Berbicara tentang senjata pemusnah massal, berbicara tentang perang. Otomatis dunia barat yang memiliki teknologi lebih maju, tak ayal lagi menjadi ujung tombak pembuat dan pengembang senjata pemusnah massal ini. dalam catatan ini akan sedikit mengupas mengenai dunia barat dan senjata pemusnah massal yang mengerikan ini. Dokumen Inggris menyatakan bahwa Irak positif memiliki senjata pemusnah massal dan berniat memiliki senjata nuklir. Namun dokumen itu menutup mata tentang fakta bahwa negara-negara Barat memiliki senjata pemusnah massal yang jauh lebih besar ketimbang Irak, bahkan lebih dari cukup untuk menghancurkan seisi bumi. Bab ini menyoroti persenjataan dan senjata pemusnah massal Barat serta bahaya besar yang dihadapi umat manusia, dan secara gamblang mengilustrasikan bagaimana Barat secara sistematis dan menyengaja telah menggunakan ‘senjata terparah sedunia’ (the world’s worst weapons).
- AS adalah negara pertama di dunia yang mengembangkan bom atom pada tahun 1945. Pemerintah AS melihat adanya kemungkinan untuk mengembangkan senjata nuklir yang memiliki daya rusak luar biasa. Sepanjang tahun 1940-an, mereka telah membelanjakan US$ 2 milyar untuk proyek bom atom, yang dikenal sebagai Proyek Manhattan; proyek yang menyita pikiran para ilmuwan dan ahli teknik mereka. Mereka melihat proyek ini sebagai upaya untuk menjadi negara pertama yang memiliki bom atom karena mereka menyadari betul kekuatan strategis yang akan mereka miliki di masa depan. Pada kurun 1940-an, uang US$ 2 milyar kira-kira setara dengan US$ 20 milyar nilai sekarang. Uji coba pertama bom atom milik AS adalah di kawasan uji Trinity, dekat Alamogordo, New Mexico. Berdasarkan pengamatan setelah ledakan, mereka menyimpulkan bahwa kekuatan bom tersebut setara dengan 20.000 ton TNT, jauh lebih dahsyat dari perkiraan semula.
- Pengamatan atas pengaruh ledakan nuklir. Para ilmuwan AS meneliti hasil ujicoba ledakan di Trinity, dan berikut ini adalah hasil pengamatan mereka. Tanah di bawah tempat ledakan terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan. Sampai radius setengah mil dari hiposenter (pusat ledakan) disebut vaporization point (fatalitas 98%, tubuh manusia hilang atau terbakar tanpa dapat dikenali). Di area ini, segala sesuatu hancur. Sedangkan temperaturnya mencapai 3000-4000C. Sampai radius 1 mil disebut total destruction zone (fatalitas 90%). Seluruh bangunan di atas permukaan tanah hancur. Sampai radius 1,75 mil disebut severe blast damage area (fatalitas 65%, cedera 30%). Bangunan besar runtuh, jembatan dan jalan rusak berat. Sampai radius 2,5 mil disebut severe heat damage area (fatalitas 50%, cedera 45%). Segala sesuatu dalam radius ini mengalami semacam luka bakar. Sampai radius 3 mil disebut severe fire and wind damage areas (fatalitas 15%, cedera 50%). Rumah dan bangunan lain rusak. Orang-orang terlempar dan mengalami luka bakar dengan stadium 2 dan 3, itupun jika mereka bertahan hidup.
- Serangan nuklir terhadap Jepang. Meskipun sudah mendapat gambaran pasti tentang daya rusak bom tersebut, pemerintah AS tetap memutuskan untuk menjatuhkan dua bom atom ke kota sipil, Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Pada saat itu, menurut Konvensi Jenewa, pembantaian secara menyengaja dengan sasaran warga sipil dalam kondisi perang dianggap ilegal. Adapun kedua target bom atom yang dinamai ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ itu sengaja dipilih karena besarnya ukuran kedua kota itu memungkinkan AS mengetahui seberapa besar daya rusak bom tersebut.
- Justifikasi atas serangan ke Jepang. Saat itu ada dua justifikasi yang digunakan AS untuk menjatuhkan dua bom atom itu. Pertama, invasi darat akan mengakibatkan korban yang mengerikan sebagaimana perang di Iwo Jima dan Okinawa. Kedua, perlunya mengakhiri perang secara cepat yang tak mampu Jepang hindari. Setelah menyerahnya Nazi Jerman pada bulan Mei, Jepang berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Akhir tahun 1945, Jepang tidak memiliki satu pesawatpun, dan para pilot AS leluasa melakukan pemboman. Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, Yokohama sudah dihancurkan lebih dulu. Jepang dapat dikalahkan, dalam arti menyerah, sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Tanggal 13 Mei 1945, Departemen Luar Negeri Jepang secara resmi memberitahu kepada Rusia bahwa Kaisar ‘menghendaki perdamaian’ dengan para sekutu. Mengetahui hal tersebut, Bushido, sebutan militer Jepang, yang memang dituntut untuk selalu tunduk dan patuh secara mutlak, segera menyerah ketika mengetahui Kaisar mereka telah menyerah. Rusia mengabaikan manuver diplomatik ini karena alasan strategis. Berdasarkan perjanjian Yalta, mereka akan berperang melawan Jepang tiga bulan setelah Jerman menyerah, dan Rusia berhasrat mengambil harta rampasan perang. Intelijen AS ternyata mengetahui pendekatan diplomatis Jepang terhadap Moskow tersebut sehingga Proyek Manhattan dipercepat, karena mereka kuatir Jepang menyerah sebelum dijatuhkan bom. Dua kota yang dijadikan target bom itu sengaja dibiarkan semasa perang karena keduanya sudah lebih dulu dipilih sebagai tempat ‘eksperimen’ –kata yang digunakan oleh Truman dan Mayor Groves (saat itu sebagai Kepala Proyek Manhattan). Pada bulan Agustus 1945, Presiden Truman berkata perihal pemboman Hiroshima, ‘Dunia akan menyaksikan bahwa bom atom pertama dijatuhkan ke Hiroshima, sebuah basis militer. Hal itu kami lakukan dengan harapan serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari korban sipil’. Ia juga mengatakan, ‘Kami telah mengeluarkan US$ 2 milyar untuk perjudian ilmiah terbesar dalam sejarah, dan kami menang’. Yang AS capai adalah sebuah demonstrasi yang secara gamblang memperlihatkan kekuatan baru mereka dengan mengorbankan 200 ribu nyawa; mayoritas adalah warga sipil; sebagian tewas seketika dan yang lainnya mati setelah terbakar atau terkena radiasi. Banyak tokoh militer sekutu menganggap pemboman atas Hiroshima dan Nagasaki itu sebagai hal yang tidak perlu. Dalam History of Warfare, Field Marshal Montgomery menulis, ‘Dijatuhkannya dua bom atom ke Jepang pada bulan Agustus 1945 itu merupakan hal yang tidak perlu, dan saya tidak bisa menganggap hal itu sebagai hal yang benar, menjatuhkan bom semacam itu adalah sebuah blunder politik dan contoh nyata tentang turunnya standar perang modern’. Jenderal Eisenhower, Komandan Tertinggi Sekutu yang di kemudian hari menjadi presiden AS, mengatakan bahwasanya Jepang ketika itu sedang berupaya mencari cara untuk menyerah tanpa harus kehilangan muka. ‘Menghantam mereka dengan benda mengerikan itu adalah hal yang tidak perlu’. Kepala Staf Truman, Admiral Leahy menulis, ‘Saya berpendapat penggunaan senjata barbar di Hiroshima dan Nagasaki tersebut sama sekali tidak membantu kita dalam perang melawan Jepang. Jepang sudah lebih dulu kalah dan siap menyerah karena blokade kita yang efektif dan keberhasilan pemboman dengan senjata konvensional seperti itu hanya dengan alasan agar kita menjadi yang pertama menggunakannya, berarti kita telah mengadopsi standar etik yang hanya lazim di masa Abad Kegelapan (Dark Ages). Saya tidak diajarkan untuk berperang dengan cara seperti itu, dan perang tidak dapat dimenangkan dengan membantai wanita dan anak-anak’. Brigadir Jenderal Carter Clarke (petugas intelijen militer yang bertanggung jawab untuk menyadap komunikasi Jepang bagi Truman dan penasehatnya) menulis, ‘ketika kita tidak perlu melakukannya, dan kita tahu kita tidak perlu melakukannya, dan mereka tahu bahwa kita tahu kita tidak perlu melakukannya, berarti kita memanfaatkan mereka sebagai eksperimen untuk dua bom atom itu’.
- Pengembangan bom hidrogen. Tidak puas dengan keampuhan bom atom, AS mengembangkan bom hidrogen atau bom super. Yaitu bom yang –dalam bahasa para ilmuwan yang merekomendasikannya ke pemerintah AS– akan ‘memiliki daya ledak tidak terbatas kecuali dalam hal pengirimannya’. Komite penasehat umum Atomic Energy Commission yang bertanggung jawab atas pengembangan senjata atom di AS merekomendasikan agar AS tidak menjalankan program percepatan untuk membuat bom-H (bom hidrogen) karena, ‘itu bukan senjata, yang biasa digunakan hanya untuk tujuan menghancurkan instalasi militer atau semi-militer. Penggunaan bom-H jauh lebih parah ketimbang bom atom, suatu kebijakan yang akan memusnahkan penduduk sipil’. Posisi militer AS sendiri dalam pengembangan bom hidrogen dengan gamblang dinyatakan oleh Kepala Staf Gabungan, ‘Pihak AS akan berada pada keadaan yang amat berat, jika pihak yang berpotensi menjadi musuh memiliki bom itu sedangkan AS tidak’.
- Dampak uji nuklir AS. Untuk mengetahui dampak ledakan nuklir terhadap kapal perang, bangunan, peternakan dan objek lain, serta untuk memperbaiki dan meningkatkan teknologi senjatanya, AS telah melakukan uji pengembangan bom atom dan bom-H selama beberapa dekade setelah PD II. Tempat uji pertama pasca perang yang AS pilih adalah pulau Bikini, di Samudera Pasifik. Pulau yang merupakan bagian dari kepulauan Marshal tersebut direbut dari kekuasaan Jepang. Dua tahun setelah mengklaim kekuasaan atas pulau itu, Commodore Ben H. Wyatt, Gubernur Militer kepulauan Marshal, melakuan misi perjalanan ke Bikini. Seusai misa gereja Minggu di bulan Februari 1946, Wyatt mengumpulkan penduduk setempat dan meminta mereka meninggalkan rumah mereka ‘untuk sementara’ agar AS dapat menguji bom atom ‘demi kebaikan umat manusia dan mengakhiri setiap peperangan di dunia’.
- Raja Juda beserta penduduk Bikini bingung dan tertekan, seraya merundingkan permintaan AS itu. Akhirnya, Raja Juda berkata pada Wyatt, ‘kami akan pergi dengan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan’. Selama beberapa dekade penduduk Bikini menderita kekurangan gizi, dipindahkan dari satu pulau ke pulau lain, terkena radiasi radioaktif –semua masalah yang diakibatkan pengujian bom oleh AS. Lebih dari lima puluh tahun sejak dimulainya uji coba bom di pulau Bikini, penduduk pulau masih mengajukan petisi menuntut AS untuk membayar ganti rugi yang dijanjikan atas kerusakan tanah dan kehidupan mereka. Tempat uji coba kedua yang AS gunakan adalah Nevada Proving Ground, di Yucca Flat, kira-kira 65 mil sebelah utara Las Vegas. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah dilakuan 90 kali uji coba bom nukir di gurun Nevada. Pada tahun 1990-an, sebuah lembaga pemerintah AS, National Cancer Institute (NCI), memeriksa pengaruh uji coba bom itu. Mereka menyatakan bahwa uji coba bom itu menimbulkan awan buangan radioaktif hampir ke seluruh wilayah Amerika Serikat. Dan di antara zat berbahaya yang turut tersebar akibat ledakan adalah isotop yang dikenal dengan iodine-131 (I-131). Partikel radioaktif ini, yang berakumulasi dalam kelenjar gondok diduga kuat menjadi penyebab kanker. Baru-baru ini NCI memperkirakan sekitar 10,000-75,000 kasus kanker tiroid di AS disebabkan oleh radioaktif isotop iodine-131 dari buangan bom-A di Nevada. Selain personel militer yang terkena radiasi tingkat tinggi di sekitar tempat pengujian, ribuan warga AS –sesuai arah angin– harus membayar mahal akibat pengujian bom atom tersebut. Ini menjadi contoh nyata bahwa warga AS telah menjadi korban senjata pemusnah massal pemerintahnya sendiri.
- Pengembangan nuklir selama era perang dingin. Pada masa perang dingin, AS memelopori perlombaan senjata dengan Uni Soviet dan menimbun ribuan senjata nuklir. Mereka juga mengembangkan berbagai cara untuk menghasilkan sejumlah persenjataan termasuk: pesawat pembom B-52, beragam tipe rudal balistik darat antar benua, juga rudal balistik laut. AS pun menempatkan ribuan senjata nuklir taktis di setiap perbatasan Uni Soviet, di Eropa Barat, Turki, Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain., untuk mempersiapkan kemampuan serangan pertama dan menghalangi agresi Uni Soviet. Namun, ketika Kuba mengundang Uni Soviet untuk menempatkan rudal nuklirnya di Kuba dalam rangka menghambat agresi AS –sejak 1960 AS telah menunjukkan upaya keras menjatuhkan Fidel Castro dari tampuk kekuasaan– serta merta AS murka dan mendorong Soviet untuk menarik mundur seluruh rudal dengan ancaman akan melakukan perang secara habis-habisan.
- Pengendalian senjata nuklir. Banyak perjanjian pengendalian senjata nuklir yang telah AS tandatangani, termasuk ‘Strategic Arm Limitation Talks’ (SALT 1 dan SALT 2), ‘Strategic Arms Reduction Treaty’ (START 1 dan START 2), ‘Nuclear Non-Proliferation Treaty’, ‘Comprehensive Test Ban Treaty’, ‘Intermediate Range Nuclear Forces Treaty’ (INF) dan lain-lain. Tetapi, dengan kemajuan teknologi, akurasi rudal, jangkauan jarak, dan keampuhan rudal siluman, yang terjadi selama beberapa dekade terakhir, didukung dengan data hasil uji coba yang begitu lengkap, tidak satupun perjanjian di atas yang mampu menghambat kemampuan AS untuk melakukan atau mengancam serangan nuklir terhadap bangsa lain. Beberapa perjanjian itu justru diberlakukan secara diskriminatif terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Misalnya, Non-Priliferation Treaty (NPT), yang diberlakukan pada tahun 1970 dan didukung penuh oleh AS, bertujuan membatasi penyebaran senjata nuklir. Sejumlah 187 negara penandatangan NPT dibagi menjadi dua kategori: kelompok negara-negara yang memiliki senjata nukir, termasuk AS, Rusia, Cina, Perancis, Inggris; dan kelompok negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Berdasarkan perjanjian NPT, lima negara pemilik senjata nuklir berkomitmen untuk berupaya mencapai pelucutan senjata nuklir secara menyeluruh, sedangkan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir bersepakat untuk tidak mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Dengan keanggotaannya yang hampir mendunia, NPT menjadi perjanjian pengendalian senjata dengan anggota terbanyak, mengingat hanya Kuba, India, Israel, dan Pakistan saja yang tidak ikut serta. Jika keempat negara ini ingin berpartisipasi, mereka akan berstatus sebagaimana negara yang tidak memiliki senjata nuklir, karena perjanjian itu membatasi status negara pemilik senjata nuklir sebagai negara yang ‘membuat dan meledakkan sebuah senjata nuklir atau perangkat ledak nuklir lain sebelum 1 Januari 1967’. Bagi India, Israel, dan Pakistan –ketiganya dikenal atau dicurigai memiliki senjata nuklir– berpartisipasi dalam perjanjian tersebut dengan status sebagai negara yang tidak memiliki senjata nuklir akan mengharuskan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya dan menyerahkan bahan-bahan pembuatan nuklir di bawah perlindungan internasional. Dengan adanya NPT, setiap negara yang tidak memiliki senjata nuklir namun berupaya memilikinya, dengan mudah akan dianggap sebagai ‘anak nakal’ dan akan dijadikan sasaran, seperti yang terjadi dengan Irak, Iran dan Korea Utara baru-baru ini. Sedangkan AS, meski tetap menjadi negara adidaya tunggal, tetap merasa berhak mengancam negara-negara lain dengan menggunakan senjata nuklir untuk kali pertama, dalam rangka menghalangi musuh-musuh potensialnya. Pada prakteknya, tidak satupun dari lima negara pemilik senjata nuklir yang menunjukkan niat serius melucuti senjata mereka sebagaimana yang ditetapkan oleh perjanjian. Justru mereka –dipimpin oleh AS– berupaya mempertahankan kontrol monopoli atas senjata nuklir dengan mengingkari peraturan yang memayungi seluruh negara anggota, sebuah bentuk lain dari sikap standar ganda mereka. Sejauh ini, AS melihat NPT hanya sebagai alat untuk menekan negara-negara berkemampuan nuklir seperti Iran, Irak, dan Korea Utara, serta sebagai jalan untuk menjaga perkembangan nuklir Rusia dan Cina, dengan tanpa melakukan langkah-langkah progresif dalam perkara pelucutan senjatanya sendiri. Bahkan AS berencana mengembangkan senjata nuklir model baru. Hal ini dilihat sebagai kemunafikan AS. AS baru saja secara unilateral keluar dari Anti Ballistic Missile Treaty dengan Uni Soviet untuk mengembangkan ‘sistem pertahanan rudal’, akan tetapi pada saat yang sama mengutuk Irak dan Korea Utara dengan alasan melanggar perjanjian yang menetapkan larangan bagi dua negara tersebut untuk membuat senjata nuklir sendiri.
- Perkembangan nuklir saat ini dan yang akan datang. Awal tahun 2002, AS merampungkan suatu tinjauan terhadap strategi nuklir mereka dalam US Nuclear Posture Review (NPR). Beberapa bagian dalam tinjauan ini dikemukakan kepada pers AS. NPR meminta agar dibuatkan rencana darurat (contingency plan) untuk membidik Korea Utara, Iran, Libya, Syria, Rusia, dan Cina; serta agar AS lebih fleksibel dalam mengembangkan dan menyebarkan kekuatan nuklir yang dibutuhkan. Salah satu bentuk kefleksibelan itu ialah dengan melanjutkan kembali pengujian nuklir. Salah satu alasan mengenai diperlukannya pengujian ini adalah untuk mengembangkan bom dan rudal tipe baru yang dapat menghancurkan target yang terkubur dalam dan keras. Yaitu bangunan dan fasilitas yang dapat digunakan sebagai pusat komando dan kontrol operasi pihak musuh, markas pimpinan atau area penyimpanan senjata pemusnah massal. Dokumen kebijakan AS lain seperti dari Paul Robinson, Direktur Sandia National Laboratories, menyerukan pengembangan senjata nuklir berukuran mini. Saat ini AS tercatat sebagai penandatangan Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) meski Senat AS belum meratifikasinya. Dari perkembangan ini terkandung pesan AS bagi seluruh dunia bahwa AS beritikad mengembangkan senjata nuklir yang lebih canggih dan akan mengabaikan CTBT demi kepentingannya sendiri. AS pun telah menyatakan, dalam NPR dan presentasi lain, niat mereka untuk mengenalkan pertahanan rudal strategis yang mampu menghalau serangan rudal jarak jauh negara lain. Mereka yakin bahwa sistem pertahanan rudal global akan menciptakan sebuah tameng yang akan memberi kekebalan bagi AS untuk secara leluasa beroperasi ke seluruh dunia. Secara militer, hal ini akan membuat AS dengan mudah menggasak setiap negara lain yang berupaya menyerang AS dengan menggunakan senjata pemusnah massal dan rudal jarak jauh. Pada tanggal 13 Desember 2001, AS mengumumkan akan menarik diri dari Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM), semata-mata karena traktat tersebut melarang pengujian sistem pertahanan rudal penjelajah antirudal balistik antarbenua. Untuk anggaran awal, pemerintahan baru AS meminta kenaikan anggaran sebesar 57% untuk mendanai sistem pertahanan rudal itu, dari 5.3 milyar dolar ke 8.3 milyar dolar, 7.8 milyar di antaranya dari Kongres. Semua ini mengindikasikan bahwa AS akan semakin ditakuti negara-negara lain, mengingat AS tengah berupaya menjadikan dirinya kebal dari serangan rudal nuklir sementara pada saat yang sama AS pun membuat senjata nuklir yang lebih mumpuni. AS adalah negara yang, seperti telah kita bahas sebelumnya, tidak mempunyai rasa sesal sedikitpun akan dampak penggunaan senjata semacam itu terhadap warga sipil tak berdosa.
- Senjata kimia dan biologi. Dalam era modern, senjata kimia untuk pertama kalinya digunakan dalam Perang Dunia I oleh Perancis, Jerman, Inggris dan AS; negara-negara yang kini ramai-ramai menghakimi Irak. Untuk membalas serangan (gas) klorin yang dilakukan Jerman di sekitar Ypres, Belgia, yang menewaskan lebih dari 5000 pasukan Sekutu, Inggris lantas membuat senjata kimianya sendiri. Mayor Charles Foulkes dari Royal Engineers ditunjuk sebagai ‘penasehat gas’ pertama mereka. Tugasnya adalah mengusahakan senjata kimia bagi Inggris dalam tempo sesingkat mungkin dengan tanpa menghiraukan masalah etik. Segera saja setiap ahli kimia Inggris mengerjakan proyek senjata gas tersebut. Fasilitas Porton Down dibangun dan menjadi markas proyek senjata kimia Inggris, dengan mempekerjakan lebih dari 1000 orang ilmuwan dan tentara.
- Dinas Senjata Kimia AS. AS mendirikan Chemical Warfare Service – CWS (Dinas Persenjataan Kimia) pada pertengahan tahun 1918, dengan Jenderal Amos A. Fries sebagai direkturnya. Edgewood Arsenal, basis militer di dekat Baltimore, Maryland, menjadi pusat riset senjata kimia AS yang mempekerjakan lebih dari 1200 orang asisten teknisi dan 700 orang petugas yang menguji lebih dari 4000 zat beracun. Dengan 218 bangunan pabrik dan 28 mil rel kereta, Edgewood mampu memproduksi 200.000 bom kimia dan selongsong per hari. Pada tahun 1918, sekitar seperlima dan sepertiga dari seluruh selongsong yang ditembakkan diisi zat kimia dari berbagai tipe. Selama 18 bulan terakhir PD I, satu dari setiap enam korban tewas karena gas mustard yang sangat ditakuti itu. Gas mustard membakar dan melepuhkan kulit, lalu korban mati secara perlahan atau sangat lemah karena gas mustard menguliti selaput lendir pada rongga tenggorokan dan menghambat pernafasan. ‘Secara resmi’, terdapat lebih dari 91.000 kasus kematian dan 1,3 juta korban akibat senjata gas. Namun para ahli sejarah kini menganggap remeh angka-angka tersebut.
- Penggunaan kimia selama masa vakum perang. Penggunaan senjata kimia tidak hanya terjadi pada PD I. Dalam rangka menunggangi pihak White Army dalam Perang Sipil Rusia pada tahun 1919, Inggris mempersenjatai mereka dengan selongsong berisi gas mustard, dan menggunakan ‘M’ Device untuk memproduksi gumpalan asap arsenik yang disebarkan kepada sang lawan, Red Army. Inggris memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggunakan senjata mereka. Mayor Foulkes, yang dikirim ke India pada 1919, menekan militer Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan terhadap sebagian wilayah Afghan dan suku-suku di sana akan meningkatkan korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’. Departemen Perang Inggris setuju untuk mengirimkan pasokan phosgene dan gas mustard, juga setuju agar prajurit Inggris dilatih menggunakan seragam anti-gas di Khyber Pass. Tetapi, hingga kini Tony Blair masih saja ingin menunjukkan bahwa Pemerintah Inggris adalah salah satu bangsa ‘beradab’ dengan ‘catatan bersih’ dan nilai-nilai luhur ketimbang rezim Saddam di Baghdad.
- Pembentukan Protokol Jenewa. Seusai Perang Dunia I, kekecewaan terhadap senjata gas merebak di mana-mana. Pada bulan Mei 1925, dengan dukungan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), diselenggarakan konferensi internasional tentang perlombaan senjata di Jenewa, Swiss. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Jenewa, yang berisi larangan penggunaan senjata kimia maupun biologi sampai kapanpun. Seorang pengamat berkomentar bahwa ‘Penandatanganan Protokol Jenewa 1925 merupakan cerminan prestasi tertinggi opini publik melawan senjata kimia’. Akan tetapi, menandatangani pakta tersebut tidak otomatis terikat, karena pemerintah setiap negara masih harus meratifikasinya. Di AS, CWS menyerang Protokol Jenewa dan mendapat dukungan dari berbagai organisasi sejenis seperti American Chemical Society (Masyarakat Kimia Amerika), dan menyatakan bahwa ‘pelarangan senjata kimia berarti pengabaian metoda manusiawi untuk mengatasi pertempuran klasik yang mengerikan’. Dihadapkan pada oposisi yang begitu kuat, Departemen Luar Negeri AS menarik ratifikasi atas Protokol Jenewa. Sebagian besar negara Eropa meratifikasi Protokol Jenewa, dengan menambahkan beberapa klausul yang membuat protokol menjadi macan ompong. Salah satu klausul itu menyatakan bahwa suatu negara tidak terikat dengan protokol tersebut kecuali negara yang dilawannya juga meratifikasi protokol yang sama. Klausul lain memberikan hak kepada negara penandatangan untuk balas menyerang setiap serangan kimia atau biologi dengan senjata yang sama. Protokol Jenewa pun tidak bisa mencegah penelitian atau penimbunan senjata biokimia; melainkan hanya melarang untuk lebih dulu menggunakannya. Pengaruh Protokol Jenewa bukanlah untuk menghentikan pengembangan senjata biokimia melainkan untuk lebih menjaga kerahasiaan penelitian dan pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1925, Winston Churchill secara tidak sengaja membeberkan semuanya ketika ia menulis tentang wabah yang secara khusus dan disengaja disiapkan untuk manusia dan binatang. Ada Blight untuk menghancurkan tanaman, Anthraks untuk membunuh kuda dan hewan ternak, Plague untuk meracuni tidak saja tentara melainkan juga seluruh warga satu distrik. Semua itu sejalan dengan pencapaian sains militer yang tak mengenal belas kasihan. Rupanya perang penelitian semacam ini harus tetap dirahasiakan untuk menghindari oposisi publik.
- Pembangunan Porton Down di Inggris. Holland Committee yang didirikan oleh pemerintah Inggris usai PD I untuk mengkaji senjata kimia dan bagaimana kebijakan Inggris nantinya, telah merekomendasikan agar fasilitas Porton Down dipertahankan di sebuah markas yang permanen. Agenda Holland Committee ditambah dengan kajian dan pengembangan senjata kuman di Porton Down. Holland Committee juga membuat sebuah pengakuan penting. Dikatakan bahwa, ‘tidak mungkin memisahkan kajian tentang pertahanan dari gas dengan penggunaan gas sebagai senjata ofensif, mengingat efisiensi sistem pertahanan sangat bergantung kepada pengetahuan yang akurat tentang perkembangan yang terjadi atau yang akan terjadi dalam hal penggunaan senjata tersebut secara ofensif’. Pemerintah Inggris sedari awal mengetahui bahwasanya tidak akan pernah ada yang namanya penelitian senjata kimia yang murni defensif. Alhasil, pemerintah membantu para ilmuwan untuk merancang senjata paling mematikan yang pernah mereka bayangkan, dengan asumsi dasar pengetahuan akan keampuhan senjata tersebut harus lebih dulu diketahui agar bisa menyiapkan sistem pertahanannya. Para ilmuwan di pangkalan senjata rahasia Porton Down mengetahui bahwa mereka berisiko mengorbankan nyawa para sukarelawan muda yang digunakan sebagai kelinci percobaan dalam pengujian gas syaraf, demikian menurut para ahli toksikologi. Keluarga setiap korban dalam eksperimen itu menuduh para ilmuwan sebagai pembunuh. Menurut Alastair Hay dari Universitas Leeds, catatan taklimat yang dibuat para ilmuwan di markas Wiltshire menunjukkan bahwa para ilmuwan sebenarnya menyadari dosis yang diberikan kepada para sukarelawan itu akan berakibat fatal. ‘Mereka bermain dengan api, mereka memberikan senyawa yang tidak hanya dapat membunuh satu orang saja, tetapi juga sejumlah orang lain’. Beberapa sukarelawan yang diberi bayaran dan liburan ekstra atas partisipasinya dalam pengujian itu, diberitahu bahwa percobaan itu adalah dalam rangka menemukan obat demam. Menteri Pertahanan berulangkali menyangkal tuduhan telah menyesatkan para sukarelawan. Sebuah tayangan dokumenter televisi pada tahun 1999 memperlihatkan salah seorang mantan ‘kelinci perbobaan’, Mike Cox, 68 tahun, dari Southampton, yang berada di samping sukarelawan Ronald Maddison pada masa kematiannya di kamar gas tempat pengujian. Program televisi itu juga memperlihatkan kerabat Mr. Maddison yang berbicara tentang peristiwa yang berlangsung 46 tahun lalu tersebut. Lilias Clark, saudara perempuan Maddison, berkata, ‘Jika ia tewas dalam perang, saya bisa mengerti, tapi mati karena hal bodoh yang mereka (para ilmuwan) tempelkan di lengannya, yang seharusnya tidak Anda lakukan kepada siapapun, maaf saja, saya pikir mereka telah membunuhnya’.
- Peran Senjata Kimia dan Biologi dalam PD II. Senjata gas tidak digunakan selama PD II karena sulit membawa senjata itu tanpa membahayakan pasukan dan untuk menjaga kemungkinan serangan balasan mengingat negara-negara kuat waktu itu masing-masing menimbun ratusan ton senjata kimia, khususnya gas mustard, untuk berjaga-jaga. Inggris membuat bom anthraks untuk kali pertama pada tahun 1942. Sebuah bom sederhana diisi spora anthraks diledakkan di Pulau Gruinard di lepas pantai Skotlandia. Domba-domba yang ada di pulau tersebut pun mati. Sampai kini, Pulau Gruinard tidak dapat didiami, dan pesawat terbang pun tidak diperkenankan mendarat di sana. Inggris kemudian memproduksi 5 juta ‘kue anthraks (anthraks cakes)’ untuk dijatuhkan di Jerman. Rencana Inggris untuk menjatuhkan bom anthraks ke Jerman diperkirakan akan menewaskan 3 juta orang. Inggris juga bereksperimen dengan racun mematikan B-IX, atau botulism. AS juga secara besar-besaran mengembangkan program senjata kumannya selama PD II. Pada tahun 1940, The US Health and Medical Committee of the Council for National Defence (Komite Medis dan Kesehatan Dewan Pertahanan Nasional AS) mulai mempertimbangkan ‘potensi defensif dan ofensif senjata biologi’. George Merck dari Merck Pharmaceuticals, ditunjuk menjadi dierektur War Research Service (Dinas Penelitian Perang), yang bertanggung jawab atas penelitian senjata kuman. Pada tahun 1943, Camp Detrick didirikan di Maryland, dan langsung menjadi pusat program senjata kuman AS. Antara tahun 1942-1945, AS menginvestasikan lebih dari US$ 40 juta untuk membangun pabrik dan peralatan serta mempekerjakan lebih dari 4.000 orang di Camp Detrick; di The Field Testing Station di Horn Island, Pascagoula, Mississipi; pabrik produksi di Vigo, Indiana; dan di Dugway Proving Grounds. Di Camp Detrick, anthraks, tularaemia, plague, tipus, penyakit kuning (yellow fever), dan encephalitis diujicoba untuk digunakan dalam perang. Juga berbagai jenis kutu beras, kentang, dan sereal. AS mengkaji kemungkinan menghancurkan panen beras Jepang dengan senjata kuman. Pada bulan Mei 1944, sebuah paket yang berisi 5000 bom anthraks selesai diproduksi di Camp Detrick. Di Vigo, Indiana, AS membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi 500.000 bom anthraks per bulan dan 250.000 bom yang diisi botulism. Untungnya, semua bom itu tidak pernah digunakan. AS membangun pabrik produksi gas beracun terbesar di dunia selama PD II, yang mampu menghasilkan 135.000 ton gas beracun. Berarti 20.000 ton lebih banyak dari total gabungan gas beracun yang digunakan berbagai negara selama PD I. AS pun mulai mengungguli Inggris dalam hal senjata kuman.
- Belajar dari pengalaman Jepang. Usai PD II, George Merck menghendaki agar program senjata kuman dilanjutkan. Pada tahun 1956, Camp Detrick berubah menjadi Fort Detrick, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan militer yang bersifat permanen. Disini diproduksi virus dan gas paling mematikan yang menambah persenjataan AS, termasuk gas syaraf seperti gas GB dan VX, yang begitu mematikan, sehingga jika kulit kita terkena satu tetes kecil saja, kita akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Perang Dingin juga berarti para mantan musuh direhabilitasi dan mendapat biaya perbaikan dari AS. Ini berarti para kriminal perang Jepang yang telah bereksperimen mengorbankan jiwa manusia kini terhindar dari tuntutan. Selama pendudukan Jepang atas Cina yang begitu lama dan brutal antara tahun 1930-an hingga 1940-an, sebuah unit khusus Tentara Jepang yang dikenal dengan Unit 371, dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro, banyak melakukan tindak kejahatan perang. Misalnya, mereka menguji efek bom anthraks terhadap manusia dan menyuntikkan tetanus, cacar, dan plague kepada tentara dan warga sipil Cina. Dari sejumlah orang yang dipelajari oleh AS pada tahun 1947, anthraks menewaskan 31 orang, kolera 50 orang, gas mustard 16 orang, plague 106 orang, typhoid 22 orang, dan typhus 9 orang. Serta masih banyak lagi penyakit yang juga diujicobakan. Rusia menghendaki agar anggota-anggota Unit 371, termasuk Shiro, diadili. Tetapi AS menjamin kekebalan mereka. Sebagai imbalan, AS mendapat hasil eksperimen mereka. Sebagaimana yang ditulis ahli sejarah, Robert Harris dan Jeremy Paxman, ‘AS justru melindungi para bakteriologis Jepang dari tuntutan kejahatan perang sebagai imbalan atas data-data eksperimen manusia’. Informasi ini disembunyikan hingga selama 30 tahun setelah perang.
- Penggunaan senjata kimia dalam Perang Vietnam. Sejak PD I, AS meluncurkan perang biokimia untuk pertama kalinya dalam perang Vietnam. AS menggunakan gas CS dan defoliant, seperti Agent Orange, untuk melawan gerilyawan National Liberation Front. Pada tahun 1970, ‘Operation Ranch Hand’ menumpahkan 12 juta galon Agent Orange ke Vietnam, menghancurkan 4,5 juta hektar tumbuh-tumbuhan di daerah luar kota dan meracuni tanahnya selama beberapa tahun. Para pendukung Ranch Hand memiliki slogan khas, ‘only we can prevent forests’. Agent Orange mengandung dioksin, salah satu bahan kimia penyebab kanker paling mematikan di muka bumi. Digunakannya Agent Orange oleh AS menimbulkan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat Vietnam dan tentara AS beserta keluarga mereka.
- Alasan di balik dukungan AS terhadap konvensi senjata biologi dan kimia. Pada tahun 1972, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa AS menghentikan program senjata biologi dan kimia. Hal tersebut dilakukan bukan karena tujuan kemanusiaan, melainkan karena pemerintahannya telah menyadari bahwa teknologi yang dibutuhkan dalam memproduksi senjata semacam itu terlihat akan tersebar demikian luasnya sampai-sampai pengembangannya tidak akan dapat dihindari. Produksi senjata biokimia akan jauh lebih murah dan mudah dibandingkan senjata nuklir. Dari sini akan muncul kesulitan untuk mempertahankan posisi monopolistik terhadap senjata biokimia tersebut. Segera setelah keputusan AS ini, Biological Weapons Convention (BWC) ditandatangani pada tanggal 10 April 1972 dan mulai berlaku terhitung 26 Maret 1975. Sedangkan Chemical Weapons Convention (CWC) ditandatangani pada tanggal 13 Januari 1993 dan resmi berlaku sejak 29 April 1997. Senasib dengan perjanjian pengendalian senjata nuklir, AS memperlakukan kedua perjanjian ini secara selektif dan diskriminatif. DK PBB dapat menyelidiki setiap keluhan, akan tetapi kekuasaan untuk melakukan hal itu tidak pernah diajukan. Dengan hak veto yang dimilikinya, AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina, mampu memblok setiap keputusan untuk menyelidiki senjata biologi. Pada bulan Juli lalu, AS menolak penerapan protokol perjanjian BWC karena dipandang tidak sesuai dengan kepentingannya.
- Perkembangan senjata biokimia terkini. Pada tanggal 4 September 2001, New York Times mengungkapkan bahwa para peneliti sistem pertahanan biologi CIA, dengan dalih kepentingan defensif, mengujicoba sampel bom biologi dan membangun fasilitas produksi senjata biologi di Nevada, aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari penelitian senjata biologi ofensif. AS merahasiakan aktivitas tersebut dan tidak pula mengungkapkannya dalam confidence building report kepada BWC. Kajian defensif yang AS lakukan itu dapat diartikan sebagai pengembangan senjata biologi. Misalnya, serangan anthraks pada bulan Oktober 2001 di AS, sepertinya diawali oleh ilmuwan domestik dari ahli laboratorium senjata biologi AS sendiri.
- Hubungan AS dengan konvensi senjata biokimia. Menurut CWC, Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons dapat melakukan inspeksi terhadap laboratorium, pabrik dan mempelajari kerusakan yang ditimbulkan senjata-senjata kimia. AS kemudian memaksa organisasi tersebut untuk mengganti direkturnya, Jose Bustani. Kesalahan Jose Bustani adalah keinginannya untuk memeriksa AS sama seperti negara-negara lain yang diperiksa, dan mengajak Saddam Hussein menandatangani CWC. Amat kontras dengan sikapnya yang giat memaksa dilakukannya inspeksi terhadap persenjataan Irak, AS tidak perlu berpikir lama untuk menolak setiap inpeksi senjata terhadap negaranya sendiri. Pada tahun 1997, Senat AS meluluskan Chemical Weapons Convention Implementation Act, yang pada Pasal 307-nya berbunyi: ‘Presiden berhak menolak permintaan dilakukannya inspeksi terhadap setiap fasilitas di Amerika Serikat bilamana Presiden menganggap bahwa inspeksi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat’.
- Dukungan AS terhadap program senjata biokimia Irak. AS juga berperan dalam pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1998, siaran berita Channel 4 di Inggris mengklaim penemuan dokumen intelijen AS, yang menunjukkan bahwa sejumlah 14 pengiriman bahan-bahan biologi telah diekspor dari AS ke Irak. Termasuk 19 paket bakteri anthraks dan 15 paket botulinum, organisme yang menimbulkan botulisme. Siaran berita itu menunjukkan mereka memiliki bukti bahwa Irak telah membeli sejumlah toksin setelah Irak menggunakan gas untuk menyerang perkampungan Kurdi di Halajaba yang menewaskan 5000 orang.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa Barat tidak dapat dipercaya dalam hal kepemilikan senjata pemusnah massal. Senjata tersebut telah digunakan secara sistematis oleh Barat terhadap jutaan orang tak berdosa dalam PD I, PD II, Perang Vietnam dan bahkan terhadap warga mereka sendiri. Hal ini menunjukkan betapa anak-anak masa kini dan masa depan tidak boleh lagi dijadikan objek pembantaian Barat, atau dengan meminjam kata-kata Truman, ‘eksperimen’ berikutnya yang akan mereka hadapi. Kita pun perlu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai yang muncul dari pemerintahan Kapitalis-Barat dengan menyimak kembali ucapan Major Foulkes, salah satu arsitek senjata kimia Inggris, tatkala ia dikirim ke India pada tahun 1919. Sebagai upaya menekan militer Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ia berargumentasi bahwa ‘‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan terhadap sebagian wilayah Afghanistan dan suku-suku di sana akan meningkatkan korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’.
Maaf jika ada kesalahan penulisan.
adapted from:
Alih Bahasa:
M. Ramdhan Adhi
Mahardhika Zifana
R. Dian Dia-an Muniroh