ia sisakan untuk anak-anaknya?”, ia menjawab, “Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya
untuk mereka.” Ia adalah seorang yang ridha dan diridhai.
Anas Ra
meriwayatkan, “Pada perang Badar, pamanku Anas Bin An Nadhr tidak ikut perang.
Ia berkata kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, aku tidak hadir sejak awal
peperangan melawan kaum musyrikin. Seandainya Allah mengizinkanku untuk ikut
dalam perang melawan kaum musyrikin, aku akan memperlihatkan kepada-Nya apa
yang bisa kulakukan.” Ketika terjadi perang Uhud, iapun berkata, “Ya Allah, aku
punya alasan untuk apa para sahabat melakukan ini dan aku tidak bertanggung
jawab dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin.” Kemudian ia terjun ke
kancah peperangan dan bertemu dengan Sa’ad Bin Mu’adz. Ia berkata, “Hai Sa’ad,
demi Tuhan Nadhr, aku telah mencium bau surga di balik gunung Uhud itu.”
Sa’ad
berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak bisa melakukan seperti apa yang ia lakukan.”
Anas berkata, “Ternyata ia telah tewas dengan sangat mengenaskan. Tidak ada
yang dapat mengenalinya lagi kecuali saudarinya, dari jari-jarinya.” Anas juga
berkata, “Kami berpendapat bahwa ayat berikut turun menyinggung tentangnya dan
orang-orang yang sepertinya. Yakni ayat, “Di antara orang-orang mukmin itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka
di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” (QS. Al Ahzâb[33]:23)
(HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
Dari Abu
Hurairah Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw dan para sahabat pergi ke Badar dan mendahului
kaum musyrikin. Maka, Rasulullah Saw bersabda, “Bangkitlah kalian menuju surga
yang luasnya sebesar langit dan bumi.” Tiba-tiba Umair Bin Hammam berkata,
“Hebat!” Mendengar itu, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang membuatmu
mengucapkan itu?” Ia menjawab, “Demi Allah, tidak ada ya Rasul kecuali aku
berharap dapat menjadi penghuninya.” Rasulullah Saw lalu bersabda, “Kamu salah
satu penghuninya, hai Umair.” Saat itu, ia mengeluarkan beberapa kurma dari
tempat bekalnya lalu memakannya, namun tiba-tiba ia berkata, “Jika aku masih
tetap hidup setelah menghabiskan kurma ini, sungguh itu terlalu lama.” Seketika
itu juga, ia membuang kurma yang ada di mulutnya dan terjun ke kancah
pertempuran hingga iapun terbunuh.” (HR. Muslim)
Bila kita
memperhatikan keadaan manusia dalam solat, haji, zikir dan doa, pasti kita akan
mengetahui bahwa hal itu menjadi penyebab kebahagiaan mereka disatu sisi namun
di sisi lain penyebab kesusahan dan kesengsaraan bagi orang yang mabuk dengan
dunia.
Utsman Bin
Affan berkata, “Seandainya hati kalian itu bersih, niscaya tidak akan pernah
bosan dengan kalam Allah. Tidak berlalu satu hari pun kecuali ia membaca dan
merenungi kitab Allah. Malah ada sebagian dari orang-orang yang hatinya bersih
itu berdiri melakukan solat, burung hinggap di atas kepalanya. Burung itu
mengiranya sebuah kayu, karena begitu lamanya ia berdiri dalam solat.”
Abu Darda
juga pernah menjengung seorang laki-laki yang saat meninggal dunianya mengucap Alhamdulillah
(segala puji bagi Allah). Abu Darda berkata, “Kamu benar. Sesungguhnya apabila
Allah memutuskan suatu keputusan, Dia sangat suka bila keputusan itu diterima
dengan ikhlas.”
Ada
beberapa orang yang mengikuti sikap sahabat, beriman kepada Allah dan jujur
terhadap para rasul, di antaranya Umar Bin Abdul Aziz. Ia berkata, “Tidak ada
kesenangan bagiku kecuali pada apa yang telah ditakdirkan.” Ada yang bertanya
kepadanya, “Apa yang kamu sukai?” Ia menjawab, “Apa yang ditentukan oleh Allah
Swt.”
Ketika
terjadi cobaan pada Imam Ahmad, seorang muridnya yang bernama Abu Sa’id datang
menemuinya dan berkata, “Hai Imam, katakan! Sesungguhnya kamu masih mempunyai
tanggungan keluarga.” (Maksudnya, murid itu meminta Imam Ahmad untuk
membenarkan ucapan bid’ah Al Ma’mun.) Namun Imam Ahmad berkata kepadanya, “Coba
kamu lihat ke luar.” Murid itupun melihat keluar dan menemukan begitu banyak
manusia sedang berkumpul untuk mencatat apa yang akan dikatakan oleh Imam
Ahmad. Setelah menyaksikan itu, ia kembali kepada Imam Ahmad. Imam Ahmad
kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak mau menyelamatkan diriku sendiri
sementara aku menyebabkan mereka tersesat.” Imam Ahmad tetap tegar dan sabar
hingga akhirnya cobaan itu berakhir. Ia memang benar-benar imam ahli sunah.
Diceritakan
juga bahwa suatu ketika, ibu Imam Abu Hanifah datang menemuinya dalam penjara.
Di sana ia dikurung dan dipukuli. Ibunya berkata, “Hai Nu’man, ilmu tidak
memberikan keuntungan apa-apa kepadamu malah pukulan yang kauterima. Sudah
saatnya kamu meninggalkannya.” Imam Abu Hanifah menjawab, “Hai ibu, seandainya
aku mengharapkan dunia, aku pasti mendapatkannya. Namun aku ingin menjaga ilmu
itu. Aku tidak akan menjerumuskan diriku kepada kebinasaan.” Sebab, ilmu itu
sebuah kemuliaan. Siapa yang menginginkan dunia dengan ilmu pasti akan ia
dapatkan dan siapa yang menginginkan akhirat dengan ilmu, juga pasti akan ia
dapatkan.
Syeikh
Ibnu Taimiyah pernah berkata di dalam penjara, “Apa yang dilakukan
musuh-musuhku kepadaku? Surgaku dan kebunku ada di dadaku. Kemanapun aku pergi,
ia selalu bersamaku, tak pernah terpisah dariku. Kurunganku adalah tempat
khalwat, kematianku adalah syahid dan terusirnya aku dari negeriku merupakan
tamasya bagiku.” Ia sering duduk berzikir kepada Allah setelah solat subuh. Ia
berkata, “Itu adalah sarapanku. Jika aku tidak sarapan, aku akan lemas.”
Jika
terus bercerita tentang orang-orang yang bahagia, pasti tak akan ada habisnya.
Kiranya cukuplah apa yang telah dipaparkan bagi orang yang mempunyai hati atau
pendengaran. Ringkasnya, lisan hal orang-orang saleh menuturkan,
“Seandainya para raja dan para anak raja mengetahui kenikmatan kami, pasti
mereka akan merebutnya dengan tajamnya pedang.”
... bersambung...
"Kebahagiaan". Suatu kata yang sekaligus menjadi sorotan setiap manusia yang hidup. apa sebenarnya kebahagiaan itu? bagaimana memperoleh kebahagiaan hakiki? dan mengapa setiap orang menginginkan suatu kebahagiaan namun yang didapat adalah hal yang lain? untuk mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan yang anda pikirkan, simaklah tulisan dibawah ini!
ARTI KEBAHAGIAAN
Kebahagiaan
adalah lawan dari kesengsaraan. Manusia pun terbagi kepada, manusia bahagia dan
manusia sengsara. Allah Swt berfirman, “Di kala datang hari itu, tidak ada
seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada
yang sengsara dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang sengsara, maka (tempatnya)
di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap
apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka
tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,
kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.”(QS. Hûd[11]:105-108)
Manusia
yang bahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain dan
manusia yang sengsara adalah orang yang merasa sengsara dengan takdir Allah.
Ada sebagian orang yang mendefinisikan bahwa kebahagiaan itu adalah ketenangan
jiwa dan ketentraman yang dirasakan oleh seorang manusia di suatu waktu.
Definisi ini masih ada kekurangannya. Ketenangan jiwa terkadang bisa disebut
pada kelezatan sesaat namun berakhir dengan kepedihan abadi. Sedang ketentraman
yang dirasakan oleh seorang manusia, terkadang bisa palsu, semu dan cepat
hilang, seperti orang yang mengasuransikan masa depannya dengan menyimpan uang
di bank-bank konvensional, sebab ia sama saja menjadi musuh Allah dan
Rasul-Nya. Sementara berkah hartanya telah dihilangkan dan harta itu tidak akan
pernah aman dari kehilangan. Dengan demikian, sama saja ia percaya pada ilusi
dan fatamorgana.
Oleh sebab
itu, kebahagiaan yang dicari oleh seorang muslim itu lebih umum, lebih
konprehensif dan lebih sempurna dari kebahagiaan yang dicari oleh manusia di
timur dan di barat, atau yang diceritakan oleh para filosof, pakar sosial dan
lain-lain. Kebahagiaan yang dicari oleh seorang muslim itu adalah ridha
terhadap Allah dalam situasi senang atau susah, saat bersemangat ataupun saat
loyo. Kebahagiaan yang meliputi hati dan jiwa hingga saat fakir dan sakit
sekalipun. Kebahagiaan yang menjunjung tinggi perintah Allah adalah merupakan
puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat. Bagi seorang hamba,
tidak ada yang lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada menjunjung
tinggi perintah Tuhannya. Tidaklah orang yang mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan di akhirat itu kecuali karena ia menjunjung tinggi perintah Allah dan
tidaklah orang yang mendapatkan kesengsaraan di dunia dan di akhirat itu
kecuali karena ia menyia-nyiakan perintah-Nya.
Ar Raghib
Al Ashfihani berkata dalam bukunya yang berjudul Al Mufradât,
“Kebahagiaan adalah bantuan ilahi untuk manusia demi mencapai kebaikan.” Maka,
orang yang bahagia adalah orang mukmin yang mendapat taufik untuk melakukan
segala kebaikan dan meninggalkan segala kemungkaran. Ia adalah orang yang
dikehendaki oleh Allah dalam melakukan taat kepada-Nya, bersikap syukur dalam
kesenangan dan bersikap sabar dalam kesusahan. Ia juga tahu bahwa tempat
kembali dan tempat mengadu hanya kepada Allah. Maka, hatinya pun penuh dengan
ridha terhadap Allah dan hati nuraninya selalu mendorongnya untuk mencari
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya kebahagiaan hakiki adalah
karunia dari Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kita tidak
akan bisa mendapatkan apa yang ada di sisi Allah kecuali dengan taat
kepada-Nya.
MERENUNGI NASEHAT ADALAH JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN
Dalam bukunya yang berjudul Al Jawâb Al
Kâfî Li Man Sa’ala ‘An Ad Dawâ Asy Syâfî, Ibnu Qayyim berkata, “Sebagian ulama
berkata, “Aku merenungi apa yang diperbuat oleh orang-orang yang berakal dan
aku dapati bahwa semua yang mereka perbuat itu bertujuan mencapai satu tujuan,
sekalipun cara mereka berbeda. Aku melihat bahwa mereka bertujuan untuk menolak
kesusahan dan kesengsaraan dari mereka. Ada yang dengan makan dan minum, ada
juga dengan berniaga dan menulis, ada pula dengan nikah dan mendengarkan
nyanyian, serta ada pula dengan hiburan dan permainan.
Aku
berkata, “Tujuan ini memang tujuan orang-orang yang berakal, namun cara-cara
yang mereka pergunakan tidak akan pernah menyampaikan mereka kepada tujuan,
bahkan malah menyampaikan mereka kepada lawannya. Aku tidak melihat dari
berbagai macam cara yang dilakukan yang mampu menyampaikan kepada tujuan
kecuali dengan cara mendekat kepada Allah, serta mengharap dan mengutamakan
ridha-Nya dari segala sesuatu. Sesungguhnya orang yang melakukan cara ini,
sekalipun tidak mendapatkan apa-apa di dunia namun ia pasti akan mendapatkan
bagian yang amat berharga. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba
daripada cara ini dan tidak ada yang lebih menyampaikannya kepada kelezatan,
kegembiraan dan kebahagiaan daripadanya. Semoga Allah memberikan taufik-Nya
kepada kita.”
Di tempat
lain di dalam buku itu juga, Ibnu Qayyim berkata, “Allah telah memutuskan satu
keputusan yang tidak akan bisa dirubah selama-lamanya, yaitu, “Akibat baik
hanya pada ketakwaan dan ganjaran yang baik hanya untuk orang-orang yang
bertakwa. Hati ibarat papan yang masih utuh sedangkan niat dan kata hati ibarat
pahat yang memahat papan itu. Apakah pantas seorang yang berakal membiarkan papan
hati dipahat oleh dusta, tipu daya dan angan-angan belaka serta fatamorgana
yang tak hakiki. Kebijaksanaan, ilmu dan petunjuk mana yang selaras dengan
pahatan ini?”
Dalam
tafsir firman Allah, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS.
Yûnus[10]:62-64), Ibnu Qayyim berkata, “Seorang mukmin yang ikhlas hanya kepada
Allah termasuk orang yang paling baik kehidupannya, paling baik keadaannya, dan
paling lapang dadanya serta paling gembira hatinya. Ini merupakan surga dunia
sebelum ia mendapatkan surga akhirat.”
Ibnu Qayyim
juga berkata, “Jangan kamu kira bahwa firman Allah Swt yang berbunyi, “Sesungguhnya
orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan,
dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka”
(QS. Al Infithâr[82]:13-14), hanya tertentu pada kenikmatan dan neraka akhirat
saja, tapi juga ada di tiga fase kehidupan manusia, yaitu, di dunia, di alam
barzakh dan di surga. Bukankah kenikmatan hakiki itu adalah kenikmatan di hati
dan bukankah azab hakiki itu adalah azab di hati? Azab mana yang paling hebat
dari ketakutan, kegundahan, kesedihan, kesempitan, berpaling dari Allah,
melupakan hari akhir, bergantung pada selain Allah dan putus hubungan
dengan-Nya. Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr[89]:27-30)
Ibnu Qayyim
berkata lagi, “Sebaik-baik apa yang ada di dalam dunia adalah mengenal-Nya dan
mencintai-Nya. Paling lezat apa yang ada di dalam dunia adalah melihat-Nya dan
menyaksikan-Nya. Mencintai-Nya dan mengenal-Nya adalah penyejuk mata, kelezatan
jiwa, kebahagiaan hati dan kenikmatan dunia dan kesenangannya. Bahkan kelezatan
dunia tanpa cinta dan mengenal-Nya dapat berubah menjadi kepedihan dan siksa,
serta kehidupan tetap terasa sempit. Maka, tidak ada kehidupan yang lebih baik
kecuali dengan ridha Allah Swt.”
Ibnu Qayyim
juga berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba
daripada menghadap kepada Allah, sibuk menyebut-Nya dan merasakan kenikmatan
cinta-Nya serta mengutamakan ridha-Nya, bahkan tidak ada satupun kehidupan dan
kenikmatan tanpa ridha-Nya, tidak ada kegembiraan juga tidak ada kesenangan
kecuali dengan ridha-Nya.”
Ibnu Qayyim
juga berkata, “Orang-orang yang berbakti selalu dalam kenikmatan, sekalipun
kehidupan mereka susah dan dunia bagi mereka terasa menghimpit. Sedangkan
orang-orang fasik selalu dalam neraka (azab), sekalipun dunia terasa luas bagi
mereka. Allah Swt berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. An Nahl[16]:97)
Dalam
tafsir ayat, “Dan barang siapa berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta" (QS. Thâhâ[20]:124), kehidupan sempit itu ada
yang mengartikan dengan azab kubur. Memang tidak ada yang meragukan bahwa azab
kubur itu adalah kehidupan yang sempit. Lafal dalam ayat itu mencakup apa yang
lebih umum, sebab bentuk lafalnya nakirah (tidak jelas).
Sebenarnya,
walaupun orang yang berpaling dari peringatan Allah itu hidup dalam berbagai
kenikmatan di dunia, namun di dalam hatinya penuh dengan kegelisahan, kehinaan
dan kerugian akibat dari angan-angan dan azab. Namun itu semua tertutup oleh
gelombang syahwat dan mabuk cinta dunia atau kepemimpinan, sekalipun tidak
mabuk karena minuman. Mabuk seperti ini lebih dahsyat dari mabuk karena minuman
keras. Mabuk karena minuman bisa saja membuat pelakunya sadar, sedangkan mabuk
karena hawa nafsu dan cinta dunia tidak akan dapat menyadarkan pelakunya
kecuali ketika dia sudah berada di antara tentara kematian. Kehidupan
yang sempit pasti terjadi pada orang yang berpaling dari peringatan Allah yang
telah menurunkan peringatan itu lewat Rasulullah Saw, baik di dunia, di alam
barzakh maupun di hari kiamat nanti. Matanya tak akan pernah sejuk, hatinya tak
akan pernah tenang dan jiwanya tak akan pernah tentram kecuali dengan izin
Tuhannya dan Dzat yang layak untuk disembahnya. Setiap sesembahan selain Allah
adalah batil.
Siapa yang
matanya sejuk dengan Allah, pasti semua mata akan sejuk dengannya dan siapa
yang matanya tidak pernah sejuk dengan Allah, pasti jiwanya akan merasakan
kekeringan. Sesungguhnya Allah menciptakan kehidupan yang baik hanya untuk
orang-orang yang beriman dengan-Nya dan beramal saleh, sebagaimana firman-Nya,
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl[16]:97)
Orang yang
beriman dan beramal saleh pasti mendapatkan balasan di dunia dengan kehidupan
yang baik dan mendapatkan surga di akhirat kelak. Mereka mendapatkan dua
kehidupan yang baik dan mereka akan tetap hidup di dua negeri itu.”
...Bersambung...
EPISODE KELIMA
Di tepi jalan utama menuju dataran
luas yang terletak antara lembah ‘Alan dan lembah Riqad.
Kemah
pasukan kaum muslimin yang menjadi pusat komando terletak di pusat kawasan itu.
Di belakang sebelah kanannya, terlihat bagian bawah kaki bukit yang merupakan
tempat perkemahan para wanita muslimah. Di depan perkemahan itu terdapat tanah
lapang yang bersambung dengan medan pertempuran yang terletak di sebelah kiri.
Terlihat
Khalid bin Walid sedang berdiri, di sekelilingnya terdapat pula Amr bin Ash,
Yazid bin Abu Sufyan, Sa’id bin Zaid, Syurahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah dan
Mu’adz bin Jabal.
Khalid : “Katakan
apa yang ada di benak kalian, saya akan dengan senang hati mendengarkannya
dengan sungguh-sungguh dari kalian.”
Amr : “Anda
memberi bagian sepuluh bagian pasukan (detasemen) kepada saya di daerah sayap
sebelah kanan. Dan saya sudah mengeceknya ke sana hari ini, tapi ternyata hanya
melihat empat detasemen.”
Yazid : “Begitu
juga dengan saya di sisi sebelah kiri, yang tersisa hanya empat dari sepuluh
detasemen yang seharusnya.”
Khalid : “Saya
mengirim mereka menuju ke arah timur dan barat.”
Amr :
“Bukankah anda dapat meninggalkan kedua sisi itu (tidak menempatkan pasukan
dari sayap kanan dan kiri) dan anda dapat mengambil pasukan langsung dari
pusat?”
Khalid : “Beri
dia jawaban, wahai Abu Ubaidah. Dia tidak tahu kalau saya juga mengambil dua
belas detasemen dari pasukanmu.”
Yazid dan Amr: “Dua belas detasemen?”
Abu Ubaidah : “Ya,
di pusat hanya tertinggal delapan detasemen.”
Amr :
“Peperangannya berlangsung di sini, wahai Abu Sulaiman, bukan di sana.”
Khalid : “Kita
tidak mungkin mengharapkan peperangan terjadi di sini. Kecuali dengan
orang-orang (pasukan musuh) yang berada di sana, mengepung di belakang kita.”
Amr : “Dua
puluh empat detasemen demi untuk menjaga barisan belakang?”
Khalid : “Demi
Allah, saya lebih senang lagi kalau saya dapat menambah jumlahnya.”
Amr : “Demi
Allah wahai Khalid, kamu telah menjadi orang yang berlebih-lebihan.”
Khalid : “Apa
yang kamu bicarakan wahai Amr bin Ash? bukankah kamu sudah berjanji kepadaku
hari ini kalau kamu tidak akan mempertanyakan lagi apa yang akan saya lakukan?”
Amr : “Saya
tidak akan diam sebelum kamu menerangkan rencanamu, dengan begitu saya dan
orang-orang yang bersama saya akan tenang.”
Khalid : “Wahai
Abu Abdullah, bukankah kamu telah menanyakan hal ini sejak awal? kalian semua
tahu kalau kita telah mengepung tentara Romawi di dataran luas ini?!”
Para hadirin : “Ya,
benar.”
Khalid :
“Pengepungan tidak akan sempurna selama mereka punya jalan yang dapat
dilaluinya yaitu yang berada di lembah Riqad untuk menuju ke timur dan jalan
yang berada di lembah ‘Alan untuk menuju ke arah barat.”
Yazid : “Apakah
kamu khawatir, wahai Abu Sulaiman, kalau datang bala bantuan dari Heraklius
untuk mereka, melalui dua jalur itu?”
Khalid : “Bukan
bala bantuan yang saya khawatirkan, tetapi justru yang saya khawatirkan adalah
kalau mereka melarikan diri.”
Yazid : “Kamu
khawatir kalau mereka melarikan diri dari dua celah itu?”
Khalid :
“Ya, ketika mereka merasa takut dan
terdesak pasti mereka akan melakukan itu. Karena itu, saya tempatkan pasukan di
sana. Dengan begitu ketika mereka akan melarikan diri, mereka akan menemukan
pasukan kita berada di jalan bagian atas mereka untuk menutup setiap celah yang
dapat dipergunakan untuk lari. Dengan begitu mereka tidak akan menemukan jalan
keluar selain jaring itu (yang kita pasang) yang mereka anggap gampang untuk
melewatinya.”
Amr : “Ini ide
yang cemerlang, wahai Abu Sulaiman. Tetapi dua puluh empat detasemen itu sangat
banyak.”
Khalid : “Justru
itu sedikit sekali Amr. Mereka juga
mengepung dan mengancam pasukan garis belakang kita, juga dengan pasukan
Jabalah bin Aiham yang berjumlah sekitar enam puluh ribu orang.”
Amr :
“Barangkali mereka akan berperang di sini, di tanah lapang ini.”
Khalid : “Bahan
sudah mencium adanya perangkap yang dipasang untuknya. Dan tidak ada jalan
keluar baginya kecuali dengan mengirimkan pasukan Arab yang tangkas itu untuk
mengepung kita dari belakang dan mereka akhirnya akan menyingkirkan kita dari
jalan sempit ini. Padahal daerah ini sangat strategis sekali.”
Amr : “Jika
dia tidak melakukan hal itu?”
Khalid : “Kita
tidak akan rugi apa-apa. Pasukan kita yang berjumlah dua puluh empat detasemen
itu dapat dengan mudah menyerang mereka dari belakang dan itu akibatnya akan
lebih buruk bagi mereka di sana jika dibandingkan mereka tetap tinggal di
sini.”
Amr : “Kamu
mengirim lebih dari setengah pasukan berkuda ke sana. Lalu kepada siapa kamu
memberikan kendali pasukan kita?”
Khalid : “Saya
menetapkan dua bagian yang dipimpin Ubadah bin Shamit dan Umairah bin Sa’ad
untuk menempati bagian timur serta Sa’id bin Amir untuk bagian barat.”
Amr : “Mereka
bertiga semuanya dari kaum Anshar?”
Khalid : “Ya,
karena orang-orang dari suku Ghassan itu dulunya adalah pengikut Jabalah yang
mempunyai hubungan nasab dengan suku Aus dan Khazraj. Karena itu, saya
mengharapkan mereka dapat menjadi utusan perdamaian bagi pasukan musuh. Nah
sekarang, apakah kalian masih punya pertanyaan lagi?”
Para hadirin :
“Selamat wahai Abu Sulaiman. Semoga Allah selalu memberi kebaikan yang banyak
kepadamu.”
Khalid :
“Sekarang, silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing, semoga Allah
memberi rahmat-Nya kepada kalian.” (mereka akan beranjak pergi, namun Khalid
menghentikannya).
“Tunggu
sebentar... Itu ada salah satu pasukan mereka (Romawi) telah datang sambil
membawa bendera perdamaian. Itu dia, Jurjah!”
Abu Ubaidah :
“Benar....Itu sahabat kita, Jurjah.”
Syurahbil :
“Lihatlah apa yang dia inginkan?”
Yazid : “Apakah
kalian percaya dengan keikhlasannya?”
(derap
suara kaki kuda yang berlari telah lenyap, lalu muncullah Jurjah)
Abu Ubaidah :
“Selamat datang...selamat datang Jurjah!”
Jurjah :
“Assalamu’alaikum.”
Para hadirin :
“Waalaikum salam.”
Jurjah : “Saya
adalah utusan Bahan yang dikirim kepada kalian. Apakah saya dapat memberikan
suratnya sekarang?”
Khalid : “Berikan
saja, Jurjah. Tidak ada rahasia di antara kami.”
Jurjah : (dengan
dialek dan nada persahabatan) “Bahan sekarang dalam keadaan yang sangat susah.
Lebih-lebih setelah kekalahan pasukan Jabalah bin Aiham di sebelah barat dan
timur. Merekapun diusir dan dikeluarkan dari pasukan Romawi. Jabalah sendiripun
sampai sekarang belum kembali, tidak diketahui nasibnya apakah dia sudah mati
atau masih hidup.”
Abu ubaidah :
“Alhamdulillah...ini berita yang menyenangkan, Jurjah.”
Jurjah :
“Sekarang Bahan telah yakin kalau semua pasukannya akan binasa jika ia tidak
segera keluar dari kepungan ini. Karena itu, dia mengirimku untuk mengajukan
genjatan senjata kepada kalian di mana semua pasukan Romawi akan mundur dari
dataran luas ini. Begitu juga dengan pasukan kalian. Mereka akan kembali ke
Antokiyah dan Qisariyah sedangkan kalian juga akan kembali ke Damsiq, Hims dan
seluruh kota yang telah kalian tinggalkan di sebelah timur.”
Khalid : “(Dengan
nada bergurau) dan kamu menasehati kami agar menerima gencatan senjata itu?”
Jurjah : “Kalau
itu saya lakukan, lalu dimana rasa keislamanku, Khalid?”
Khalid :
“(Tersenyum) saya kira begitu. Oh ya, apakah kamu telah melakukan sesuatu yang
telah kita sepakati untuknya (Bahan)?”
Jurjah : “Sudah,
aku sudah melakukan dari berbagai sisi. Saya sudah menghasut mereka, antara
yang satu dengan yang lain sampai saya juga sudah dapat menghancurkan hubungan
antara orang Romawi dan Arab dan antara orang Arab dengan orang-orang Armenia.”
Khalid : “Selamat
untukmu, Jurjah. Demi Allah, kamu adalah sebaik-baik pasukan batalyon bagi
kami.”
Khalid : “Ini
semua adalah berkat kamu.”
Khalid :
“Kembalilah kepada Bahan dan katakan kepadanya: ”Sekarang, setelah anda dan
pasukan anda berada di bawah genggaman kami anda meminta gencatan senjata?
Tipulah orang lain selain aku.”
Jurjah : “Jadi
bersiaplah kalian semua! Dia akan melakukan serangan besar-besaran di dataran
ini supaya dia dan pasukannya dapat keluar dari kepungan ini.”
(Bersiap
untuk pergi).
Khalid : “Sampai
ketemu lagi. Semoga keselamatan selalu menyertaimu.”
(Lalu
Jurjah keluar).
Amr :
“Alangkah hebatnya kamu, Khalid. Tidak ada suatu halpun yang kamu persiapkan
kecuali kamu juga telah menyiapkan segala perlengkapannya.”
Syurahbil : “Para
pasukan di sana bertempur melawan kaum musyrikin dan mengalahkan mereka.
Sedangkan kami di sini mencelamu karena kamu mengirim mereka.”
Mu’adz : “Kamu
memang benar-benar pedang Allah sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW.”
Abu Ubaidah :
“(Memeluk Khalid dengan penuh cinta dan penghormatan) hebat... kamu hebat,
wahai Abu Sulaiman.”
Khalid : “(Tampak
kelembutannya) Wahai kepercayaan umat ini, wahai sahabat Rasulullah, demi Allah
saya sangat senang kalau bisa mati dalam peperangan karena dulu aku justru
memerangi Nabi dan kaum muslimin di perang Uhud!” (air mata bercucuran di kedua
matanya).
Abu Ubaidah :
“Tenanglah kamu, sesungguhnya agama Islam telah menghapus segala apa yang kamu
lakukan oleh dirimu sebelumnya.”
Khalid : “Benar,
tetapi setiap kali saya mengingat peristiwa perang Uhud, tenggorokanku seperti
tersendat duri ilalang.”
Khalid :
“(Mengusap air matanya) mari, sekarang kembalilah kalian semua ke pos kalian
sebelum Bahan menyerang kita dengan tiba-tiba. Kamu Amr, posisimu di sebelah
kanan dan akan menghadapi Dranger. Kamu Yazid, posisimu di sebelah kiri dan
kamu akan menghadapi Ibnu Qunathir. Dan kamu, Abu Ubidah, posisimu berada di
jantung pertahanan pasukan garis belakang untuk menggempur pasukan yang mundur
karena pertempuran yang sangat hebat. Dan kamu, Mu’adz bin Jabal, kamu pergi
bersama Abu Ubaidah. Sedangkan Sa’id bin Yazid dan Syurahbil berada di jantung
pasukan garis depan untuk menghadapi Bahan dan Jurjair.”
Abu Ubaidah :
“Kami akan mentaati perintahmu, wahai Abu Sulaiman.” (mereka keluar).
(Dari sisi
lereng gunung sebelah kanan, muncul Ummu Tamim beserta jama’ah kaum wanita
dengan dipimpin oleh Asma` binti Abu Bakar).
Ummu Tamim: “Kami utusan kaum wanita, Khalid!”
Khalid : “Selamat
datang wahai para mujahid wanita.”
Asma` : “Kamu
menerima permintaan kami, Abu Sulaiman?”
Khalid : “Ya,
sekarang lihatlah rencanaku ini. Saya telah memukul mundur (Bahan) sampai ia
berada di tengah jalan yang sempit ini. Karena itu para penyerang dari pasukan
Romawi maupun pasukan yang kalah dari pihak kaum muslimin tidak akan dapat
melewati daerah ini kecuali setelah melangkahi tubuhku dan tubuh pasukanku.
Sedangkan daerah anak bukit, yang menjadi tempat tinggal kalian sekarang, akan
menjadi penghalang bagi orang yang akan lari dari daerah jalan yang sempit itu.
Karena itu, kalian harus menjaganya sebagaimana aku menjaga jalan daerah sempit
ini. Jangan biarkan seorangpun, baik dari pihak tentara Romawi maupun pasukan kaum
muslimin, menuju ke arah kalian. Jika mereka akan melewati kalian, maka
lemparilah dengan batu atau pukullah dengan kayu dan tongkat. Wahai para wanita
muslimah, pada hari yang sulit ini, saya bergantung dan bersandar pada kalian.
Juga jangan sampai kaum muslimin datang dari arah kalian.”
Asma` : “Wahai
Abu Sulaiman, kamu akan melihat kemampuan yang kami miliki dan insya Allah itu
akan membuatmu gembira.”
Khalid : “Insya
Allah, wahai Ummu Tamim, mau kemana kamu?”
Ummu Tamim: “Ke anak bukit itu bersama mereka.”
Khalid : “Tidak,
kamu dan Ummu Hakim tetap berada di sini bersamaku untuk menjaga jalan sempit
ini.” (para wanita itupun, selain Ummu Tamim dan Ummu Hakim, keluar)
Khalid :
“Bukankah lebih baik bagi kalian berdua untuk dekat dengan suami kalian?”
Ummu Hakim: “Mana suamiku paman?”
Khalid :
“Ikrimah! kemarilah!”
(Ikrimah
pun masuk dari sebelah kiri).
Ikrimah : “Apakah
kamu ingin menempatkan mereka berdua di sini, Khalid?”
Khalid : “Ya,
saya tidak akan meninggalkan mereka berdua terus menerus berada di tenda sampai
datang kemenangan dari Allah. Lihatlah Ikrimah, apa itu?”
Ikrimah :
“Penglihatanku tidak lebih tajam darimu.”
Khalid : “Seorang
tentara Romawi telah datang, barangkali dia ingin melakukan mubarazah (pertandingan
satu lawan satu).”
Ikrimah : “Lalu,
siapa itu yang di belakangnya?”
Khalid : “Kalau
mataku tidak salah, itu adalah Abu Basyir. Yah, itu dia.”
Abu Basyir :
“(Suaranya) wahai orang-orang muslim, siapa saja dari kalian yang ingin
mencicipi rasanya mati, maka lawanlah Petrik yang tidak pernah terkalahkan
ini!”
Suara : “Biarkan
saya menghadapinya, Khalid!”
Khalid : “Jangan,
wahai Maisarah bin Masruq. Kamu sudah tua sedangkan orang Romawi itu masih
muda. Tetaplah di sini bersama kami, di regumu, semoga Allah merahmatimu. Saya
tahu kalau kamu adalah orang yang besar penghormatannya terhadap orang lain.”
Suara : “Jika
kamu mengizinkan saya, maka saya saja sudah cukup untuk menghadapinya.”
Khalid : “Amr bin
Tufail! Jangan, wahai anak saudaraku. Kamu baru beranjak dewasa. Tetaplah
bersama kesatuanmu.”
Suara : “Saya
saja Khalid. Biarkan saya melawannya.”
Khalid : “Siapa
kamu?”
Suara : “Saya
adalah Harits bin Abdullah al-Azdi.”
Khalid :
“Lakukanlah, semoga kamu menang. Pelan-pelan saja Harits!”
Suara : “Apa
yang kamu inginkan?”
Khalid : “Apakah
kamu pernah bertanding satu lawan satu dengan Petrik sebelumnya?”
Suara : “Tidak.”
Khalid : “Kalau
begitu, kamu jangan melawannya, biarkan orang lain selain kamu yang
melawannya.” (lalu muncullah Qais bin
Hubairah di hadapan Khalid).
Qais : “Wahai Khalid, saya kira kamu mengetahui
segala jati diri dan kemampuanku dengan baik.”
Khalid : “Oh ya,
demi Allah, kamu adalah Qais bin
Hubairah. Kamu pernah bertarung satu lawan satu melawan dua Petrik pada saat
perang Jabiyah dan kamu dapat membunuhnya. Nah sekarang saya harap kamu dapat
membunuh Petrik yang ketiga ini!”
Abu Basyir :
“(Terdengar suaranya dari jauh) kalian telah menjadikan Petrik ini menunggu
lama. Jika kalian tidak ingin melawannya maka dia akan kembali!”
Khalid : “Wahai
Qais, saya akan menghadapinya jika kamu tidak mau melakukannya.”
Qais : “Jangan,
biarkan kehormatan ini untuk saya, wahai Abu Sulaiman.” (Ia bergegas keluar.
Kemudian terdengar suara ringkikan kudanya dan iapun melagukan sebuah sya’ir);
Tanyakanlah kepada wanita desa yang
bergelang kaki.
Bukankah pada hari peperangan saya adalah
pahlawannya?
Dan yang
membunuh para panglimanya (musuh)?
Ikrimah : “Mereka
saling menyerang.”
Khalid : “Ya
Allah, tolonglah Qais bin Hubairah!”
Ikrimah : “Apakah
kamu mengkhawatirkan Qais?”
Khalid : “Ya,
tetapi Allah akan memberikan kemenangan kepadanya.”
Ikrimah :
“Menakjubkan, saya kira dia tidak membiarkan
Qais untuk bernafas walaupun hanya sesaat.”
Khalid : “Bahkan
dia adalah pahlawan yang pemberani dan tidak lemah. Lihatlah pukulan dan ketangkasanya.”
Ikrimah : “Apakah
kamu telah tahu hal itu sejak awal?”
Khalid : “Ya,
saya telah memperhatikan dengan seksama gerakan dan kelincahannya. Ya, barang
kali saya harus keluar untuk menghadapinya.”
Ikrimah : “Allahu
akbar! orang kafir itu jatuh tersungkur menjadi korban!”
Khalid :
“Alhamdulillah!”
Kaum muslimin: “(Dengan suara yang serempak) Allahu
akbar....Allahu akbar!”
Khalid : “Wahai
kaum muslimin, tidak ada lagi yang dapat kalian lihat setelah ini kecuali
kemenangan. Bergembiralah, demi Allah mereka tidak akan merasa senang dengan
kejadian ini, terutama tentara ini, yang tergeletak di atas tanah!”
Ikrimah : “Mereka
menyerang kita, Khalid!”
Khalid : “Wahai
kaum muslimin, tentara Romawi menyerang kalian karena serangan satu orang untuk
membebaskan diri mereka dari daerah sempit ini. Karena itu, hadapilah mereka
dan jangan menyingkir. Bersabarlah! Bersabarlah! Sesungguhnya kemenangan hari
ini akan menjadi bencana bagi salah satu pihak yang kalah.”
(Pertempuran
semakin sengit, terdengar pekikan suara perang, dentingan pedang yang beradu
dan suara ringkikan kuda).
Ikrimah : “Betapa
cepatnya serangan mereka terhadap pasukan kita, barangkali sebaiknya aku ikut berperang, Khalid. Saya jangan
sampai tetap di sini, hanya menjadi penonton saja.”
Khalid : “Celaka
kamu Ikrimah, kamu memang harus bertempur di sini, di jalan sempit ini karena
tempat inilah tujuan serangan mereka!”
Dhirar :
“(Suaranya) wahai Abu Sulaiman!”
Khalid : “Berita
apa yang kamu bawa, Dhirar?”
Dihrar :
“Serangan mereka di sisi sebelah kanan semakin hebat sehingga sebagian besar
pasukan musuh dapat memasuki daerah tersebut.”
Khalid :
“Pergilah dan katakan kepada Amr bin Ash untuk tetap di tempatnya dan terus
berusaha menghalang-halangi mereka yang ingin masuk kawasan tersebut. Kami akan
mencegah pasukan musuh yang berada di depannya dari sebelah kiri. Wahai Qais
bin Hubairah!”
Suara : “Ya.”
Khalid :
“Tolonglah pasukan yang berada di sebelah kanan dan tahan pasukan musuh yang
berada di depan mereka. Wahai Qais, jika kamu mampu untuk membunuh Dranger,
maka lakukanlah!”
Qais :
“(Suaranya) saya akan membunuhnya, insya Allah.”
Suara : “Wahai
Abu Sulaiman!”
Khalid : “Berita
apa yang kamu bawa, Dhahak bin Qais?”
Suara : “Daerah
sisi sebelah kiri sudah terbuka tetapi pertempuran masih tetap berlangsung.
Para pemegang bendera masih tetap di tempatnya, begitu juga dengan para pasukan
yang menjaga daerah itu. Sedangkan para pasukan Romawi sendiri menaiki punggung
(untuk meloncat) pasukan kita yang kalah.”
Khalid :
“Ambilkan peciku, wahai Ummu Tamim! Dan kamu Ikrimah, kamu harus tetap di sini
sampai aku kembali dari menolong mereka.”
(Ummu
Tamim mengambil pecinya dan iapun bergegas untuk keluar) Wahai Qa’qa’ bin Amr
dan Rafi’ bin Umaiarah, kemarilah. Pergilah bersamaku!”
(Amr bin
Ikrimah masuk dan berhenti di samping ayahnya).
Amr :
“Lihatlah ayah, orang-orang yang kalah (dari pihak kaum muslimin) itu melarikan
diri menuju anak bukit itu dan di belakang mereka ada pasukan musuh yang
mengejarnya.”
Ikrimah : “Hai
anakku, kamu mempunyai badan yang ringan. Karena itu naiklah dari sisi ini dan
peringatkan para wanita serta tolonglah mereka.”
Amr : “Saya
akan naik bagaikan kilat, ayah.” (keluar dari sisi anak bukit).
Ummu Hakim: “Semoga Allah menjagamu, wahai anakku.”
Suara : “Wahai
Abu Sulaiman!”
Ikrimah : “Dhirar
bin Azwar...berita apa yang kamu bawa?”
Suara : “Mana
Khalid?”
Ikrimah : “Keluar
untuk membantu pasukan yang berada di sayap kiri dan saya menggantikan
posisinya. Jadi berita apa yang kamu bawa?”
Suara : “Pasukan
sayap kanan kita telah menutup semua jalur keluar bagi pasukan musuh yang
memasuki medan tersebut sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang
selamat.”
Ikrimah : “
Alhamdulillah.”
Ummu Tamim: “Perintahkan dia, wahai Ikrimah, untuk
menyusul Khalid dan memberitahukan berita gembira ini.”
Ikrimah :
“Sekarang pergilah kamu kepada Khalid yang berada di sayap kiri untuk
memberikan kabar gembira ini.”
Suara : “Baiklah
Ikrimah.”
Ummu Hakim: “Lihatlah, wahai Ummu Tamim! Lihatlah
orang-orang yang menaiki bukit itu, mereka semua turun sambil melarikan diri.”
Ummu Tamim: “Dan wajah-wajah mereka berlumuran darah.”
Ikrimah : “Betapa
hebatnya para wanita muslimah itu.”
Ummu Hakim: “Nah lihatlah, para wanita itu menghalau
mereka!.”
Ummu Tamim: “Dan anakmu, Amr, bersama mereka sambil
mengibas-ngibaskan pedangnya!”
Ummu Hakim: “Mari kita ke sana untuk bisa melakukan itu
bersama mereka!”
Ummu Tamim: “Saudaramu yang memerintahkan?”
Suara : “(Dari
arah bukit) Allah mencela orang-orang yang lari dari isterinya dan orang-orang
yang lari dari suaminya.”
Suara yang lain: “Wahai para wanita Arab! Ayo kita
halangi mereka. Kita halangi orang-orang yang lari dari medan perang. Orang
yang lari dari wanita yang bertaqwa.”
Suara lain :
“Wahai orang-orang yang lari dari para wanita yang bertaqwa (karena melarikan
diri)!”
Ummu Tamim: “Itu Khaulah binti Tsa’labah.”
Suara : “Kamu
akan dilempari anak panah dan kematian.”
Suara : “Kamu
akan dilempari anak panah dan kematian.”
Suara : “Apakah
kamu rela melihat kami menjadi tawanan?”
Suara : “Apakah
kamu rela melihat kami menjadi tawanan?”
Suara : “Tanpa
penghargaan dan kebahagiaan.”
Serempak : “Tanpa
penghargaan dan kerelaan.”
Suara : “Wahai
para wanita muslimah, Khalid bin Walid memerintahkan kalian untuk kembali ke
tempat kalian di atas bukit.”
Ummu Tamim: “Itu adalah suara Dhirar bin Azwar, dia telah
menyusul Khalid.”
Ummu Hakim: “Dan itu pamanku, dia telah kembali.”
Ummu Tamim: “Dia terluka.” (dia masuk ke dalam tenda dan
keluar lagi sambil membawa kain lap dan perban)
(Khalid
masuk).
Ikrimah : “Kamu
baik-baik saja Khalid?!”
Khalid : “Saya
habis menyemangati pasukan kita yang berada di sayap kiri dan untuk kembali
lagi ke barisannya. Saya juga mencari Ibnu Qunathir, tetapi tidak menemukannya.
Padahal saya sudah mengitari pasukannya. Kalau bukan karena jalan sempit ini,
tentu aku sudah berspekulasi untuk mencarinya ke segala arah dan menahannya.”
(Ia
mendekat kepada Ummu Tamim dan membuka lukanya yang berada di lengannya.
Kemudian Ummu Tamim pun mengobati dan mengikat luka itu dengan perban).
Ikrimah : “Justru
kamu telah melakukan suatu hal yang tepat, Khalid. Sebab tidak baik kamu
menyelinap dan berspekulasi demi satu orang, padahal di sisi lain kamu adalah
pemimpin tentara ini.”
Khalid : “Kamu
betul, Ikrimah.”
(Amr bin
Ikrimah masuk).
Amr : “Apa
yang terjadi denganmu paman? apakah kamu terluka?”
Khalid : “Ah,
hanya luka kecil. Beri tahu aku, apa yang telah dilakukan para wanita itu di
atas bukit?”
Amr : “Mereka
mengayunkan pedang, tongkat dan melempari dengan batu sehingga ada empat belas
tentara muslim yang terluka dan salah satunya meninggal. Mereka juga membunuh
tiga orang tentara Romawi.”
Ummu Hakim: “Dan kamu, apakah kamu tidak membunuh satupun
dari mereka?”
Amr : “Bahkan
saya telah membunuh satu prajurit Romawi dan melukai dua orang lainnya.
Sedangkan yang lainnya melarikan diri untuk kembali ke kesatuan mereka.”
Khalid : “Tidak,
mereka tidak kembali lagi ke kesatuan mereka Amr.”
Amr : “Itu
benar paman. Mereka telah kembali ke kesatuannya.”
Khalid : “(Dengan
tertawa) mereka telah disambar oleh pedang kaum muslimin sebelum mereka
melakukan itu.” (kembali).
Suara : “Wahai
Abu Sulaiman...wahai Abu Sulaiman!”
Amr : “Itu Abu
Hasyim bin Utbah, ia bersama Hindun.”
Khalid : “Abu
Hasyim bin Utbah, ada apa denganmu? apakah matamu terluka? kemarilah biar Ummu
Tamim mengobatimu.”
Ikrimah : “Atau
Ummu Hakim.”
Abu Hasyim : “(Ia
masuk bersama Hindun dengan keadaan di
perban mata sebelah kanannya) untuk apa kamu mendatangkan ini Khalid? saudara
saya, Hindun, telah megobati dan memperbannya seperti yang kamu lihat. Saya
datang ke sini hanya memintamu supaya dapat menemukan cara agar terhindar dari lemparan tombak
orang-orang Armenia. Banyak sekali pasukan kaum muslimin yang menjadi sasaran
tombak mereka di matanya.”
Ummu Tamim: “(Selesai mengikat luka Khalid) kemarilah,
duduk dan istirahatlah di sini wahai Abu Hasyim.”
Abu Hasyim :
“Saya akan kembali ke kesatuanku.”
Hindun :
“Istirahatlah dulu walau hanya sebentar sampai lukamu mengering. Kalau kamu
mau, ayo ke tempatku di atas bukit itu.”
Abu Hasyim :
“Tinggalkan saya sekarang Hindun. Besok kita bisa istirahat. Wahai Abu
Sulaiman, saya telah menyampaikan keadaan yang aku ketahui. Maka ambillah
tindakan.” (keluar dengan penuh kekuatan, semangat dan keteguhan hati yang
mendalam untuk mati syahid).
Khalid : “Hai
Dhahak bin Qais!”
Suara : “Ya.”
Khalid :
“Pergilah untuk mencari Amr bin Ash, Sa’id bin Zaid, Yazid bin Abu Sufyan dan
Abu Ubaidah. Lalu perintahkan mereka untuk datang ke sini sekarang juga.
Katakan kepada mereka kalau saya ingin bermusyawarah dengan mereka untuk
masalah yang sangat penting secepatnya!”
Suara : “Baiklah
Khalid.”
Suara :
“(Terdengar dari jauh) wahai pertolongan Allah, mendekatlah! wahai orang Islam,
berjihadlah! berjihadlah! bersabarlah! bersabarlah!”
Khalid :
“Bukankah itu suara Abu Sufyan, wahai Hindun?”
Hindun : “Benar,
wahai Abu Sulaiman. Tidak ada yang tersisa darinya selain suaranya.”
Khalid :
(Memanggil) “Wahai Abu Sufyan...hai Abu Sufyan!”
Suara : “Ya.”
Khalid :
“Kemarilah, ke sini.”
Hindun : “Apa
yang akan kamu lakukan terhadapnya?”
Khalid : “Kami
mendengarkannya dan kami suka mendengarkan pendapatnya.”
(Abu
Sufyan masuk).
Abu Sufyan :
“Hah! apa yang telah dia (Hindun) lakukan di sisi kalian?”
Hindun : “Dan
kamu, apa yang kamu lakukan, wahai orang tua jelek?”
Abu Sufyan :
“Bukankah kamu mendengarkan suaraku?”
Hindun : “Wahai
pertolongan Allah, mendekatlah!!” (para hadirinpun tertawa).
Abu Sufyan :
“Bukankah itu lebih baik dibandingkan kata-kata, ”Kami anak perempuan jalanan,
berjalan di atas bantal.”
Hindun : “Semoga
Allah mencelakaimu. Apakah kamu tidak bisa berkata selain perkataan yang
memalukan itu? Apakah kamu juga tidak ingat ketika kamu memanggil, ”menjadi
mulialah Hubal! kami mempunyai ‘Izza sedangkan kalian tidak!” (mereka tertawa).
Abu Sufyan :
“Yang telah berlalu biarlah berlalu. Sekarang Allah telah memuliakan kita
dengan Islam.”
Hindun : “Jadi
bersyukurlah atas segala nikmat-Nya. Dan berjihadlah di jalan-Nya seperti
jihadnya para mukhlisin (orang-orang yang ikhlas).”
Abu Sufyan :
“Celaka kamu. Hari ini saya sungguh-sungguh berjihad di jalan Allah.”
Hindun : “Dengan
ujung lidahmu.”
Abu Sufyan :
“Wahai Hindun, saya senang kalau masa mudaku kembali. Dengan begitu saya dapat
memacu kudaku untuk dapat berlari dengan cepat dan menerobos barisan pasukan
musuh dengan bendera Islam di tangan.”
Hindun :
“Bagaimana mungkin? bendera Islam dibawa oleh Assabiqunal awwalun (orang-orang
yang pertama masuk Islam).”
Abu Sufyan :
“Kalaupun saya kehilangan kesempatan itu, maka biarlah Yazid, anakku, yang
dapat berbuat itu. Dia sekarang menjadi komandan batalyon kaum muslimin. Dan
saya punya peran di dalam sifat kemuliaan dan keutamaan yang dimilikinya itu.”
Hindun : “Besok
anakku, Muawwiyah, akan munucul dan mengunggulinya.”
Abu Sufyan :
“Celaka kamu, apakah kamu tidak malu duduk-duduk di sini sedangkan para wanita
muslimah lainnya sedang dalam keadaan payah dan sedang bekerja keras untuk
membawa kantong air bagi yang haus dan mengobati orang-orang yang luka?!”
Hindun : “Celaka
kamu, itulah yang sedang saya lakukan. Bukankah kamu melihat kantong air dan
kain lap luka ini bersamaku?”
Abu Sufyan : “Dan
kamu duduk di sini?”
Hindun : “Siapa
yang mengatakannya kepadamu? saya datang bersama Abu Hasyim yang terluka di
matanya lalu aku membalutnya. Dan aku menuntunnya sampai dia bertemu dengan Abu
Sulaiman.”
Khalid : “Ya...itu
benar wahai Abu Sufyan.”
Abu Sufyan : “Dan
di mana dia sekarang?”
Hindun : “Kembali
ke tempat pasukannya semula untuk bertempur dengan pedangnya, tidak dengan
lidahnya seperti kamu.”
Abu Sufyan :
“Hei, lihatlah! ini pedangku. Jika orang kafir datang mendekat maka aku akan
menebas batang lehernya.”
Hindun : “Jika
orang kafir mendekat kepadamu! bagaimana jika kamu mendekati mereka?!”
Abu Sufyan : “Apa
yang kamu bicarakan wahai perempuan? barangkali kamu mengharapkan saya mati
meninggalkanmu?”
Hindun : “Tidak..
jika Allah ingin memberi anugerah syahid, maka posisi dirimu lebih rendah di
sisi-Nya dibandingkan yang lain (kamu tidak pantas memperoleh predikat syahid).
Akan tetapi saya menginginkan sesuatu yang lain.”
Abu Sufyan : “Apa
itu?”
Hindun :
“Seandainya saja tombak yang mengenai mata Abu Hasyim itu mengenai matamu!”
Abu Sufyan :
“Semoga Allah mencelakakanmu, bukankah kamu lihat kalau saya sudah kehilangan
satu mata saya di peperangan Tha’if?”
Hindun : “Lalu
apa bahayanya jika kamu kehilangan mata yang kedua?” (para hadirin tertawa)
Ikrimah :
“Lihatlah Khalid, mereka telah datang.”
Hindun :
“Keluarlah kamu, wahai Abu Sufyan. Mereka mau mengadakan musyawarah.”
Abu Sufyan : “Dan
kamu, kenapa tiba-tiba telah menjadi ahli syura?” (para hadirin tertawa).
Hindun : “Tidak,
saya juga akan keluar.”
Khalid :
“Tinggalkan dia Hindun, barangkali dia dapat memberikan pendapat yang bagus
kepada kami yang menyangkut tempat kalian berdua.”
(Lalu
masuklah Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Sa’id bin Zubair, Zubair
bin Awwam, Rumanus dan Abdurrahman bin Abu Bakar Siddiq).
Abu Ubaidah :
“Saya datang bersama Zubair, Rumanus dan Abdurrahman bin Abu Bakar.”
Khalid : “Bagus
Abu Ubaidah. Selamat datang wahai Abu Abdullah, selamat datang Ibnu Abu Bakar
dan selamat datang wahai Abu Rum. Langsung saja, saya tidak akan menahan kalian
lama-lama karena waktu kita terbatas. Bagaimana pendapat kalian tentang pasukan
pelempar tombak dari Armenia itu?”
Amr : “Musibah
besar.... lemparan mereka telah mengenai mata ratusan kaum muslimin. Di antara
mereka ada pasukan pejalan kaki dan pasukan berkuda seperti Asytar An-Nakha’i,
Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqas dan Asy’ats bin Qais.”
Yazid : “Dan Abu
Hasyim bin Utbah!”
Khalid : “Apa
yang dapat kalian usulkan untuk mencari
jalan keluarnya?”
Yazid : “Saya
pikir para wanita sebaiknya turun dari atas bukit itu supaya lebih memudahkan
menyelamatkan korban yang luka-luka. Sebab jumlah korban luka-luka semakin
bertambah banyak.”
Sa’id : “Adapun
saya, saya telah memerintahkan pasukanku untuk mencari jejak pasukan berkuda
mereka dan mendekatinya, lalu apabila telah dekat mereka dapat menangkapnya
dengan sekali lompatan dan itu lebih baik daripada mempertahankan diri dari
lemparan tombak pasukan Armenia.”
Amr : “Adapun
saya, saya telah memerintahkan pasukanku untuk mengangkat tameng di sekitar
wajah mereka sehingga dapat
mengurangi jumlah pasukan yang terluka.”
Zubair : “Ini
semua tidak bermanfa’at banyak. Satu-satunya jalan adalah membinasakan dan
menghabisi orang-orang Armenia itu.”
Khalid : “Bagaimana
pendapatmu, Rumanus?”
Rumanus : “Apa
yang dikatakan Zubair benar. Tapi untuk mencapai hal itu sangatlah sulit.
Mereka dilindungi oleh bukit kecil yang berada di sebelah barat yang
mengelilingi mereka dari segala arah.”
Zubair : “Saya
akan menunjukkan bahwa bagi orang yang punya keinginan kuat dan niat yang
ikhlas hanya kepada Allah tidaklah sulit untuk menerobos ke sana. Berikan saya
waktu untuk mengoyak barisan musuh sehingga saya dapat sampai di bukit kecil
itu, kemudian kembali lagi lewat jalan lain insya Allah.“
Amr : “Apakah
kamu akan menerobosnya sendirian,
wahai Abu Abdullah?”
Zubair : “Ya.”
Khalid : “Semoga
engkau diberkahi, wahai murid Rasulullah. Dan supaya perbuatanmu itu dapat
menjadi contoh yang baik bagi kaum muslimin lainnya. Dengan demikian mereka
dapat mendobrak barisan musuh untuk menembus dan sampai di tempat para pelempar
tombak dari Armenia itu.”
Ikrimah : “Saya
pergi bersama Zubair.”
Abdurrahman: “Saya juga.”
Abu Ubaidah :
“Saya juga.”
Khalid :
“Pelan-pelanlah. Kamu, wahai Abu Ubaidah, adalah pemimpin jama’ah kaum
muslimin. Dan kamu Ikrimah, kamu akan bersama